April 25, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Ghibah itu Haram, Tetapi Ada yang Diperbolehkan

4 min read

ApakabarOnline – Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُوْنَ مَا الغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ، وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Apakah kalian tahu apa itu gibah?” Para sahabat mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah berkata: “(Gibah adalah) Menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.” Mereka berkata: “Bagaimana menurutmu jika (benar) ada pada saudaraku apa yang aku katakan?” Rasulullah berkata: “Jika (benar) ada pada dirinya maka itulah gibah, dan jika tidak ada pada dirinya maka engkau telah menfitnahnya.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Bir was Shilah wal Adab, bab Tahrimul Ghibah no. 2589).

Di antara kezaliman antara hamba dengan hamba lainnya adalah gibah. Dan ia merupakan kezaliman yang berkaitan dengan nama baik dan kehormatan orang lain. Sungguh Allah Ta’ala berfirman,

يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثمٌصلى وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًاج أَيُحِبَّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُج وَاتَّقُوا اللهَج إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ

“Wahai orang-orang beriman jauhilah oleh kalian banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Dan jangan bertajassus (mengorek-ngorek aib dan kekurangan orang lain), dan janganlah sebagian kalian menggibahi sebagian yang lain. Apakah kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah menjadi bangkai, tentu kalian tidak akan menyukainya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12).

Rasulullah menyebutkan tiga dosa sosial di masyarakat secara berurutan, yaitu buruk sangka, tajassus dan gibah. Berawal dari prasangka yang tidak pada tempatnya (buruk sangka), setelah itu biasanya dilanjutkan dengan tajassus untuk mencari informasi apakah prasangka tersebut benar atau salah. Setelah informasi didapatkan kemudian dibicarakan dengan orang lain maka jadilah gibah. Sebagaimana kalian tidak suka mamakan bangkai saudara kalian maka janganlah merusak kehormatannya dengan menggibahinya.

Gibah hukumya haram. Gibah yaitu membicarakan saudaranya seiman ketika dia tidak ada dengan sesuatu yang tidak dia sukai. Berdasarkan definisi ini maka boleh menggibahi orang kafir. Namun, tetap menimbang maslahat dan mafsadatnya. Jika ada maslahat maka boleh menggibahinya, begitupun sebaliknya.

Membicarakan saudaranya ketika dia tidak ada dengan sesuatu yang tidak ia sukai entah karena ada kekurangan pada fisiknya atau akhlaknya ataupun pelecehan-pelecehan yang lainnya merupakan perbuatan haram. Banyak orang yang tidak wara’ dari gibah, sebaliknya bahkan majelis gibah ramai, orang-orang bernikmat-nikmat dengan kehormatan saudaranya. La hawla wala quwwata illa billah.

Hadis ini menunjukkan haramnya gibah dan gibah termasuk salah satu dosa besar. Gibah haram berdasarkan Al-Qur`an, as-sunnah, dan ijmak karena termasuk kezaliman yang berkaitan dengan kehormatan manusia.

Para ulama memberikan pengecualian bolehnya gibah jika ada maslahat yang lebih besar, di ataranya;

 

  1. Orang yang dizalimi mendatangi penguasa untuk mengadu, dia mengatakan fulan telah menzalimiku, dia telah memakan hartaku, atau semacamnya.

Sebagimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيُّ الوَاجِدِ ظُلْمٌ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَ عُقُوْبَتَهُ

“Orang yang menunda pembayaran hutang padahal ia mampu melunasi adalah kezaliman, menghalalkan kehormatan serta hukuman untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 3628, Ibnu Majah no. 2427, Ahmad (4/222), dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 1434)

Salah satu makna menghalalkan kehormatannya adalah boleh mengadukan pelakunya kepada penguasa. Orang yag dizalimi boleh mengadu dengan menyebutkan kezaliman yang menimpanya, meskipun dalam pengaduan tersebut terdapat gibah. Hal ini diperbolehkan dalam rangka mencegah bahaya.

 

  1. Mustafti (orang yang meminta fatwa)

Apabila seorang mustafti meminta fatwa kepada seorang mufti (pemberi fatwa) dan dia menyebutkan aib orang tersebut dan menanyakan bagaimana seharusnya ia menyikapi orang yang menzaliminya tersebut. Sebagaimana datang Hindun binti ‘Utbah radhiyallahu ‘anha

, جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ –تَعْنِيْ زَوْجُهَا-

رَجُلٌ شَحِيْحٌ، لَا يُعْطِينِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَ وَلَدِيْ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، قَالَ: خُذِيْ مَا يَكْفِيْكَ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ

“Hindun binti ‘Utbah radhiyallahu ‘anha pergi kepada Rasulullah, ia berkata, ‘Sesungguhnya Abu Sufyan (suaminya) adalah suami yang pelit, dia tidak memberikan kebutuhanku dan anakku kecuali apa yang aku ambil darinya tanpa sepengetahuannya.’ Rasulullah berkata, “Ambillah yang cukup untukmu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714)

Di sini Hindun binti ‘Utbah radhiyallahu ‘anha menyebutkan aib suaminya, maka ini adalah gibah, namun ia tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan suaminya, tetapi ia menceritakan aib suaminya agar ia dapat memperoleh haknya.

Ulama berbeda pendapat dalam memahami hadis ini, apakah ini adalah fatwa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau al-qadha (keputusan hakim). Perbedaan dalam menyimpulkan akan menyebabkan terjadinya perbedaan hukum. Jika ini menunjukkan fatwa, maka apabila ada seorang istri memiliki kasus yang sama dengan Hindun binti ‘Utbah radhiyallahu ‘anha maka ia boleh mengambil uang suaminya diam-diam tanpa sepengetahuannya. Akan tetapi, jika ini adalah al-qadha, maka perempuan lain yang memiliki kasus yang sama harus melapor terlebih dahulu ke pengadilan, maka akan diputuskan hukum yang sesuai.

 

  1. Gibah dalam rangka menghilangkan kemungkaran. Anda pergi kepada penguasa dan polisi syariat dan mengatakan, “Fulan tidak shalat, fulan mengganggu perempuan, menggoda perempuan di jalanan”, maka ini adalah gibah dengan tujuan ingkar mungkar, hal ini tidak mengapa karena maslahat yang lebih besar dari mafsadat. Demikian juga boleh mengingatkan seseorang tentang keburukan person tertentu dengan menyebutkan aib-aibnya agar orang lain waspada dengan keburukan orang tersebut.

 

  1. Jarh wa ta’dhil

Jarh wa ta’dhil adalah memuji dan mencela rawi hadis dalam rangka menjaga hadis Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ulama hadis boleh mengatakan, “Rawi fulan lemah hafalannya, pembohong, punya riwayat yang aneh” atau sejenisnya. Hal ini bukan dalam rangka menjelekkan rawi tersebut, tetapi untuk menjaga hadis-hadis Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan sampai ada rawi yang tidak diterima riwayatnya.

Sebagian ulama menyebutkan kondisi-kondisi lain dibolehkannya gibah. Disebutkan dalam bait syair Muhammad bin Aujan:

القَدْحُ لَيْسَ بِغِيبَةٍ فِيْ سِتَّةٍ *** مُتَظَلِّمٍ وَمُعَرِّفٍ وَمُحَذِّرٍ

وَمُجَاهِرٍ فِسْقًا وَمُسْتَفْتٍ *** وَمَنْ طَلَبَ الْإِعَانَةَ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

 

“Menyebut keburukan orang bukan gibah dalam 6 keadaan:

  1. mutazhallim (orang yang dizalimi)
  2. mu’arrif (orang yang sedang menyebutkan identitas)
  3. muhadzir (orang yang sedang men-tahdzir)
  4. mujahir fisqan (bicara tentang orang yang menampakkan maksiat terang-terangan)
  5. mustafti (orang yang sedang meminta fatwa)
  6. man thalabal I’anah li izalati munkarin (orang yang sedang meminta pertolongan untuk menghilangkan kemungkaran).”

 

Selain gibah yang telah disebutkan di atas hukumnya haram dan termasuk dosa besar.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Jauhilah gibah, membicarakan kejelekan penguasa, baik itu ulama maupun umara. Jika kalian menginginkan kebaikan, maka pintu terbuka (untuk menasihati mereka). Jika kalian telah melakukan kewajiban, maka gugur bagi kalian selain itu. Menggibahi ulama dan penguasa tidak memperbaiki keadaan sedikitpun, tidak pula menghilangkan kezaliman, dan tidaklah menjadi baik sesuatu yang rusak dengan gibah”. []

Penulis: Atma M.

Referensi:

  1. Ithaful Kiram Syarah Kitabul Jami’ min Bulughul Maram hlm. 173-175, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan, 1436H/2015, Dar Kortoba, Beirut.
  2. Rekaman Ithaful Kiram Syarah Kitabul Jami’ min Bulughul Maram Pertemuan ke-11 menit ke 21:16-38:17. (https://archive.org/details/UstAris-IthafulKiram/Ithaful+Kiram+Syarah+Kitabul+Jami’+min+Bulughul+Maram+-+20190516+11.mp3)
Advertisement
Advertisement