April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Duka Overstayer di Negeri Beton (3): “Sering, Seharian Saya Tidak Makan”

3 min read

HONG KONG – Pada Oktober 2015, Ss menguatkan tekad untuk terbang ke Hong Kong, menjadi pekerja migran Indonesia (PMI), bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Niatnya, ingin menghidupi nenek yang selama ini menjaga dan membesarkannya, juga memenuhi kebutuhan anak semata wayangnya yang baru berusia 1,5 tahun.

Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Nasib berkata lain. Baru 1,5 bulan bekerja di Sai Wan Ho, majikan memutus (terminate) kontrak kerjanya.

“Saya sakit, punya batu di empedu dan sakit maag, lalu masuk rumah sakit. Sekeluar dari rumah sakit, majikan memutus kontrak kerja saya,” kata PMI asal Wonosobo, Jawa Tengah itu, saat diwawancarai Apakabar Plus di kantor Christian Action, di Kwun Tong, akhir Agustus lalu.

Sudah jatuh tertimpa tangga, peribahasa yang pas untuk nasib Ss. Dengan dalih untuk membayar biaya potongan, agensi “merampas” semua uang pemutusan kerja dari majikan yang hampir HK$8,000 sebagai pembayaran gaji sebulan, uang makan, transportasi, dan tiket.

Ia pun dicarikan majikan baru dan dikenakan potongan gaji tambahan sebesar HK$6,000. Lagi-lagi, baru bekerja 1,5 bulan di Sheung Wan, ia kembali di-terminate, dengan alasan majikan tak lagi memerlukan pembantu rumah tangga.

Majikan pun memberikannya uang sekitar HK$4,000 sebagai uang gaji sebulan dan uang transportasi untuk pulang ke kampung halaman. Plus, majikan memberikan tiket pesawat terbang. Lagi-lagi, semua uang itu digasak agensi yang sama.

“Ketika di-terminate lagi, saya kembali ke agensi. Agensi bilang, Imigrasi Hong Kong mungkin tidak akan kasih saya visa lagi. Peraturan sekarang, katanya, kalau sudah di-terminate sampai 2 kali, akan susah mendapatkan visa lagi,” kata perempuan kelahiran tahun 1990 itu.

Keukeuh ingin terus mengadu nasib di Hong Kong, Ss nekad keluar dari agensi yang telah “merampas” HK$11,000 uang miliknya itu dan mencari agensi lain, untuk mendapatkan majikan baru. Namun usahanya gagal.

“Sampai akhirnya, tanggal 11 April 2016 saya overstay,” ujarnya.

Sebetulnya, Ss tidak mau menjadi overstayer di Hong Kong. Namun apa daya, dia tidak punya pilihan dan dalam keadaan bingung.

“Saya inginnya pulang. Tapi tiket yang diberikan majikan hangus, dan saya tidak punya duit, tak bisa beli tiket lagi. Saya jadi bingung,” ujar Ss, sambil meneteskan air mata.

Selama overstay Ss mengaku pernah tinggal menumpang di tempat temannya. Kadang, ia datang ke Sikh Temple di Wan Chai untuk sekadar bermalam atau mendapatkan makan gratis. “Hidup di luar (sebagai overstayer itu susah banget,” ujarnya. “Susah, karena ini pengalaman pertama saya bekerja di luar negeri, jauh dari keluarga, dan tidak punya uang sama sekali,” kata Ss, sambil berurai air mata.

“Untuk tidur malam, saya sering tidak punya tempat sama sekali. Saya kadang pergi ke McDonald’s 24 jam, karena di sana lebih aman dibandingkan tidur di taman. Saya jalani begitu sekitar sebulan,” kata Ss.

Karena tidak mempunyai uang, Ss kerap kesulitan untuk makan. “Itu sering saya alami. Kadang, seharian saya tidak makan sama sekali,” ujarnya. Lagi-lagi, air mata mengalir deras membasahi pipinya saat mengatakan itu.

Ia menyesali nasibnya yang harus menjadi overstayer di Negeri Beton. Sebab, persoalannya sebagai tulang punggung bagi keluarga tidaklah selesai. Sebaliknya, semakin berat beban yang harus ia pikul.

“Menjadi overstayer itu ilegal, mencari kerja susah. Saya selalu ketakutan ditangkap polisi,” kata Ss.

Dia bersyukur, pada 24 Agutus silam dikenalkan oleh temannya kepada seorang pengurus sebuah gereja di Jordan, saat digelarnya Peringatan Kemerdekaan RI di gereja tersebut. Setelah dicurhati, pengurus gereja itu kemudian menghubungkannya dengan Christian Action.

“Setelah saya ketemu Christian Action, saya merasa aman. Ada tempat tinggal dan makan. Saya bersyukur sekali,” ujarnya terbata-bata, tak kuasa menahan tangis.

Satu-satunya harapan Ss saat ini adalah segera pulang dan bisa berkumpul lagi dengan 2 orang yang sangat dicintainya: sang nenek dan anaknya. “Tak apa-apa saya pulang tak bawa duit. Saya mendingan pulang tak bawa duit, daripada tetap sengsara hidup sebagai overstayer di Hong Kong,” ujarnya. [Razak]

Advertisement
Advertisement