April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Batal Menikah

3 min read

Batal menikah bukan persoalan mudah, tapi tak bisa dimungkiri cukup lazim dialami kaum muda masa kini. Survei tahun 2013 oleh The Wedding Report menemukan 13 persen pertunangan atau sekitar seperempat juta tidak berakhir di pelaminan. Kenapa orang batal menikah?

“Banyak klien saya bergulat dengan transisi menuju kedewasaan ketika mereka bertunangan,” kata Christina Curtis, seorang psikoterapis pranikah di New York City.

Menurut Curtis, batal menikah di masa lalu lebih dilatari keraguan soal pasangan. Sedangkan milenial masa kini lebih fokus pada simbolisme pernikahan.

“Karena generasi milenial merasa perkawinan lebih bersifat opsional, mereka benar-benar memastikan apakah itu pilihan yang tepat,” ujarnya.

Benar saja. Kandasnya pertunangan pasangan selebritas Denny Sumargo dan Dita Soedarjo membuktikan bahwa sejoli yang tampak cocok dan saling mencintai satu sama lain pun bisa memutuskan batal menikah lantaran perbedaan prinsip.

Veronica Adesla, psikolog klinis dari Personal Growth mengungkapkan kepada detikHealth, salah satu hal penting soal batal menikah pada dasarnya adalah bagaimana cara pasangan menyikapi perpisahan.

Ia menilai bahwa cara seseorang menyikapi perpisahan bisa memperlihatkan kematangan dan kedewasaan emosional diri.

“Perpisahan yang berlangsung secara baik-baik, bahkan kedua belah pihak juga masih saling berkomunikasi dan saling memberikan support atau dukungan, menunjukkan keduanya memiliki pribadi matang dan dewasa,” jelas psikolog yang akrab disapa Vero itu.

“Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa perpisahan terjadi atas kesepakatan dan kompromi bersama,” lanjutnya.

Vero menambahkan, batal menikah secara baik-baik bisa jarang terjadi. Karena di sisi lain, ada banyak pasangan yang tampaknya kesulitan menjaga keharmonisan hubungan usai berpisah. Tak jarang pula, pasangan itu menunjukkan permusuhan terang-terangan dan saling membuka aib lewat media sosial hingga orang lain tahu.

Jika demikian, kata psikolog Veronika Soepomo, batal menikah secara tidak baik-baik menunjukkan adanya masalah ketidakterbukaan tentang banyak hal dan ketidakmatangan emosi.

Kata dia, pasangan seperti itu bisa mencapai tahap lamaran karena keputusan yang dibuat tidak dipertimbangkan dengan matang. “Hanya mengandalkan emosi, cinta semata,” tukasnya.

Ia berpendapat cinta tanpa logika kerap membutakan pandangan seseorang terhadap kenyataan dalam diri pasangannya. Keputusan menikah mestinya tidak sekadar dilandasi ketidakinginan mengecewakan pacar, atau karena didesak lingkungan untuk segera menikah.

Sebaliknya, lanjut Veronika, faktor keterbukaan sekaligus berkomitmen menjaga hubungan dengan mengutamakan kenyataan dan bukan emosi menjadi pondasi yang menguatkan keputusan menikah.

Meski begitu, Amanda Luterman, seorang psikoterapis yang mengkhususkan diri dalam seksualitas, tidak menampik menghabiskan banyak waktu dengan orang yang sama bisa mengaburkan kemampuan Anda mengevaluasi hubungan, sekalipun insting Anda mungkin sudah akurat memprediksi kemungkinan.

Jika Anda ragu, ia merekomendasikan bantuan profesional seperti terapis pernikahan atau setidaknya penengah yang dianggap bijak dan punya saran objektif.

Terlepas dari cara bersikap, persoalan batal menikah pasti memiliki dampak psikologis.

Tracy Wang, seorang insinyur perangkat lunak di Google, pernah mengungkap pengalaman pahitnya soal batal menikah. Dilansir Slate, ia mengatakan hal terberat saat menghadapi batal menikah selain patah hati, adalah reaksi keluarga.

Seusai membuat keputusan, Wang mengaku lega sekaligus marah dan sedih. Masalah utamanya, dia merasa kehilangan mimpi indah pernikahan, mimpi kehidupan, dan paling buruk, meski orang tuanya tampak menerima dan mendukung keputusannya, Wang tahu mereka sama sekali tidak siap secara emosional.

“Rasa sakit untuk ibu saya bukan karena pembatalan pernikahan, tetapi kehilangan sempurna dari kenyataan bahagia,” tutur Wang.

“Orang tua saya harus menjelaskan situasinya setiap kali teman-teman mereka bertanya tentang pernikahan, membuka luka itu lagi dan lagi,” jelasnya.

Untuk menghadapi dampak batal menikah, kata Vero, tentu tak mudah dan butuh waktu.

“Pasti ada perasaan sedih, kecewa, terluka, cemas, takut, malu, berat atau susah hati yang dialami, sekalipun mungkin hal itu adalah yang terbaik atau yang memang seharusnya terjadi,” ujarnya.

Ia menyarankan tiap pasangan memberikan waktu diri untuk memproses dan mengelola duka yang dirasakan akibat kehilangan pasangan dan kehilangan masa depan yang telah diimpikan.

“Namun jangan terlalu lama tenggelam, terhisap dalam duka, kesedihan atau kemarahan yang terus menerus,” saran Vero.

Pasalnya di sisi lain, batal menikah juga bisa meningkatkan kedewasaan diri. “Ini menyaring hidup Anda,” imbuh Curtis.

“Pernikahan yang tertunda membawa masalah identitas pribadi, pemeriksaan kembali mimpi yang Anda miliki untuk diri sendiri, dan ide-ide yang Anda miliki tentang orang seperti apa Anda,” paparnya.

Curtis menganjurkan lebih baik mengucap ‘menunda pernikahan tanpa batas waktu’, alih-alih mengatakan batal menikah. Berkata demikian lebih mempermudah penjelasan kepada orang lain, pun tak terasa berat di hati Anda maupun keluarga.

Psikolog Ratih Ibrahim menambahkan, terlepas dari apa pun alasan berpisah, Anda harus percaya bahwa alasan itu kuat untuk menghindarkan Anda dari perkawinan yang buruk atau tidak harmonis.

“Pikirin aja, mungkin ini adalah cara Tuhan untuk menyelamatkan hidupmu di masa depan. Mikirnya gitu. Everything is about your mindset,” tandasnya.[]

Advertisement
Advertisement