April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

REFLEKSI HARI BURUH 2018: MUSUH BURUH BUKAN KEMAJUAN TEKNOLOGI

4 min read

Jangan musuhi kemajuan teknologi dan robotisasi. Di hari buruh 2018, kita harusnya menyadari, masalah buruh 1918, 2018, atau 2030 sampai masih sama kayak dulu-dulu: pengusaha yang serakah.

“Bagaimana kalau buruh manusia diganti robot?”

Sebulan ini sudah dua kali saya mengisi diskusi bertemakan perburuhan dan selalu saja muncul pertanyaan tersebut dari peserta.

Pertanyaan itu diartikan berniat baik, yakni ingin mendapatkan solusi agar penggangguran tidak semakin bertambah. Atau bisa juga berniat buruk, untuk menghakimi buruh yang dianggap tidak tahu diri karena kebanyakan nuntut. Kalau pengusaha kesal, bisa diancam, “Nanti diganti robot lho.” Begitulah kira-kira.

Sebetulnya, salah satu hal yang mendorong kemajuan teknologi adalah perjuangan buruh. Pada awal abad ke-19, inovasi mesin tenun berkembang sejalan dengan gencarnya buruh-buruh Inggris menuntut pengurangan jam kerja. Kondisi kerja yang buruk, yang berlangsung 15-20 jam sehari, melahirkan perlawanan buruh yang sengit.

Dalam buku Kondisi Klas Pekerja di Inggris yang diterbitkan pertama kali tahun 1845, Friedrich Engels menceritakan bagaimana perlawanan buruh Inggris dilancarkan secara langsung kepada majikan.

Contoh kasus, pada 1843, pabrik batu-bata Pauling & Henfrey meningkatkan produksi batu bata tanpa kenaikan upah. Buruh melakukan mogok kerja dan serikat menyatakan perang. Awalnya perusahaan berhasil menang. Polisi dan tentara yang dipersenjatai mengusir para pemogok. Namun, pada pukul 10 malam, buruh kembali menyerang dengan menggunakan senjata.

 

Situasi seperti ini umum terjadi di masa itu.

Apalagi kaum sosialis aktif berpropaganda agar buruh lebih baik merebut alat-alat produksi milik majikan daripada melakukan sabotase terhadap mesin-mesin. Revolusi di ambang pintu. Sungguh menakutkan bagi para majikan pemilik modal.

Bagi pemilik modal, cara yang aman mengatasi persoalan ini salah satunya dengan mengembangkan teknologi. Semakin tinggi teknologi, tenaga kerja buruh manusia bisa dikurangi dan hasil produksi akan semakin banyak dalam masa produksi yang lebih singkat. Kualitas barang lebih baik dan  lebih murah, yang artinya bisa lebih laku dan menang dalam persaingan di pasar.

Dengan teknologi tinggi dan keuntungan yang melimpah, jam kerja juga bisa dikurangi. Praktik 8 jam kerja yang diberlakukan di pabrik Ford pada 1914 justru semakin meningkatkan produktivitas pekerja. Akhirnya, perusahaan lagi yang diuntungkan. Kemudian ini ditiru oleh perusahaan-perusahaan lainnya.

Sekarang di abad 21, buruh masih saja menuntut kenaikan upah dan status kerja yang tetap. Kalau begitu, gantikan saja seluruh buruh dengan robot. Lebih aman, begitu kata orang-orang.

 

Tapi, ternyata tidak semudah itu menggantikan buruh dengan robot.

Ada yang bilang membeli mesin-mesin produksi yang canggih itu lebih mahal daripada menggunakan buruh. Jadi, robotisasi itu tidak mungkin karena butuh biaya yang lebih besar.

Rahasianya bukan di situ. Kemajuan teknologi, apalagi sampai ke tingkat robotisasi, mampu menghasilkan barang yang lebih melimpah dengan mengurangi jumlah buruh secara masif alias lebih banyak menciptakan pengangguran. Pada level tertentu, keberadaan pengangguran memang menguntungkan pengusaha. Daya tawar pengusaha tinggi, sedangkan daya tawar buruh rendah. Pengusaha bisa bilang, “Hei, buruh, kamu kalau banyak nuntut, aku pecat. Banyak yang ngantre buat kerja di sini.”

Namun, jika pengangguran menjadi masif, pertanyaannya: Siapa yang akan membeli barang-barang yang dihasilkan pengusaha apabila sebagian besar masyarakat menganggur? Tanpa pekerjaan, tidak ada penghasilan. Tidak ada penghasilan, berarti tidak ada daya beli. Barang melimpah, tapi tidak terbeli. Ujung-ujungnya adalah krisis overproduksi yang secara rutin terjadi dalam siklus ekonomi kapitalistis.

Apalagi transaksi masyarakat kita sekarang banyak dilakukan secara kredit. Dari kredit motor, barang elektronik, rumah, pinjaman ke bank, sampai ke rentenir. Kredit macet akan menimbulkan efek domino yang mempercepat krisis sebagaimana krisis Depresi Besar 1930 atau Subprime Mortgage 2008 di AS.

 

Wah, kalau gitu, kemajuan teknologi berbahaya dong bagi ekonomi?

Sebetulnya tidak, malah menguntungkan umat manusia. Kelimpahan hasil produksi menekan harga menjadi semakin murah dan semakin terjangkau. Bahkan, pada akhirnya seharusnya gratis. Yang berbahaya adalah perkembangan teknologi dengan menyingkirkan tenaga kerja dari proses produksi.

Agar penggunaan teknologi yang tak terhindarkan tidak menjadi bencana bagi buruh manusia, ada dua jalan yang bisa ditempuh.

Pertama, pengurangan jam kerja tanpa mengurangi kesejahteraan buruh. Malah seharusnya kesejahteraan pekerja ditingkatkan karena keuntungan meningkat. Solusi pengurangan jam kerja ini sudah ditempuh oleh Swedia yang mengurangi jam kerja dari 8 jam menjadi 6 jam sehari. Baru-baru ini Jerman juga mengurangi jam kerja wajib dari 35 jam menjadi 28 per minggu.

Itulah mengapa tuntutan pengurangan jam kerja masih relevan hingga saat ini. Terlebih, teknologi telah berkembang jauh lebih pesat ketimbang 200 tahun lalu ketika gerakan buruh menuntut 8 jam kerja.

Kedua, mengurangi keuntungan pengusaha agar bisa digunakan untuk menggaji tenaga kerja baru. Dengan adanya tenaga kerja baru, jam kerja lagi-lagi bisa dikurangi. Pembagian kerja sif bertambah. Contohnya, jika jam kerja berubah dari 8 jam menjadi 6 jam sehari, sif kerja berubah dari 3 sif menjadi 4 sif. Penambahan tenaga kerja ini sama artinya mengurangi pengangguran di luar sana.

Ketiga, sosialisasi alat-alat produksi menjadi milik publik. Dengan kecanggihan teknologi yang ada sekarang, mobil diproduksi dari bahan mentah sampai menjadi satu mobil utuh dalam waktu 22 jam. Barang-barang pabrikan lain tentu diproduksi dengan masa yang lebih singkat lagi. Barang berlimpah. Di sisi lain, buruh harus menabung hingga 30 bulan tanpa makan dan minum untuk membeli satu mobil. Kontradiksi ini adalah cacat bawaan yang akan menghantui perkembangan teknologi di bawah sistem kapitalisme.

Jalan pertama dan kedua, yang sering disebut jalan keluar sosial demokrat, lebih lunak daripada jalan keluar ketiga yang revolusioner. Jalan keluar sosial demokrat bisa digunakan untuk mengurangi krisis ekonomi.

Tapi, selunak apa pun itu, kalau pengusahanya superserakah dan pejabat politiknya maniak korupsi, kondisi tetap akan begini-begini saja. Kalau terjadi krisis seperti yang sudah-sudah, mereka tinggal pakai duit pajak dan jaminan sosial buat menalangi bank dan perusahaan yang bangkrut. Buruh dan rakyat lagi yang jadi korban karena duitnya ditilep.[Sarinah]

Advertisement
Advertisement