April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Bertambah Usia Tanpa Merasa Tua, Ternyata Baik untuk Kesehatan

6 min read

ApakabarOnline.com – Ada pepatah terkenal berbunyi, “Menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa adalah pilihan.” Ternyata, bukan hanya menjadi dewasa yang menyodorkan pilihan, namun juga merasa tua. Artinya, usia kita boleh saja bertambah dari tahun ke tahun, namun kita bisa memilih untuk tetap merasa muda, atau memilih untuk menua sesuai umur kita.

Bayangkan, untuk sesaat, Anda tidak punya akta kelahiran dan usia Anda hanya ditentukan oleh perasaan Anda sendiri. Kira-kira berapa usia Anda sekarang?

Seperti halnya tinggi badan atau ukuran sepatu, tahun-tahun yang terlewat sejak Anda pertama kali tiba di dunia adalah fakta tak terbantahkan.

Namun, pengalaman sehari-hari mengindikasikan, kita sering tidak mengalami pertambahan usia dengan cara yang sama: banyak orang merasa lebih tua atau lebih muda dari yang sebenarnya.

Para ilmuwan kini semakin tertarik pada kualitas ini. Mereka menemukan ‘usia subjektif’ bisa jadi sangat penting untuk memahami alasan beberapa orang yang tampaknya semakin segar seiring proses penuaan—sementara yang lainnya pudar.

“Sejauh mana seseorang merasa lebih muda dari usia mereka, sebenarnya dapat menentukan keputusan penting dalam kehidupan sehari-hari atau seumur hidup mereka,” kata Brian Nosek dari Universitas Virginia.

Kepentingannya tidak sampai di situ saja. Berbagai studi bahkan menunjukkan, usia subjektif Anda juga dapat memprediksi berbagai kondisi kesehatan penting, termasuk risiko kematian. Jadi, dalam beberapa hal yang benar-benar penting, Anda memang ‘setua yang Anda rasakan’.

Mengingat hasil yang menarik ini, banyak peneliti kini mulai mencoba memilah berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosial, yang membentuk pengalaman usia individu—dan bagaimana pengetahuan ini dapat membantu kita menjalani kehidupan yang lebih panjang dan sehat.

Pemahaman baru tentang proses penuaan ini telah dibentuk selama puluhan tahun. Beberapa penelitian awal yang mencatat kesenjangan antara usia kronologis (jumlah tahun) dan usia subjektif (perasaan tentang usia) muncul pada dekade 1970-an dan 1980-an.

Ketertarikan terhadap topik ini kian meningkat: berbagai studi dalam sepuluh tahun terakhir mengeksplorasi kemungkinan konsekuensi psikologi dan fisiologi dari kesenjangan ini.

Salah satu cabang paling menarik dari riset ini mengeksplorasi kaitan usia subjektif dengan kepribadian.

Sudah jadi pengetahuan umum bahwa kepribadian seseorang cenderung melunak seiring pertambahan usia, menjadi kurang ekstravert dan kurang terbuka pada pengalaman baru—perubahan kepribadian yang tidak begitu menonjol pada orang-orang yang ‘berjiwa muda’, dan sangat menonjol pada orang dengan usia subjektif yang lebih tua.

Tapi, yang menarik, orang dengan usia subjektif lebih muda juga menjadi lebih teliti dan kurang neurotik—perubahan positif yang biasa muncul seiring pertambahan usia.

Jadi, mereka tampaknya masih mendapatkan kebijaksanaan dari pengalaman hidup tanpa kehilangan energi dan keceriaan masa muda. Dengan kata lain, hanya karena kita merasa lebih muda tidak berarti kita tidak tumbuh dewasa.

Perasaan lebih muda dari usia Anda sebenarnya juga diiringi risiko depresi yang lebih rendah dan kesehatan jiwa yang lebih baik, seiring pertambahan usia. Ini juga berarti kesehatan fisik yang lebih baik, termasuk berkurangnya risiko demensia dan peluang Anda untuk dirawat di rumah sakit.

Yannick Stephan di Universitas Montpellier mempelajari data dari tiga studi berbeda, yang secara bersamaan melacak lebih dari 17 ribu partisipan paruh baya dan usia lanjut.

Kebanyakan, orang merasa sekitar delapan tahun lebih muda dari usia kronologis mereka. Tapi beberapa orang merasa bahwa mereka lebih tua—dan konsekuensinya serius.

Perasaan lebih tua 8 dan 13 tahun dari usia Anda sebenarnya menyebabkan risiko kematian yang 18-25% lebih besar selama periode studi, dan beban penyakit yang lebih besar pula—meski setelah menjadikan faktor demografi lainnya sebagai kontrol, seperti tingkat pendidikan, ras, atau status pernikahan.

Ada banyak alasan kenapa usia subjektif sangat berpengaruh pada kesehatan kita. Ini mungkin merupakan akibat positif dari perubahan kepribadian yang mengiringinya, bahwa dengan usia subjektif lebih rendah berarti Anda menikmati lebih banyak aktivitas fisik (misalnya berjalan-jalan atau belajar hobi baru) seiring pertambahan usia sebenarnya.

“Beberapa studi menemukan, misalnya, usia subjektif memprediksi pola aktivitas fisik,” kata Stephan.

Namun, mekanisme yang mengaitkan kesejahteraan fisik dan mental dengan usia subjektif hampir pasti juga berlaku ke arah sebaliknya. Jika Anda merasa depresi, pikun, dan lemah secara fisik, Anda cenderung merasa lebih tua.

Akibatnya bisa menjadi lingkaran setan, dengan faktor psikologi dan fisiologi sama-sama berkontribusi pada usia subyektif lebih tua, dan kondisi kesehatan lebih buruk. Kecenderungan itu membuat kita merasa semakin tua dan semakin lemah lagi.

Analisis Stephan, yang diterbitkan di jurnal Psychosomatic Medicine, adalah studi terbesar saat ini tentang efek usia subjektif pada mortalitas. Dampak yang besar ini membutuhkan perhatian lebih lanjut.

“Asosiasi ini setara atau lebih kuat dari kontribusi usia kronologis,” kata Stephan.

Dengan kata lain: usia subyektif Anda dapat memprediksi kesehatan Anda dengan lebih baik, daripada akta kelahiran Anda.

Dengan pemahaman ini, banyak ilmuwan berusaha mengidentifikasi faktor sosial dan psikologi yang dapat membentuk proses yang kompleks ini. Kapankah kita mulai merasa bahwa pikiran dan tubuh kita beroperasi dalam skala waktu yang berbeda? Dan kenapa ini terjadi?

Bekerja sama dengan Nicole Lindner, yang juga berasal dari Universitas Virginia, Nosek menginvestigasi kesenjangan antara usia subjektif dan kronologis berkembang seiring perjalanan hidup.

Seperti yang mungkin Anda duga, kebanyakan anak-anak dan remaja merasa lebih tua dari usia mereka sebenarnya. Tapi ini berubah di sekitar usia 25 tahun, ketika usia subjektif mulai tertinggal di belakang usia kronologis.

Menginjak usia 30 tahun, sekitar 70% orang merasa lebih muda dari usia sebenarnya. Dan kesenjangan ini semakin lebar seiring waktu.

Seperti ditulis Nosek dan Lindner dalam laporan ilmiah mereka, “Pertambahan usia subyektif tampaknya terjadi di Mars, ketika satu dasawarsa Bumi sama dengan 5,3 tahun Mars.”

Lindner dan Nosek juga mengukur “usia yang diinginkan” para partisipan—yang tidak mereka sangka juga mengikuti waktu Mars.

“Usia itu terus bertambah, tapi dengan kecepatan yang sedikit lebih lambat dari yang kita rasakan saat ini,” kata Nosek.

Ini tampaknya “mendukung anggapan bahwa kita merasakan pengalaman hidup kita terus menjadi lebih baik, hanya saja lebih lambat dari pengalaman kita sebenarnya.”

Lagi-lagi, kebalikan ini terjadi di pertengahan usia dua-puluhan: 60% orang usia 20 tahun ingin menjadi lebih tua. Tapi ketika menginjak usia 26 tahun, 70% dari mereka ingin menjadi lebih muda, dan sejak saat itu kebanyakan orang memandang masa lalu mereka lewat kacamata nostalgia.

Sejumlah ahli psikologi menduga, usia subyektif lebih muda merupakan bentuk pertahanan diri, melindungi kita dari stereotip negatif yang menyertai usia tua—seperti ditunjukkan dalam studi Anna Kornadt dari Universitas Bielefeld di Jerman.

Penelitian Kornadt berdasarkan pada anggapan bahwa usia subyektif seseorang boleh jadi bervariasi di berbagai domain.

Anda mungkin merasa berbeda ketika Anda berpikir tentang diri Anda sendiri di tempat kerja, dibandingkan ketika Anda berpikir tentang hubungan sosial Anda, misalnya. Maka Kornadt meminta partisipan untuk mengatakan apakah mereka merasa lebih muda atau lebih tua dari sebenarnya di berbagai area kehidupan mereka.

Kornadt mendapatkan fakta, usia subyektif seseorang lebih muda ketika stereotip negatif tentang usia paling lazim—misalnya dalam hal pekerjaan, kesehatan, dan keuangan—yang tampaknya mendukung ide bahwa cara berpikir ini membantu orang menjaga jarak dari konotasi negatif kelompok usia mereka.

Meyakini bahwa “usia saya mungkin 65 tahun, tapi saya merasa seperti 50 tahun” berarti Anda tidak terlalu mengkhawatirkan performa Anda di tempat kerja.

Kornadt juga menemukan data lain: orang dengan usia subyektif lebih rendah cenderung membayangkan masa depannya dengan lebih positif.

Dengan melindungi kita dari pandangan suram masyarakat tentang usia, dan memberi kita pandangan yang lebih optimis, mekanisme pertahanan diri ini dapat, kemudian, lebih lanjut menjelasakan beberapa manfaat kesehatan dari ‘menolak tua’.

Meski telah mendapatkan semua temuan ini, para ilmuwan baru mulai memahami potensi akibatnya; tapi hampir bisa dipastikan bahwa perawatan di masa depan akan mencoba mengurangi usia subyektif partisipan dan, sebagai hasilnya, meningkatkan kesehatan mereka.

Dalam salah satu studi, partisipan lansia dalam suatu program kebugaran merasakan lebih banyak manfaat kesehatan jika para peneliti memuji performa mereka relatif terhadap orang lain seusia mereka.

Mengingat kekuatan prediktif usia subyektif, melampaui usia kronologis sebenarnya, Stephan yakin, dokter perlu bertanya kepada semua pasien tentang usia subyektif mereka untuk mengidentifikasi orang-orang yang paling berisiko mendapatkan masalah kesehatan di masa depan. Tujuannya, demi merencanakan perawatan kesehatan mereka dengan lebih efektif.

Sementara itu, temuan-temuan ini dapat memberi kita pandangan yang lebih bernuansa tentang cara otak dan tubuh kita melalui perjalanan waktu.

Setua apapun Anda merasa, Anda layak mempertanyakan apakah batasan itu sebenarnya muncul dari dalam diri Anda sendiri. [Naviri]

Advertisement
Advertisement