April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

[CURHAT] Menjadi Istri Oppa Korea itu Berat, Euy…

4 min read

Bukan Oppa Lee Min Ho atau Lee Jun Ki sih, dia hanya suamiku yang kebetulan kerja di Busan, Korea Selatan. Dia sudah merantau di Negeri Ramyun itu hampir sepuluh tahun, kami yang baru menikah saat itu belum punya rumah dan ladang untuk tanam menanam sayuran. Saat ini aku dan kedua anak kami tidak kekurangan apapun. Semua sudah dipenuhi suamiku, Oppa Hamidi. Dia juga rutin membantu kedua orangtuanya dan orangtuaku. Tidak hanya rumah, tempat untuk usaha kecil-kecilan pun sudah kami punyai. Alhamdulillah, daganganku dari hari ke hari makin laku keras. Ya, aku ingin oppa segera tinggal di rumah. Anak-anak sudah mulai besar dan ingin sering-sering bermain bersama ayahnya.

“Rumah, ladang, dan tempat usaha sudah, Pa. Kurang apalagi? Toko kita juga makin ramai, kapan berencana pulang terus, Pa?” Tanyaku, hati-hati.

“Kurang mobil dan tabungan, Ma. Anak-anak kan butuh uang untuk bersekolah lebih tinggi, biarlah kedua orangtuanya hanya lulus SMK, asalkan kedua anak kita bisa terus sekolah hingga perguruan tinggi..” Jawabnya pasti. Itu ada benarnya juga, Kawan. Tapi, beban di dadaku serasa makin membengkak. Membayangkan perkataan tetangga dan teman-teman yang makin hari makin sadis itu waktu seolah lambat berjalan, tiga bulan saja berasa tiga abad. Apalagi tiga tahun?

Kan bisa dicari di rumah, Pa. Perlahan tapi pasti insyaAllah kita bisa…” Aku mencoba mengutarakan pendapat, ia tampak mendesah.

“Hanya tiga tahun, Ma. Satu kontrakkan lagi, kamu yang sabar. Do’akan saja oppamu ini dengan baik, abaikan omongan yang enggak jelas itu..” Oppa memberikan pengertian. Biasanya aku akan patuh apa yang ia perintahkan. Suami itu imam, tempat istri mengabdi dengan segenap jiwa. Aku terhibur kala ia sering-sering menelpon, setidaknya momen itu mampu menghapus goresan demi goresan dari para tetangga dan teman yang suka kepo.

“Suamimu itu tampan, Jeng. Kamu yakin tidak ada perempuan lain di sana?” Tetangga ujung sana memberikan komentar, suaranya nyaring, meresahkan sebagian gendang telingaku.

“Aku yakin, Mbak. Aku percaya dengan suamiku..” jawabku datar.

“Tidak hanya tampan, suamimu juga banyak uang. Pasti tidak semua gaji diberikan kepadamu kan, Jeng?” Tambah satunya lagi. Perutku mulai mulas, kuping memanas dan hati ikut gemas.

“Tentu saja tidak, Mbak. Setiap lelaki pasti tidak memberikan semuanya, apalagi suamiku yang perantau? Dia pasti butuh makan, minum, rokok, baju dan kebutuhan harian lainnya. Kita yang di desa saja butuh banyak uang untuk mengatur segala jenis kebutuhan. Bayar listrik, air, belanja dapur, bayar spp anak-anak dan lain lain..” Balasku masih dengan senyum, mencoba segera menyingkir dari kerumunan para penyuka gossip.

“Kamu buru-buru, ya? Apa takut yang kami bicarakan memang kenyataan? Kenyataan bahwa suami tamvanmu itu selingkuh?” Tiba-tiba sosok yang paling aku hindari muncul dari mulut gang. Huft.

“Iya, Mbak. Ibu tadi minta dimasakin sambal goreng tempe, saya harus segera pulang. Anak-anak juga waktunya pulang. Mari, Mbak…” Tanpa membalas pertanyaan tentang suami tampan dan selingkuh itu aku berhasil pergi dari mereka, langkah menuju rumah yang hanya tiga meter itu berasa terseok, penuh bebatuan dan cadas. Aku yakin, seyakin-yakinnya kalau suamiku baik. Tidak bergaul dengan orang-orang yang sesat apalagi selingkuh? Setiap kegiatan di luar kerja ia selalu menceritakannya padaku, video call juga. Oppa hanya menyuruhku bersabar dan bersabar.

“Menjadi istri oppa itu memang berat, Ma. Tidak hanya aku yang digunjingkan, teman sekamarku yang seorang ustad saja menjadi bahan olokkan di kampungnya sana. Naasnya… Istrinya percaya, menelan mentah-mentah apa kata tetangga. Jadi, tiga bulan lagi ia pulang kampung, menghadiri persidangan perceraian dengan istri yang dicintainya. Aku sih berharap mereka bisa bertahan, membangun kembali bahtera yang sudah sekian tahun dibina. Sudahlah, Ma… Aku selalu ingat ayah dan ibu serta anak-anak bila akan terjerumus ke jalan yang tidak benar. Kamu sudah begitu baik kepadaku, Ma. Membantu merawat ayah dan ibu juga anak-anak, mereka tumbuh sehat dan menjadi manusia yang baik dan luhur budi…” Kata-katanya sejuk, memadamkan segala macam bara di hati.

InsyaAllah, Pa. Aku akan selalu menjaga rumah tangga kita dengan cinta, Oppa juga janji, ya? Kerja yang baik, menjaga shalat dan menjaga kesehatan. Kurangi rokoknya juga kalau bisa, Pa?” Kataku dengan senyum paling indah, kata terima kasih darinya menjelma mantra mandraguna mengusir penat, lelah dan tersinggung akibat dari ocehan para nyinyiers. Apa iya aku harus pindah? Aku sudah sejak kecil di sini, sudah mengakar erat di kedalaman hati cintaku pada tanah kelahiran. Bila aku pindah, itu artinya aku kalah sebelum bertarung. Jadi, aku putuskan untuk bertahan dan menghadapi segala bentuk sindiran. Ini rumah tanggaku bukan urusan mereka, bertetangga bukan berarti apa-apa mereka harus tahu dan bebas berkomentar, kan? Aku berhak bahagia, meski suami merantau aku selalu menjaga amanahnya dan memilih setia. Setidaknya kami punya anak-anak yang wajib dilimpahi kasih sayang.

“Sepertinya aku sudah bisa enggak merokok, Ma.. Pekerjaan membuatku lupa merokok, karena aku takut mesin-mesin di sini terganggu dengan asap rokok bila aku tidak tahan untuk menghisapnya. Aku janji akan selalu menjaga rumah tangga kita dengan cinta, bismillah sakinah mawwadah wa rahmah.. Semoga Allah Swt senantiasa merahmati rumah tangga kita.” Suara oppa bergetar, aku terharu. Air mata bahagia tak mampu kubendung, biarlah mengalir membentuk tetes-tetes keberkahan.

“Aamiin Yaa Allah…” Aku mengaminkan.

Semenjak oppa sering memberikan petuah, arahan dan selalu menyuruhku berbaik sangka, semua kata-kata negatif dari orang-orang itu aku anggap sebagai do’a positif. Hati terasa lapang saat memaafkan bersamaan dengan menerima sindiran, cacian dan hasutan. Alhamdulillah..

Memang, banyak berita kurang sedap bab para Oppa Korea yang sering ke Hong Kong memadu cinta dan menghasilkan benih haram, namun tidak semua pria Indonesia yang bekerja ke sana itu berkelakuan sama. Ada banyak organisasi dan komunitas keagamaan di sana seperti Pumita-Busan, Hidayatul Ikhsan dan Lisan Hidayah. Komunitas itu mengajarkan dan mengajak kebaikan, mendekat pada kasih sayang Allah Swt. Aha.. Oppaku menjadi salah satu anggotanya, di sini aku ingin menjadi istri yang baik, saliha dan berbakti kepada suami. Mendo’akan yang terbaik, do’a istri saliha itu melapangkan rezki suaminya, lo! Aku juga ingin menghapus paradigma keluarga perantau yang semrawut, arogan dan sok kaya itu. Yap… Menjadi baik itu bisa dan bahagia itu adalah hak semua pasangan suami istri dan keluarganya. Arraso? Mengerti, bukan?

[Dituturkan Jeng Agustina Adha kepada Anna Ilham-Apakabar Plus]

Advertisement
Advertisement