April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Ditinggal Ibu Ke Malaysia, Begini Cara Hidup Novita

3 min read

Mataram – Di tengah hiruk pikuk dan pesatnya kemajuan Kota Mataram, seorang bocah mencoba bertahan melawan takdirnya. Ia bekerja sekuat tenaga demi sesuap nasi dan masa depannya.

Aroma  busuk menyeruak, menyerbu hidung. Ribuan kawanan lalat, mendengung seperti serangan tawon siap menyeruak ke gendang telinga. Bak sampah dorong warna hijau lumut, itu baru saja singgah beberapa menit di TPS Jalan Yos Sudarso, Pejeruk, Ampenan.

Sampai akhirnya seorang wanita paruh baya mulai mengeluarkan sampah di dalam bak sampah dorong itu dengan besi seadanya. Ya, pemandangan itu boleh jadi lumrah. Tetapi, hati siapa yang tak bergetar, jika melihat patner kerja wanita itu, seorang bocah 12 tahunan?

“Novita,” kata wanita itu, memberi tahu nama keponakanya.

Lombok Post lalu coba mendekati bocah dengan bibir terlihat mengering. Saat ditanya apa ia tengah berpuasa, Novita hanya mengangguk pelan. Tangannya yang mungil terus mencabik-cabik sampah di dalam gerobak yang semakin keras menebarkan aroma busuk.

“Gatal,” jawabnya lirih.

Ia lalu menunjukan kakinya, serupa terkena cacar. Ia sesekali menggaruk pelan. Setelah itu, kembali menenggelamkan kakinya, diantara sampah-sampah penuh bakteri. Ia tergelitik melihat kotak putih tak jauh dari tempatnya berdiri. Lalu membukanya perlahan, di dalamnya ada nasi putih masih utuh dengan lauk pauk yang mulai membusuk.

“Buang saja,” cetus bibinya.

Novita pun menyingkirkan benda itu dari hadapannya. Entah apa yang mereka pikirkan dengan kotak itu tadi. Tangan mungil bocah itu kembali sibuk menyibak tumpukan-tumpukan sampah. Mencari, plastik-platik bekas yang bisa dikumpulkan untuk dijual ke pengepul.

Bocah itu masih sekolah di SD 11 Ampenan. Kini ia tengah duduk di kelas 5. Tetapi, sejak kecil ia tidak pernah tahu seperti apa wajah orang tuanya. Novita hanya sempat mendengar cerita, jika ayahnya meninggal sejak ia masih bayi.

Sementara ibunya, memilih pergi meninggalkannya ke Malaysia. Oleh ibunya, ia lalu diserahkan pada neneknya. Dan hingga saat ini tiada lagi kabaar beritanya. Nyaris, diusia sekecil itu, Novita harus berjuang sendiri demi hidupnya saat ini, dan masa depannya nanti.

“Hasilnya buat uang saku dan sekolah,” jawabnya polos saat ditanya untuk apa hasil jual plastik itu.

Nenek dan kakeknya yang sudah tua, juga bekerja sebagai pemulung. Jika dia tidak mau ikut bekerja, sudah pasti Novita sudah lama putus sekolah. Nenek dan kakeknya hanya mampu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membeli makanan dan minuman.

“Iya (saya puasa),” jawabnya lirih.

Bocah itu tidak sedang berbohong. Itu terlihat dari bibirnya yang mulai mengering bahkan serupa mengelupas. Teriknya matahari, sudah pasti mengeringkan tegorokannya. Apalagi ia harus bekerja cukup berat, bagi anak-anak seusianya.

“(Puasa bolong) cuma lima kali,” ujarnya, sembari tersenyum tersipu malu.

Ada kalanya ia memang tak kuasa bertahan menahan haus. Pekerjaan jadi pemulung bukan pekerjaan ringan. Ia harus mengeluarkan tenaga ekstra, dari mengeluarkan sampah di bak sampah, memilah, sampai membawanya ke pengepul dengan jalan kaki.

“Kadang Rp 2 ribu, tapi kalau dapat banyak bisa Rp 5 ribu,” ujarnya.

Sebagian hasil ia sisihkan untuk diberikan pada neneknya. Sedangkan sisanya, ia kantongi untuk belanja di sekolah.

“Saya pengen jadi penyanyi,” jawabnya lugu.

Menu buka puasa juga jauh dari kata sederhana, apalagi mewah. Jika hasil memulung tengah baik, mereka bisa membeli lauk pauk seperti tahu tempe. Tetapi, jika sedang tidak ada pemasukan, kadang air dan garam cukup nikmat untuk mengisi perut.

“Iya apa aja enak kalau lapar,” ujarnya lalu tertawa kecil

Sesaat Novita terdiam. Pertanyaan berikutnya yang dilontarkan, mampu membuatnya tertunduk dalam. Untuk beberapa saat, Novita memilih menekuk kepalanya. Lalu memandangi bajunya yang lusuh. Kepalanya perlahan menggeleng pelan.

Sebuah isyarat, ia tak punya persiapan apa pun jelang datangnya hari raya Idul Fitri. Jangankan untuk membeli baju baru, bisa makan sehari-hari saja sudah lebih dari cukup.

“Gak ada (baju baru),” tutupnya, dengan wajah sedih. [Asa/Zaenudin]

Advertisement
Advertisement