April 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Aktifitas Erupsi Terpantau Masih Ada, Waspada Zona Tsunami Selat Sunda

3 min read

Aktivitas Gunung Anak Krakatau meningkat. Sepanjang Sabtu (5/1/2019), gunung yang berada di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung ini terekam mengeluarkan 43 kali kegempaan letusan.

Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau di Bandar Lampung mencatat amplitudo letusan 20-24 milimeter (mm) dengan durasi 51-121 detik. Embusannya 10 kali dengan amplitudo 12-14 mm berdurasi 35-42 detik. Selain itu, Tremor Menerus (Microtremor) terekam dengan amplitudo 2-17 mm.

Windi Cahya Untung, staf Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut tidak terdengar suara dentuman dari belasan letusan tersebut.

Namun, tinggi kolom abu yang teramati mencapai 1.500 meter di atas puncak (sekitar 1.610 meter di atas permukaan laut). Kolom abu berwarna kelabu dengan intensitas tebal condong ke arah barat daya.

Erupsi Sabtu tercatat lebih banyak dibanding Jumat (4/1/2019). Laporan PVMBG menyebut, pada hari itu jumlah letusan Gunung Anak Krakatau tercatat sebanyak 33 kali dengan amplitudo 15-22 mm berdurasi 40-110 detik. Begitu juga Kamis (3/1/2019), dengan total kejadian mencapai 37 kali gempa letusan.

Status Gunung Anak Krakatau masih berada pada Level III (Siaga). Masyarakat dan wisatawan tidak diperbolehkan berada pada radius 5 kilometer (km) dari kawah.

Deny Mardiono, petugas lain Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau mengatakan aktivitas erupsi masih fluktuatif sejak adanya peningkatan signifikan pada Juni 2018.

Kendati begitu, secara garis besar Gunung Anak Krakatau menunjukkan tren penurunan aktivitas setelah penyusutan ketinggian dari sebelumnya 338 mdpl menjadi 110 mdpl.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan potensi terjadinya gelombang dahsyat (tsunami) susulan masih memungkinkan. Hal ini menyusul ditemukannya dua retakan baru dalam satu garis lurus pada salah satu tubuh Gunung Anak Krakatau pasca-penyusutan.

BMKG khawatir retakan ini dapat memicu longsoran bawah laut yang berujung gelombang tinggi mirip bencana yang terjadi di sejumlah wilayah pesisir Selat Sunda, 22 Desember 2018.

Sebab, volume bagian badan gunung yang mungkin longsor itu sebesar 67 juta meter kubik (m3) dengan panjang sekitar 1 km, lebih sedikit dibandingkan longsoran pertamanya sebanyak 90 juta m3. Dengan kata lain, potensi terjadinya gelombang tinggi tidak akan sebesar sebelumnya.

 

 

BMKG pun menyatakan zona waspada tsunami pada radius 500 meter dari tepi pantai berelevasi rendah masih diberlakukan. Adapun elevasi rendah yang dimaksud adalah wilayah pantai yang memiliki kedalaman kurang dari 5 meter di atas permukaan laut.

“Terkait perkembangan erupsi Gunung Anak Krakatau, serta mempertimbangkan kondisi lereng/tebing dasar laut ataupun kondisi potensi kegempaan di Selat Sunda,” sebut Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhammad Sadly dalam keterangan tertulisnya yang dikutip detikcom, Sabtu.

Untuk mengantisipasi bencana susulan, BMKG memasang alat berupa sensor pemantau gelombang dan iklim. Sensor tersebut dipasang di Pulau Sebesi yang jaraknya cukup dekat dengan Gunung Anak Krakatau.

Alat tersebut akan bekerja memantau pergerakan gelombang dan cuaca yang disebabkan aktivitas Gunung Anak Krakatau. Jika ada gelombang yang mengalami fluktuasi tinggi, sensor akan mengirim sinyal ke pusat data yang terhubung.

“Secara paralel akan mengabarkan BMKG Jakarta, BPBD, dan polda, akan diketahui lebih cepat jika ada gelombang tinggi seperti tsunami, jadi ada peringatan dini lebih cepat untuk masyarakat,” sebut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.

Masyarakat bisa memantau perkembangan informasi terkait kewaspadaan bahaya tsunami melalui situs, aplikasi mobile, maupun media sosial milik BMKG (@InfoBMKG).

Begitu juga pemantauan perkembangan aktivitas Gunung Anak Krakatau bisa dilihat melalui aplikasi Magma Indonesia milik PVMBG agar tidak terpancing dengan isu yang menyesatkan. []

Advertisement
Advertisement