April 24, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Bukan Kerudung Teroris

4 min read

Saat ini aku masih bekerja di Negara Andy Lau, Hong Kong. Selaku pekerja rumah tangga, aktivitasku berjibun, mulai dari bersih-bersih rumah, belanja, memasak, hingga menjaga dua pangeran cilik berusia 5 tahun dan 3 tahun. Tuan dan nyonyaku bekerja. Sesekali saja kakek dan nenek membantu menjaga kedua cucunya yang hiperaktif itu.

Aku bekerja di rumah ini hampir 15 bulan. Sebelumnya, aku bekerja pada sepasang suami istri dengan seorang putri selama dua tahun. Alhamdulillah, urusan jilbab atau kerudung tidak mempengaruhi hubungan harmonisku dengan majikan. Mereka menganggapku memakai topi sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan. Aturan sebagai pramuwisma yang kudapat dari PJTKI adalah tidak boleh beribadah selama masa kerja dua tahun. ”Baiklah, tidak mengapa. Yang penting saya bisa segera bekerja ke Hong Kong,” tuturku kepada kepala asrama waktu itu.

Namun, sehari tidak beribadah terasa sudah setahun aku tidak melakukannya. Gelisah berbaur takut mendera tiap hari. Hingga pada hari ketujuh, aku memantapkan diri akan tetap melakukan shalat selama bekerja. Bayangan dua tahun tidak shalat, lalu Yang Maha Kuasa tiba-tiba memanggil sebelum masa kontrak habis, kian menambah semangat bahwa ibadah itu wajib aku lakukan.

Aku pun menyiapkan ragam argumen bila suatu hari ketahuan majikan. Ya, aku akan bilang pada mereka bahwa di Hong Kong aku belum ada teman, keluarga juga jauh. Makanya, aku ingin berlindung pada Yang Maha Esa agar selalu sehat dan senantiasa kuat bekerja. Ajaib. Argumen ini diterima dengan senyum tatkala Nyonya melihat tanpa sengaja aku melaksanakan shalat subuh. Alhamdulillah… shalatku di hari berikutnya berjalan tanpa rasa kikuk. Istilah shalat yang mudah dipahami majikan adalah olahraga. Maklumlah, saat itu bahasa Kantonisku masih jauh dari fasih. Sedangkan berbahasa Inggris aku hanya bisa sedikit, itu saja kudapat saat sekolah.

Tahun 2007, di Gedung Peninsula Plaza Hong Kong, terjadi ledakan dahsyat dengan korban hampir 100 orang meninggal dan luka parah. Menurut kepolisian, ledakan dilakukan dengan sengaja atau bom bunuh diri. Nah, kebetulan yang melakukan bom bunuh diri itu seorang wanita dengan penutup kepala dan wajah. Jasadnya tak berbentuk lagi. Tulang belulangnya berbaur menjadi satu dengan serpihan-serpihan kaca. Mengerikan. Bulu romaku berdiri setiap kali mengingat kejadian itu.

Sebelum kejadian bom bunuh diri, aku bisa leluasa berjilbab. Tidak hanya di sekitar apartemen tempatku bekerja saja, namun ke banyak tempat di Hong Kong seperti pasar, supermarket, mal, dan lain-lain. Masyarakat sini toleransinya bagus. Namun, peristiwa berdarah di Peninsula Plaza itu mampu memporakporandakan sebuah harmoni rasa. Fenomena teroris menyerang Hong Kong bagai petir yang menyambar saban hari.

Majikanku sekeluarga sangat takut. Mereka beberapa kali menanyakan apa aku mengenal wanita pengebom itu? Dan, beberapa kali pula warga Hong Kong yang melihatku memancarkan segudang cerca. Aku semakin khawatir untuk keluar rumah. Takut juga dengan pemutusan kerja sepihak dari majikan. Alhamdulillah, PHK itu tidak terjadi. Ini karena kegigihanku menunjukkan bahwa tidak semua wanita berkerudung itu teroris.

Yes, Mum… My hat’s is not terroris hat,” jawabku mantap. Ya, kerudungku memang bukan kerudung teroris. Tapi kerudung pelindung martabat seorang muslimah. Semangat ini membuatku berani ke mana-mana lagi. Pasar yang biasanya kuhindari, dengan bismillah aku telusuri setiap kedai dan penjualnya. Pandangan sinis itu kujadikan ladang ibadah. Aku membalasnya dengan senyum tulus. Lewat sabar, senyum, dan peduli lingkungan, aku bertekad memperkenalkan keindahan Islam pada beberapa warga yang belum legowo menerima keberadaanku, seorang muslimah Indonesia.

”Tumben ke pasar, An. Gak takut ma Pak Kumis itu, ta?” tanya Rinai, sahabat dari Malang. Kami akrab, ya di pasar ini. Pak Kumis adalah seorang petugas pasar yang galak dan suka semena-mena terhadap para babu. Tapi, selalu bersikap manis dan sopan pada semua warga Hong Kong. ”Diskriminasi emang di mana-mana, Sobat. Jangan takut selagi kita benar,” tambah Marley, sahabat kami dari Srilanka.

”Kita akan saling mendukung dan membantu bila kita, kaum sesama migran, mendapat masalah di ranah rantau ini,” tiba-tiba Bintang Gokil alias Binti Wahyuni muncul dengan gayanya yang khas. Setelah insyaf dari kebiasaan teler, ia selalu berbuat baik dan ramah pada teman-teman.

”Kalau takut, terus kapan ke pasarnya, Rin? Nyonya sudah menegur, nich. Dia ingin makan ikan yang masih segar, yang masih loncat-loncat itu loh,” jawabku pada Rinai sembari menunjuk lapak penjual ikan segar. Ya, hampir tiga bulan majikan kumasakkan dari belanjaan di supermarket. Aku saja jenuh, apalagi majikan? Pak Kumis yang galak tidak akan mempengaruhi niatku untuk menunjukkan bahwa tidak semua muslim itu teroris. Setelah membuat janji berkumpul di hari Minggu dengan Rinai dan Mbak Binti, aku langsung mengejar waktu agar kerja dan ibadahku tidak terbengkalai.

***

Minggu ini cerah, aku dan teman-teman mengadakan acara zikir dan doa bersama. Acara ini kami rutinkan sebulan sekali. Di samping untuk mempererat silaturahim antarperantau, kami bisa saling berbagi suka dan duka selama enam hari bekerja di rumah majikan. Ya, persahabatan menjadi keluarga terdekat saat kita jauh dari sanak saudara di kampung halaman.

Setiap berkumpul, kami berbagi apa saja yang akan dibawa oleh masing-masing orang. Nah, bulan ini aku kebagian membawa minuman kemas. Untuk menghemat waktu, agar tak kesiangan sampai ke tempat acara, saat belanja harian aku membeli minuman tersebut. Aku menatanya di sebuah tas cangklong berwarna hitam dan berangkat dari rumah majikan jam 7 pagi.

Saat melewati pintu keamanan apartemen, tiba-tiba satpam memanggilku.

”Hmm, tak biasanya…,” batinku dengan detak jantung yang menggelegar. Karena tidak ada orang selain aku yang lewat, maka aku berhenti dan tersenyum padanya.

”Hei… Kamu lantai 42 kan? Mau ke mana pagi amat berangkatnya? Bawa apaan tuh,” sapanya dengan tatapan mata tajam, menunjuk kantong hitamku. Aku yang masih heran, tergagap dengan pertanyaan yang tidak biasa itu.

Selanjutnya >>>

Advertisement
Advertisement