April 17, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Gila, Rp. 24,2 Miliar Uang KUR TKI Digemplang

4 min read

DENPASAR – Kasus penyimpangan kredit yang terjadi pada PT BPR KS Bali Agung Sedana (BAS) yang diungkap Otoritas Jasa Keuangan atau OJK akhirnya sampai  pada sidang dengan agenda tuntutan. Sidang tersebut berlangsung Rabu (05/09/2018). Dan terdakwanya, Nyoman Supariyani, selaku Direktur Utama pada BPR itu dituntut dengan hukuman delapan tahun.

Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ni Made Purnami itu, tim penuntut umum yang diwakili Jaksa Cokorda Intan Merlany Dewie menyimpulkan bos BPR itu terbukti melakukan tindak pidana perbankan.

Seperti ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. “Sesuai dakwaan alternatif kedua,” ujar penuntut umum.

Dalam perkaranya, Supariyani dalam kapasitasnya pada direksi bank dengan sengaja tidak melaksanakan prosedur yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.

“Terdakwa memerintahkan stafnya untuk tidak melakukan prosedur yang seharusnya dilakukan dalam proses pemberian kredit 54 debitur calon tenaga kerja Indonesia (TKI),” jelas penuntut umum.

Selain hukuman delapan tahun penjara, terdakwa juga dituntut dengan pidana denda sebesar Rp 5 miliar subsider tiga bulan kurungan. Usai pembacaan surat tuntutan, tim kuasa hukum terdakwa yang terdiri dari Hari Purwanto dkk langsung menyatakan akan mengajukan pembelaan.

Bila merujuk ke belakang, perkara yang menjerat Supariyani ini diungkap OJK sekitar April 2108 lalu. Sementara penindakannya dilakukan pihak Kepolisian.Dan sesuai surat dakwaan, tindak pidana perbankan yang diduga dilakukan Supariyani ini terjadi sepanjang Maret 2014 sampai dengan Desember 2014.

Perbuatan itu terjadi dalam proses pemberian kredit 54 debitur calon pekerja migran dengan plafon berjumlah lebih kurang sebesar Rp 24.225.000.000 atau Rp 24,2 miliar lebih. Dalam prosesnya, dari permohonan sampai pencairan, diduga tidak sesuai prosedur. Sehingga menyebabkan pencatatan palsu.

Awalnya, terdakwa diundang Departemen Tenaga Kerja Depnaker Denpasar terkait pembiayaan para calon PMI. Pertemuan itu juga dihadiri beberapa lembaga pengiriman tenaga kerja yang direkomendasikan Depnaker untuk bekerjasama dengan BPR.

Selanjutnya, salah satu perusahaan penyalur ke Jepang, PT Indonesia Human Support Corporate (IHSC) melalui direkturnya Jalaludin menyampaikan ada calon PMI yang perlu bantuan dana atau kredit dari PT BPR KAS BAS dan juga investasi lahan untuk pembelian kaplingan di daerah Sibang Gede Badung yang awalnya ditujukan untuk para calon PMI selesai kerja di Jepang.

Proses pengajuan mulai diprosea sejak Maret 2014. Berkas-berkas diajukan. Dan terdakwa memerintahkan petugasnya melakukan survei di sebagian tempat di Bali, Jawa, dan Lombok. Proses itu dilakukan account officer Andreas Ola Tokan dan I Gede Renata dan Titik Juniarti Ismani selaku legal dan appraisal serta Don Gaspar Hery DVG selaku Direktur didampingi Jalaludin selaku Dirut PT IHSC.

Proses awal kemudian dimulai dengan survei untuk menanyakan jumlah kebutuhan dana yang diperlukan calon TKI. Kebutuhannya berkisar Rp 60 juta sampai Rp 75 juta untuk keberangkatan sebagai PMI.

Sedangkan untuk investasi pembelian lahan kaplingan yang juga menjadi program kerja sama antara PT BPR KS BAS dan PT IHSC, terdakwa memerintahkan Titik Juniati Ismaniar meningkatkan plafon kredit yang nilai semula berkisar antara Rp 60 juta sampai Rp 75 juta menjadi Rp 450 juta.

Karena perintah itu, Titik Juniati Ismaniar diarahkan terdakwa untuk menyesuaikan penghasilan calon debitur sebagai PMI dengan mencantumkan pendapatan yang akan didapatkan berdasarkan fotokopi Certificate of Eligibility (LG).

Dalam LG disebutkan calon PMI akan mendapatkan upah sebesar 151.200 Yen atau sekitar Rp 18 juta sampai Rp 20 juta. Padahal waktu itu belum dilakukan pengecekan ke perusahaan yang menerbitkan LG mengenai kebenaran isi dokumen LG tersebut. Selain itu, investasi lahan berupa kaplingan tanah di daerah Sibang Gede Badung juga turut dijadikan jaminan padahal waktu itu belum dilakukan pembelian.

Singkat cerita proses pencairan permohonan kredit 54 debitur dilakukan. Dicatat pada pembukuan dan sistem yang yang dimiliki PT KS BAS. Kemudian mulai Maret 2014 sampai Desember 2014 dilakukan perjanjian kredit antara 54 calon debitur yang akan berangkat antara lain atas nama I Kadek Septian Dwi Cahyadi, I Putu Arnawa, Ni Luh Wirani.

Saat itu, calon debitur diminta menandatangani berkas-berkas kredit berupa form pengajuan kredit dan perjanjian kredit. Tetapi form pencairan kredit tidak ditandatangani calon debitur yang akan berangkat sebagai PMI. Namun dalam dokumen pencairan kredit tertera tanda tangan pemohon kredit seolah-oleh ditandatangani yang bersangkutan.

Sepanjang Maret sampai Desember 2014 PT BPR KS BAS telah mencairkan kredit untuk 54 debitur sebagai PMI dengan total plafon berjumlah sekitar Rp 24.225.000.000 dan telah dibukukan. Antara lain pada 30 Desember 2014 pengajuan kredit atas nama I Kadek Septian Dwi Cahyadi dengan plafon Rp 150 juta.

Pencairan terhadap 54 calon debitur dilakukan melalui transfer ke rekening tabungan debitur selanjutnya dilakukan penarikan oleh debitur namun uang hasil pencairan tidak diberikan kepada debitor melainkan ke perwakilan PT IHSC dengan menyerahkan cek.

Pembayaran pokok dan bunga di tiga bulan pertama dilakukan dengan mendebet tabungan masing-masing debitur yang berasal dari sisa dana pencairan. Selanjutnya pembayaran dilakukan dengan cara setiap bulan staf IHSC datang ke BPR KS BAS membawa daftar nama debitur yang akan dibayarkan angsurannya tanpa adanya fisik uang untuk disetorkan karena pembayaran dilakukan melalui transfer.

Karena adanya arahan terdakwa untuk menambah plafon kredit dengan cara menambahkan penghasilan calon debitur seolah debitur menjadi layak untuk mendapatkan nominal kredit yang lebih besar serta uang pencairan kredit tidak diserahkan kepada debitur melainkan kepada pihak lain.

“Pencatatan terhadap pencairan 54 debitur tersebut mempengaruhi Buku Besar Kredit Yang Diberikan, Buku Besar, Tabungan, Buku Besar Kas dan Laporan keuangan PT BPR KS BAS yang mana laporan keuangan ini dijadikan dasar pembuatan laporan bulanan triwulan dan tahunan secara periodik kepada BI dan OJK,” pungkas jaksa. [Radar Bali]

Advertisement
Advertisement