April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Ali Sastroamidjojo, Sosok Dibalik Sukses Konferensi Asia Afrika

11 min read

JAKARTA – Ruas Jalan di Kota Bandung itu menjadi lautan manusia. Ribuan orang memadati tempat tersebut. Ditambah lagi, terdapat banyak ragam bendera dan tokoh dunia berseliweran di ruas jalan. Ada wajah Jawaharlal Nehru, Ghandi, dan Sukarno yang terpampang jelas di baliho besar. Disertai pula, warna-warni yang meriah.

Presiden Joko Widodo bersama Presiden Cina Xi Jinping, Perdana Menteri Malaysia Nazib Razak, Perdana Menteri Nepal Sushil Koirala pun melakukan prosesi historical walk di ruas jalan itu. Mereka berjalan saling berdampingan dari Hotel Savoy Homan menuju Gedung Merdeka, di kawasan Jalan Asia Afrika, Bandung. Begitulah riuh meriah puncak peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA), pada 24 April 2015 silam.

Persis 60 tahun lalu, hal yang sama juga dilakukan oleh elite Indonesia dalam menggagas lahirnya penyelenggaraan konferensi ini. Dia adalah Ali Sastroamidjojo, penggagas penyelenggaraan KAA, yang memasang tonggak pertama dalam sejarah KAA.

Dalam Laporan Guide Asian-African Conference Archives dijelaskan, hadirnya KAA tidak terlepas dari konstelasi politik global. Setelah Perang Dunia II selesai, sebut laporan itu, dunia masih tidak aman. Muncul dua negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US), yang memicu ketegangan perang dingin.

Selama perang dingin, dua negara adidaya tersebut membuat blok masing-masing. AS berkekuatan kapitalis dengan blok baratnya, sedangkan US berkekuatan komunis dengan blok timurnya.

Di sisi lain, laporan tersebut menjelaskan, ada dampak dari Perang Dunia II terhadap negara-negara jajahan. Setelah Perang Dunia II, banyak negara Asia-Afrika yang merdeka, membebaskan dirinya dari penjajahan, termasuk Indonesia. Namun, masih ada konflik yang terjadi di negara yang baru merdeka.

Seperti konflik India-Pakistan, kedua negara tersebut bermasalah dalam persoalan Kashmir. Pun di Indonesia, masih rentan konflik dengan Belanda soal persoalan Irian Barat.

Berdasarkan situasi ini, sebut laporan itu, Ali sebagai Perdana Menteri khawatir dengan keadaan yang terjadi. Ia was-was, negara-negara Asia-Afrika hanya akan lebih menderita karena keberlangsungan perang dingin.

Pada 25 Agustus 1953, Ali menyatakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) agar pemerintah ikut meredakan ketegangan dunia yang terjadi akibat perang dingin. Menurutnya, negara-negara Asia-Afrika perlu ikut serta dalam membebaskan diri dari tekanan-tekanan dan segala konflik akibat perang dingin.

 

Perencanaan Konferensi

Menurut Edukator Museum KAA Desmond S. Andrian, upaya Ali dalam menyelenggarakan KAA merupakan perwujudan konkret dari politik bebas aktif yang dicetuskan oleh Mohammad Hatta.

Untuk diketahui, politik bebas aktif merupakan politik yang ditujukan untuk menjalin hubungan baik antar negara dengan sifat bebas dan aktif. Bebas, artinya tidak memihak kepada siapapun.

Dalam konteks perang dingin, politik bebas tidak memihak blok barat atau pun blok timur. Sementara aktif, artinya aktif untuk ketertiban dan perdamaian dunia dengan menghormati kedaulatan negara lain.

Desmond mengatakan, sejak dicetuskan gagasan politik bebas-aktif oleh Hatta, gagasan tersebut masih dianggap sebagai slogan. Namun di tangan Ali, kata dia, kerja sama yang erat antar negara-negara Asia-Afrika melalui KAA mulai terwujud.

“Baru nyata di tangan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo,” kata Desmond, Selasa (26/03/2019).

Ali sendiri, dalam autobiografi Tonggak-Tonggak di Perjalananku menyatakan, kekhawatirannya mengenai kondisi perang dingin. Pria itu menulis, politik kekuasaan internasional berpotensi untuk menimbulkan kembali kolonialisme.

Karenanya, seperti tertulis di autobiografinya, Ali menghendaki konferensi ini tidak hanya sekadar membantu meredakan perang dingin. Tetapi juga bisa menjadi titik temu dalam perjuangan melawan kolonialisme.

Sejarawan Goerge Mc Turnan Kahin membenarkan hal tersebut. Melalui buku The Asian-African Conference, Bandung, Indonesia, April 1955, Kahin menulis, ide penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika itu berasal dari Ali Sastroamidjojo. Rencana dia, tulis Kahin, berawal dari upaya mengundang negara-negara Asia-Afrika yang terdaftar dalam PBB untuk menyelenggarakan kegiatan ini.

Kahin menulis, Ali memperkenalkan ide ini kepada perdana menteri dari Burma, Sri Lanka, India, dan Pakistan dalam pertemuan Colombo. Perlu diketahui, Pertemuan Colombo dilaksanakan pada 28 April-2 Mei 1954 di Sri Lanka. Pertemuan ini merupakan awal dari suatu ide Ali guna menciptakan solidaritas yang lebih luas bagi negara Asia Afrika

Dalam penyampaian ide tersebut, hanya Perdana Menteri Pakistan Mohammad Ali yang antusias. Perdana menteri Sri Lanka Sir John Kotelawa, hanya sekadar mengikuti Mohammad Ali. Sementara, Perdana menteri India Jawaharlal Nehru, beserta Perdana Menteri Burma U Nu, skeptis dengan kelayakan konferensi ini.

Namun tidak sampai akhir September 1954, Ali berhasil melobi mereka. Ia mendapatkan persetujuan dari Nehru.

Akhir Desember 1954, lima delegasi negara dari pertemuan Colombo mengadakan pertemuan informal di Bogor untuk membuat rencana pematangan konferensi. Mereka sepakat negara-negara Asia-Afrika yang diundang tidak dibatasi hanya yang terdaftar di PBB, tetapi yang tidak terdaftar pun tetap diundang. Ali menjamin empat delegasi negara dengan menjadi tuan rumah KAA.

 

Tak Diundang

Setelah sepakat, para pimpinan negara tersebut mengundang negara-negara Asia-Afrika. Nehru mengundang Cina. Beberapa undangan negara lain seperti Kamboja, Jepang, Yordania, Libya, Nepal, Vietnam Utara, dan Vietnam Selatan. Juga, negara-negara Afrika yang baru merdeka pun diundang seperti Ghana, Sudan, dan Federasi Afrika Tengah.

Namun, Kahin juga mencatat ada beberapa negara yang tidak diundang oleh lima delegasi negara tersebut. Seperti Korea Utara dan Korea Selatan yang sedang bermusuhan. Hasil rapat memang tidak mengundang mereka dengan alasan etika.

Afrika Selatan pun demikian, tak diundang demi menjaga persatuan Asia-Afrika, mengingat Afrika Selatan masih terjadi diskriminasi ras. Begitu juga dengan Israel, negara ini tidak mendapat undangan dengan alasan ditolak oleh kubu Pakistan. Alasannya, kehadiran Israel memengaruhi kelompok negara Arab tidak hadir dalam konferensi tersebut.

Dalam rapat tersebut, Ali dan perdana menteri lainnya merumuskan beberapa isu seputar Asia-Afrika. Kahin menulis, beberapa isu yang dibahas seperti dukungan untuk Indonesia dalam persoalan Irian Barat; dukungan untuk rakyat Tunisia dan Maroko dalam menuntut kemerdekaan hak penentuan pendapat; lalu, perhatian khusus terhadap potensi ledakan nuklir yang mengancam tidak hanya negara mereka, tetapi juga dunia.

Hasil rapat, tulis Kahin, menyepakati kesepakatan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika di Indonesia pada April 1955. Secara umum, sebut Kahin, agendanya antara lain mempromosikan itikad baik dan kerja sama antara bangsa Asia-Afrika; mendiskusikan permasalahan sosial, ekonomi, dan budaya antar negara; mendiskusikan persoalan kepentingan khusus Asia-Afrika; dan menunjukkan posisi Asia-Afrika dalam berkontribusi mewujudkan perdamaian dunia.

KAA pertama kalinya digelar pada 18-24 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. Negara-negara pendirinya antara lain Indonesia, India, Pakistan, Burma, dan Sri Lanka. KAA bertemakan Asia-Africa Speaks From Bandung.

Konferensi ini diikuti oleh 29 negara Asia-Afrika. Kemudian, KAA menghasilkan The Declaration on the Promotion of World Peace and Cooperation, atau biasa disebut sebagai Dasasila Bandung.

Acara KAA, tulis Kahin, dibuka oleh Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Dalam tulisannya, Sukarno mengatakan negara-negara Asia-Afrika yang beragam itu disatukan oleh “kebencian terhadap kolonialisme, kebencian terhadap rasialisme, dan keinginan untuk menjaga dan memelihara perdamaian di dunia.”

Selanjutnya, Sukarno menekankan kepada mayoritas populasi dunia, yang direpresentasikan dalam konferensi tersebut, agar berperan positif dalam mempengaruhi keputusan internasional untuk mengedepankan keamanan dan kesejahteraan. Sukarno menyimpulkan, kegiatan ini akan sukses pada selanjutnya jika dapat mengatasi kekurangan dan mendidik partisipan untuk memahami persoalan dengan lebih baik.

Ali yang berada di dekat Sukarno mengikutinya. Kemudian, tulis Kahin, ia menggugah para delegasi;

“Dimana kita, rakyat Asia-Afrika, berpihak; dan untuk apa kita berpihak di dunia yang penuh dengan ketakutan?” kata Ali sembari menyinggung soal kolonialisme, rasialisme, dan kemiskinan di Asia-Afrika. Ia memang menyebut konferensi ini untuk memberi kontribusi demi menurunkan ketegangan internasional dan mewujudkan perdamaian dunia.

Dalam penyelenggaraan KAA ini, Desmond menilai peran Ali dalam penyelenggaraan KAA lebih besar dibanding Sukarno. Pada tahun 1950-an, sistem pemerintahan yang dilaksanakan Indonesia adalah sistem parlementer. Ali sebagai perdana menteri memiliki kuasa besar dalam pelaksanaan pemerintahan. Sementara, Sukarno hanya hadir di pembukaan, tetapi tidak mengurus pembahasan forum.

“Orang hanya melihat Sukarno datang hari Senin, 18 April 1955, pukul 08.00-10.00, itu saja. Setelah itu, tanggal 18 sampai 24 April, Sukarno tidak ada mencampuri urusan KAA,” kata Desmond.

Desmond menyampaikan beberapa fakta terkait peran Ali dalam forum KAA. Salah satunya dalam hal perdebatan Pakistan dan India. Perdebatan itu mengenai penentuan perlu atau tidak soal pidato para ketua delegasi yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Dalam hal ini, Ali yang menyelesaikan perdebatan tersebut.

Kemudian, lanjut dia, perdebatan kata kolonialisme juga muncul dalam forum. Penggunaan kata kolonialisme tidak disepakati oleh Cina. Sebab, kata kolonialisme dianggap pihak Cina setara dengan komunisme, dan terkesan menyudutkan negara tersebut. Ali juga berhasil menyelesaikan perdebatan tersebut.

Meski Sukarno dianggap tidak terlalu berperan dalam KAA, Desmond mengatakan KAA memberikan dampak politik luar negeri yang dijalankan Sukarno setelahnya. Dampak tersebut berupa panggung politik, salah satunya Gerakan Non Blok (GNB) yang kelak diisi oleh Sukarno tahun 60-an.

Setelah KAA tahun 1955, Ali tidak menjadi perdana menteri lagi. Sehingga, Sukarno lah yang punya andil besar untuk melanjutkan politik luar negeri Indonesia melalui Gerakan Non Blok.

“Panggung itu tidak mungkin berdiri kalau tidak ada Konferensi Asia-Afrika,” kata Desmond.

 

Dampak Global

Tidak bisa dimungkiri, KAA yang digagas oleh Ali Sastroamidjojo memiliki pengaruh besar terhadap konstelasi politik global. Dapat dibayangkan bagaimana di tengah konstelasi perang dingin antara blok barat dan blok timur dan juga negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka, Indonesia melalui tindakan Ali Sastroamidjojo, dapat mengumpulkan negara-negara Asia-Afrika tersebut untuk menyebarkan perdamaian dunia.

Banyak apresiasi yang diberikan untuk penyelenggaraan KAA. Seperti yang dituliskan dalam buku Asian-African Identity in World Affairs oleh Munadjat Danusaputro, kolumnis Chalmers Robert dari Washington Post. Ia mengatakan, KAA merupakan historical landmark bagi populasi setengah dunia yang telah tidur selama 500 tahun lebih.

“The Asian-African nations were on their feet at long last!,” kata Robert.

Kemudian, Haryo Kunto Wibisono, dalam Indonesia’s Foreign Politics 1955-1965: Between Decolonisation and Beacon Politics, menyebut hal yang senada. Berkat penyelenggaraan KA, tulisnya, prestise Indonesia jadi meningkat, khususnya dalam politik luar negeri.

Di Afrika, sebut Haryo, KAA dijadikan sebagai pelecut bagi sebagian negara Afrika yang belum merdeka untuk memperoleh kemerdekaan. Seperti halnya di negara Ghana, negara ini berhasil memperoleh kemerdekaan dari kolonialisme Inggris pada 6 Juli 1957. Kemerdekaan ini diraih berkat keikutsertaan negara tersebut dalam KAA 1955. Ghana memperoleh dukungan diplomatik dari delegasi negara-negara KAA.

Selain Ghana, negara-negara Afrika yang merdeka setelah KAA antara lain Sudan (1956), Tunisia (1957) Maroko (1957), Senegal (1960), Mali (1960) dan Pantai Gading (1960). Kemudian ada Siera Leone (1961), Aljazair (1962), dan Kenya (1964).

Ada lagi, persoalan upaya Presiden Mesir Ghamal Abdul Nasser nasionalisasi terusan Suez yang sebelumnya dikuasai Inggris dan Prancis. Nasionalisasi terusan Suez dilakukan oleh Nasser guna kepentingan nasionalnya.

Melalui KAA, Nasser mencari dukungan guna melancarkan nasionalisasi tersebut. Upaya tersebut hendak digagalkan oleh Inggris dan Prancis. Inggris dan Prancis mengundang Israel untuk memerangi Mesir. Meski kalah perang, Mesir menang secara diplomatik. Dan, sebut Haryo, Nasser muncul sebagai pemenang pahlawan yang berani menantang imperialisme barat.

Di Indonesia sendiri, KAA memiliki efek besar dalam persoalan sengketa Irian Barat antara pihak Indonesia dan Belanda. Hal ini dijelaskan dalam skripsi “Dukungan Negara-Negara Konferensi Asia-Afrika dalam perjuangan Irian Barat” karya Mochamad Satrianto.

Pada Agustus 1954, tulis Satrianto, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Indonesia Mr. Sudjarwo Tjoadronegoro, memasukkan isu sengketa Irian Barat ke Majelis Umum PBB dengan tajuk “The Question of West Irian (West New Guinea)” agar menjadi pembahasan dunia. Namun, pembahasan itu tertunda.

Skripsi tersebut memaparkan setelah KAA digelar, perwakilan 15 negara Asia-Afrika mengajukan surat kepada Sekjen PBB pada Agustus 1955 agar tajuk “The Question of West Irian (West New Guinea)” menjadi pembahasan MU PBB. Beberapa negara tersebut antara lain Afghanistan, Burma, Mesir, India, Indonesia, Iran, Irak, Lebanon, Liberia, Pakistan, Filipina, Arab Saudi, Syria, Thailand, dan Yaman. Isinya, negara-negara tersebut menyampaikan dukungan agar pihak yang bersengketa mencari penyelesaian damai.

Upaya dukungan dari negara-negara Asia-Afrika itu berhasil. Pada September 1957, pemungutan suara mengenai “The Question of West Irian (West New Guinea)” dalam sidang PBB menghasilkan 49 suara setuju, 11 abstain, dan 21 menolak. Persoalan Irian barat menjadi agenda MU PBB ke-12.

Selain melalui dukungan diplomasi, negara-negara Asia-Afrika mendukung pihak Indonesia yang berkonfrontasi dengan Belanda dalam sengketa tersebut. Upaya melalui jalan diplomasi tidak berhasil, sehingga memicu pihak Indonesia melakukan perebutan Irian Barat melalui kontak senjata.

Skripsi tersebut menjelaskan, dukungan untuk Indonesia terlihat dari sikap negara-negara Asia-Afrika. Seperti Malaysia, yang menolak memberi izin mendarat dua buah pesawat Belanda yang singgah di Malaysia, dalam perjalanannya ke Irian Barat ketika konfrontasi berlangsung.

Begitu juga Burma. Pemerintah Burma menolak izin mendarat dua pesawat Belanda yang singgah di negara tersebut. Alasan dari pemerintah Burma adalah hal itu menjadi ancaman bagi keamanan di Asia.

Pemerintah Vietnam menyokong usaha perjuangan rakyat Indonesia dan mengutuk pengiriman tentara Belanda beserta kapal induk Karel Doorman ke perairan Indonesia. Presiden Mesir Ghamal Abdul Nasser pun mendukung Indonesia untuk sepenuhnya menyelesaikan sengketa Irian Barat.

Berkat dukungan negara-negara Asia-Afrika, persoalan sengketa Irian Barat selesai melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang memenangkan Indonesia. Pada 1 Mei 1963, United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada Indonesia. Lagi-lagi, semua hal itu tidak terlepas dari peran Ali yang menggagas penyelenggaraan KAA.

 

Dunia Pergerakan

Kiprah Ali dipergaulan internasional, sejatinya tidak terlepas dari masa lalunya yang dipengaruhi dunia pergerakan. Berdasarkan laporan ilmiah Negarawan dari Merbabu: (Kiprah) Politik Ali Sastroamidjojo di Indonesia Tahun 1928-1966 karya Engkos Koswara, Ali Sastroamidjojo lahir pada 21 Mei 1903 di Grabag, Marbabu, Jawa Tengah. Pria itu merupakan anak ke-11 dari 12 bersaudara.

Ayahnya, R. Ng. Sastroamidjojo, adalah seorang priyayi. Ia pernah menjadi Wedana di Jetis, Temanggung. Sementara Ibunya, Kustiah, merupakan kerabat dari Bupati Magelang. Keduanya berdarah Jawa dan hidup dengan cara Jawa. Karena itu, Ali banyak ditempa kebudayaan Jawa oleh orang tuanya.

Pendidikan Ali berawal dari memasuki ELS (Europeesche Lagere School). Pada 1918, Ia melanjutkan ke HBS (Hogers Burger School). Di sekolah ini, Ia mulai mengenal kebudayaan barat, khususnya budaya Belanda.

Dalam pengenalan budaya barat, Ali belajar banyak kesusastraan Prancis, Jerman, dan Inggris. Dari situlah, Ia mengagumi sastrawan-sastrawan besar, seperti Bernard Shaw, La Maertine Balzac, Shakespeare, Willem Kloos, dan Van Deysel.

Pada 1922, Ali berhasil menyelesaikan pendidikannya di HBS. Perkembangan berikutnya, Ia mendapatkan beasiswa untuk sekolah di Belanda. Ia masuk ke studi ilmu hukum di Universitas Leiden.

Selama di Leiden, Ali menempuh studi selama lima tahun. Selama itu pula, Ali mulai mendalami dunia pergerakan. Pria kelahiran Jawa Tengah itu sempat bergabung dengan organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) di belanda pada 1923-1928.

Kemudian, ia turut terlibat dalam Kongres Internasional Demokratik Perdamaian di Paris pada 1926. Pria itu juga pernah berkecimpung dalam Liga Anti Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Belgia pada 1927. Semua itu dia tujukan kepada masyarakat dunia, betapa rakyat Indonesia menderita di bawah penjajahan Belanda.

Namun pada 1927, perjuangan Ali berujung pada penjara. Hal ini berawal dari kisah perjuangan Ali bersama aktivis PI. Setelah para anggota PI menghadiri pertemuan Liga Anti-Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Brussels, Belgia, para aktivis pergerakan banyak berkenalan dengan aktivis buruh, seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen.

Selain itu, mereka juga berkenalan dengan Jawaharlal Nehru dari India, Hafiz Ramadhan Bey dari Mesir, dan Senghor dari Afrika yang kelak akan menjadi pemimpin politik masa depan di negaranya masing-masing.

Polisi Belanda ‘mencium bau busuk’ dari pergerakan para aktivis PI yang mulai menjalin hubungan dengan aktivis buruh. Asal tahu saja, aktivis buruh sangat ditakuti oleh pemerintah Belanda. Pemerintah takut kalau para aktivis, khususnya aktivis buruh, akan memprovokasi rakyat Belanda untuk memberontak. Karena itu, polisi Belanda mencari dalil untuk menangkap aktivis-aktivis PI.

Mohammad Hatta yang menjadi pimpinan PI saat itu dituding oleh polisi Belanda menghasut publik melawan pemerintah. Atas dasar tudingan tersebut, polisi Belanda menangkap Hatta bersama Nazir Sutan Pamontjak, Abdul Madjid Djojoadiningrat, dan termasuk Ali Sastroamidjojo pada September 1927.

Ketika di pengadilan, jaksa menuduh mereka bekerja sama dengan kaum komunis untuk menggalang pemberontakan kepada pemerintah Belanda. Namun, Hatta berhasil mendapatkan banyak simpati oleh banyak pihak, termasuk di Hindia Belanda, melalui pleidoi atau pidato pembelaannya yang berjudul Indonesie Vrijatau Indonesia Merdeka.

Saat pemenjaraan itu, Ali berusia 24 tahun. Ketika itu pula, ia sedang mempersiapkan ujian doktoral di Universitas Leiden. Pria itu mengikuti ujian itu dengan status tahanan dan dikawal sipir penjara. Ia lulus dengan mendapatkan gelar Meester in de Rechten dari Universitas Leiden tahun 1927.

Pada 1928, Ali kembali ke Indonesia. Di Indonesia, ia tetap tertarik dengan dunia pergerakan. Saat itu, gelora Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Sukarno untuk membebaskan rakyat dari kolonialisme menarik hati Ali. Ia pun bergabung dengan partai tersebut. Setelah bergabung, Ali sempat menjadi anggota PNI Cabang Yogyakarta.

Dari situlah, Ali menjadi dekat dengan Sukarno. Ia mengagumi Sukarno dan sepakat dengan gagasannya yang menentang imperialisme dan kolonialisme. Tak jarang Ali juga berdebat dengan Sukarno menyoal pandangan kebangsaan. Meski demikian, mereka tetap bersahabat.

Selama menjalani kegiatan pergerakan nasional di Indonesia, Ali menikah dengan Titi Roelia. Mereka dianugrahi empat orang anak. Titi merupakan teman sebayanya ketika berkuliah di Belanda. Bersama Ali, Titi juga ikut dalam pergerakan nasional, lalu menjadi aktivis nasional dan pegiat perempuan.

Kiprah Ali dalam pergerakan nasional pun tidak hanya tercatat sebelum Indonesia merdeka saja. Setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Ali tetap berkecimpung dalam ranah pergerakan nasional.

Awal kabinet pertama dibentuk, Bung Karno menunjuknya sebagai menteri penerangan. Pada masa Kabinet Amir Sjariffuddin, Ali juga sempat menjadi Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (P2K). Ia juga sempat ditunjuk menjadi Duta Besar untuk Amerika Serikat pada 1950.

Dua kali Ali menjadi perdana menteri. Kabinet pertama Ali berlangsung pada 30 Juli 1953-12 Agustus 1955. Pada kabinet pertama itulah, Ali punya kesempatan untuk menyelenggarakan KAA sebagai bentuk perwujudan dari politik bebas aktif. Sementara pada cabinet kedua, pada 24 Maret 1956-14 Maret 1957, Ali fokus pada penyelesaian sengketa Irian Barat.

Pada 13 Maret 1975, Ali Sastroamidjojo menghembuskan nap as terakhirnya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Mirisnya, meski dimakamkan di makam pahlawan, hingga kini Ali belum mendapat gelar pahlawan nasional. [Agi, dari berbagai sumber]

Advertisement
Advertisement