April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

BUTA HUKUM, AKU DIGAJI UNDERPAYMENT (Bagian II)

4 min read

Sambungan dari bagian satu 

Lima bulan jelang finis kontrak, anak nenek yang belum menikah di-PHK dari kantornya. Tak lama, ia membuka toko pakaian dan mainan. Jarak tempuh rumah dan toko sekitar empat puluh menit. Otomatis pekerjaanku bertambah, karena pekerjaan toko sebagian dibawa pulang dan dikerjakan di rumah, seperti membuat gawang sepak bola mainan dari tali. Setelah terbentuk rapi, karung-karung tali tersebut harus diantar ke toko.

Menjelang berakhir masa kontrak, kuputuskan untuk mencari majikan lagi, meski majikan masih ingin memperpanjang masa kerjaku. Dengan terpaksa aku menolak, karena gaji hanya naik empat ratus saja. Berhubung tak ada kesepakatan, agen mempekerjakan aku ke majikan baru dengan upah HK$ 2.500.-

Di majikan baru, aku dibuat bingung. Bukan masalah pekerjaan (menjaga dua anak), melainkan karena yang tanda tangan kontrak dengan yang membayar gaji, berbeda orang. Nyonyaku yang tanda tangan, sementara mertuanya (Mama) yang membayar gajiku.

Setiap hari aku disibukkan dengan rutinitas kerja, dari jam sembilan pagi. Setelah mengantarkan anak ke tempat les, aku harus menyapu, mengepel, dan mencuci lap di toko jam milik Mama. Ada dua toko. Toko pertama dijaga Tuan dan adik perempuannya. Toko kedua dijaga Mama dan suaminya. Aku hanya bersih-bersih di toko yang dijaga Tuan, sedangkan toko satunya dibersihkan temanku yang bekerja di rumah Mama. Itu kami lakukan sebelum toko buka.

Siang harinya, setelah mengantar anak ke sekolah, aku berada di rumah Mama. Di situ aku menyapu, mengepel, dan mengelap perabot rumah tangga. Temanku menyetrika baju. Rumah Mama berada di atas toko jam miliknya yang ia dan suami jaga sendiri. Sementara tempat les anak berada tak jauh dari toko jam yang Tuan jaga. Jarak antara toko satu dengan yang lain sekira 80 meter.

Di majikan yang ini pun aku tidak berani protes meski digaji rendah dan harus bertandatangan di atas kertas yang bergaji penuh (sesuai peraturan ketenagakerjaan Hong Kong). Ya, aku memang buta hukum dan aturan kerja lain. Takut pula di-PHK, karena saat itu aku sedang butuh biaya untuk berobat Ibu di kampung dan biaya sekolah adik-adikku.

Pada akhirnya, kontrak kerjaku habis dan diperpanjang lagi dengan gaji HK$ 2,800. Namun, pada tahun ketiga, muncul masalah terkait gaji. Aku cemburu, karena Mama pilih kasih dalam menggaji kami bertiga (aku, teman yang kerja di rumah Mama, dan teman yang kerja di rumah adik Tuan). Rupanya hanya aku yang bergaji rendah, sedangkan kedua temanku bergaji sesuai kontrak. Ini kuketahui dari pengakuan mereka berdua. Astaghfirullah hal adzim…!

Teman yang bekerja di rumah adik Tuan menyarankan agar aku protes seperti yang ia lakukan. Sebut saja namanya Sri. Kata Sri, ia tak mau menerima gaji bila tidak sesuai dengan kontrak atau sama dengan teman yang bekerja di rumah Mama. Namun, lagi-lagi aku tak berani protes karena takut di-PHK. Selain itu, semua dokumen (termasuk paspor) dipegang agen. Hal inilah yang membuatku kesulitan apabila ingin berpindah agen.

Yang pasti, dipicu oleh sikap tidak adil Mama, belakangan aku mulai tergugah untuk mengetahui dan belajar tentang hukum ketenagakerjaan di Hong Kong. Selama ini aku dan kedua temanku bekerja di rumah yang berbeda, tetapi yang menggaji kami hanya satu orang: Mama. Aku berusaha sabar dan ikhlas dengan perlakuan tidak adil Mama, juga sikap teman yang bekerja di rumahnya – yang notabene bergaji sesuai kontrak. Kata temanku, majikan dia sebelumnya masih lebih baik dari Mama. Dan memang, akulah yang mengenalkan dia pada Mama.

 

***

Suatu hari aku membaca sebuah tabloid berbahasa Indonesia yang beredar di Hong Kong. Di situ terdapat info lomba menulis yang diadakan Forum Lingkar Pena Hong Kong (FLP-HK). Aku pun mengikuti lomba tersebut. Pengumuman pemenang diselenggarakan di Masjid Tsim Sha Tsui bersamaan dengan milad forum itu. Aku kaget ketika tahu tulisanku masuk dalam 15 besar. Aku mendapatkan hadiah buku dan uang tunai senilai HK$ 100. Senang banget rasanya, karya sederhanaku diapresiasi.

Seiring berjalannya waktu, teman dan wawasanku bertambah. Aku tidak ingin buta hukum lagi dan terbayang-bayang PHK. Aku aktif bertanya pada teman aktivis dan teman kursus tentang hukum ketenagakerjaan, di samping rutin membaca koran atau tabloid berbahasa Indonesia yang terbit dan beredar di sini. Sebab, kebanyakan surat kabar itu membahas seputar kegiatan dan info pekerja migran Indonesia (PMI). Aku baru menyadari dan mengetahui jika selama ini, dalam tiga kali masa kontrak (enam tahun), aku menjadi korban underpayment.

Ketika kontrak ketiga berakhir, aku pindah majikan. Oleh agen, aku dicarikan majikan yang memenuhi hak-hakku sebagai PMI. Aku juga mulai tertarik untuk mengikuti aksi demo bersama teman-teman. Tidak seperti dulu, takut melihat demo, apalagi jadi bagian dari pendemo.

Dua bulan setelah aku pindah, Sri juga pindah majikan. Darinya aku belajar untuk memiliki keberanian agar hak-hak sebagai PMI tidak dirampas majikan.

Kontrak keempat pun berakhir. Saat itu, kulihat agen terkesan enggan mencarikan majikan baru untukku. Salah seorang teman memberitahu agen bahwa aku aktif demo. Dari info itu, kemungkinan agen takut aku akan  menuntut hak-hakku yang lampau. Itu karena aku kini sudah mengerti hak dan kewajiban sebagai PMI dalam hukum ketenagakerjaan di Hong Kong.

Sampai kemudian, ada seorang teman yang mengenalkan majikan padaku. Aku pun memutuskan pindah agen. Agen lama tidak marah-marah, sebagaimana perlakuannya pada PMI lain yang ia semprot saat hendak mengambil paspor padanya.

Dari pengalaman yang kualami, PJTKI dan agen akan sangat berpengaruh manakala banyak PMI yang buta hukum ketenagakerjaan. Sebab, dengan begitu, sejak awal si PMI bisa ditakut-takuti dengan hal yang buruk. Aku sendiri misalnya, tidak pernah diikutkan welcoming program KJRI Hong Kong, dan tidak diberi buku panduan yang berisi hak-hak PMI.

Semoga kisahku yang terbelenggu ketakutan di-PHK lantaran buta hukum dan tidak memiliki keberanian menuntut ini, tidak terjadi pada PMI lainnya. Saat ini, setelah tidak lagi menjadi korban underpayment, aku berusaha memupuk keberanian agar tidak mudah dibohongi, dibodohi, dan ditakuti. Terima kasih teman-teman aktivis yang telah berbagi ilmu, sehingga menyadarkanku dari bayang ketakutan dalam kebutaan akan hak-hak dan kewajiban seorang pramuwisma. (Dituturkan Siti kepada Anna Ilham dari Apakabar Plus)

 

Advertisement
Advertisement