April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

2 PMI Korban Kerja Paksa Dapatkan Ganti Rugi

4 min read

Dua orang pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di sebuah kapal pencari ikan Sea Queen II berhasil memenangkan gugatan di pengadilan San Fransisco. Perjuangan panjang keduanya berawal saat keduanya berhasil melarikan diri dari kapan tempatnya bekerja saat kapal berlabuh di San Fransisco Amerika. Dengan dibantu oleh seorang WNI yang mereka jumpai, Sobirin dan Abdul Fattah diarahkan untuk mendatangi sebuah shelter pekerja sosial yang kemudian mempertemukannya dengan pengacara imigrasi setempat.

Dikutip dari AP (association Press) kini, setelah kasusnya bergulir sejak September 2016, keduanya bisa tersenyum lega setelah ganti rugi mereka terima dari pengusaha yang memperkerjakan mereka. Keduanya mendapat uang ganti rugi setelah setuju mencabut gugatan kepada pemilik kapal.

Kedua PMI tersebut mengaku diperbudak di sebuah kapal ikan Amerika Serikat menarik gugatan terhadap pemilik kapal. Sorihin dan Abdul Fatah dikabarkan telah menyapakati uang ganti rugi dengan Thoai Van Nguyen, pemilik kapal asal AS dan kapten Sea Queen II.

Keduanya dipaksa bekerja di armada kapal ikan di Hawaii dan California. Nguyen dituding memanfaatkan celah pada Undang-Undang Federal yang mengizinkan pemilik kapal ikan mempekerjakan buruh asing tanpa izin kerja dan visa Amerika Serikat. Buruh kapal yang kebanyakan berasal dari Asia Tenggara itu harus menyerahkan paspor dan tidak diizinkan meninggalkan kapal. Praktik tersebut lazim digunakan oleh pengusaha ikan di Hawaii. Jaksa Honolulu, Lance Collins mengatakan, kasus Sorihin dan Abdul Fatah tidak bisa menjadi preseden lantaran adanya kesepakatan di luar pengadilan.

“Dua nelayan miskin dari negara asing yang cukup berani, atau terlalu takut, untuk melarikan diri dari kapalnya tidak bisa diharapkan ikut membantu menegakkan hukum terhadap industri bernilai jutaan Dollar,” ujarnya.

Melalui kuasa hukumnya Nguyen mengaku kesalahan terletak pada kontrak kerja yang dibuat oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja di Indonesia. “Mereka berdua punya kontrak yang berbeda dan tidak ada yang tahu saat itu,

” kata Ken Bass, kuasa hukum pemilik kapal. “Jika ada yang bersalah, dia adalah makelar di Indonesia,” imbuhnya.

Sorihin yang kini menetap bersama keluarganya di San Fransisco, mengatakan kesepakatan uang ganti rugi itu memberikannya kedamaian.

“Saya harap kasus ini bisa mengubah perlakuan terhadap nelayan di kapal Sea Queen dan di industri perikanan,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Abdul Fatah.

“Saya merasa lebih aman dengan kesepakatan ini. Saat ini saya bekerja di sebuah toko dan ingin memulai hidup baru di San Fransisco serta menciptakan masa depan yang lebih baik buat keluarga saya. Saya harap kapten kapal memperlakukan nelayan seperti yang ia janjikan.”

Keduanya bekerja di kapal tersebut setelah diterbangkan dari Jakarta ke Singapura, lalu Sydney, ke Fiji dan Pago-pago, Samoa, Amerika. Perjalanan 12.500 mil yang melelahkan.

Para nelayan kerap harus berenang dari satu kapal ke kapal lain sebelum berlayar menuju Honolulu untuk mencari ikan. Hal ini untuk menghindari biaya docking.

Situasinya terus memburuk. Pernah suatu hari, Sorihin harus bergumul melawan ikan hiu di dalam kapal Sea Queen. Tali pancingan melilit jari hingga hampir mematahkannya. Bukannya diobati secara medis, kapten kapal hanya mengikatnya dengan sumpit lalu menggosokkan jahe dan madu ke atasnya.

Kali lain, Sorihin kena sabetan kabel hingga bahunya retak. Bengkak dan sangat sakit, dia hanya diberi izin istirahat selama dua jam. Pernah juga seekor ikan todak (swordfish) mengiris wajahnya saat ditarik ke kapal.

Kapten kapal sering melontarkan kata-kata kasar. Mereka hanya diberi pelindung  yang usang dan robek-robek. Ada alat pelindung yang masih baru di kapal, tapi si kapten bilang mereka harus membelinya. Keduanya diminta untuk ke dokter berulang kali, tapi diberitahu bahwa mereka tidak memiliki asuransi kesehatan.  “Jika saya tetap tinggal di kapal, saya akan mati,” kata Sorihin.

Mereka bekerja mulai pukul enam pagi hingga enam sore tanpa istirahat. Setelah itu, diberi makan dan beberapa jam istirahat. lalu bekerja lagi. Setelah beberapa kali berlayar, tiga kerabat kapten ikut bergabung  sebagai awak kapal.

“Keponakan kapten membangunkan saya dengan cara menendang dengan kakinya,” kata Fatah.

Meskipun ada toilet di kapal, mereka harus mandi dengan ember plastik di dek. Uang beberapa ratus dolar per bulan tidak sebanding dengan penderitaan mereka.

Setelah 20 hari perjalanan dari Hawaii, mereka merapat di San Francisco sekali sebulan. Mereka menatap dari dermaga Fisherman Wharf ke Scoma, sebuah restoran hidangan laut klasik di San Francisco.

Suatu hari, Fatah tersapu gelombang besar hingga mencapai pagar. Dia menggigil kedinginan, hingga menangis dan berpikir bahwa itulah akhir hidupnya.  Kapten kapal menyuruh mereka pulang tapi harus membayar US$ 6.000. Menurut kapten, itu  biaya yang dia keluarkan untuk membawa mereka ke sana.

Akhirnya mereka berencana untuk kabur. Sebelum fajar, enam tahun yang lalu, saat kapten pergi dan awak kapal lainnya tidur karena mabuk. Sorihin dan Fatah menyelinap ke kamar pribadi lalu mengambil paspor mereka, lalu berlari menuju San Francisco dan naik kereta ke selatan menuju San Jose.

Mereka minta bantuan pada kenalannya, warga Indonesia.  Pria itu lalu membantu mereka, membawanya ke Gereja Katolik, sebuah penampungan, pekerja sosial lalu ke pengacara imigrasi.

Keduanya kini bekerja di dua tempat. Sebagai staf administrasi di toko minuman, dan menjadi sopir penyewaan. Fatah menjadi pegawai sebuah pusat perbelanjaan. Tidak jauh dari Fisherman Wharf.

Awal tahun ini, sebelum mengajukan gugatan, mereka melihat foto-foto Sea Queen II dan mantan kapten mereka. “Itu dia,” kata Sorihin sambil menggelengkan kepala saat ditanya apakah dia mau melihat kapal itu. “Saya takut pada pria ini.” [Asa/AP]

Advertisement
Advertisement