April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Hebat, Kedua Orang Tua Jadi PMI, Murid Kelas VI SD Ini Bersekolah Sambil Mengasuh Dua Adiknya

6 min read

SAMPANG – Adzan subuh berkumandang, penduduk Desa Palenggiyan, Kecamatan Kedungdung, Kabupaten Sampang, mulai berduyun-duyun ke masjid setempat untuk shalat berjamaah. Ismail, bocah berusia sebelas tahun, ikut bergegas menuju masjid yang jaraknya 400 meter dari rumahnya dengan berjalan kaki. Ia sendirian, karena ayahnya Khatib pergi menjadi pekerja migran (PMI) ke Malaysia empat tahun yang silam. Menyusul ibunya tiga tahun berikutnya.

Usai shalat berjamaah di masjid, Ismail segera membangunkan kedua adiknya, Mila (4) dan Dila (3). Bersama kakaknya, Musrifah (14), Ismail memandikan adiknya. Mila lebih suka dimandikan Ismail, sedangkan Dila lebih senang dimandikan Musrifah. Begitu pula dalam berpakaian, Mila dan Dila lebih suka kepada kakaknya yang sudah memandikannya.

Remmeh (60) nenek Ismail, mulai menyiapkan sarapan pagi untuk keempat cucunya. Remmeh juga harus siap-siap berangkat ke ladang-ladang di sekitar rumahnya setelah menyiapkan sarapan keempat cucunya, untuk mencari rumput pakan dua sapi ternaknya. Sebelum memastikan sarapan lengkap, Remmeh belum berangkat ke ladang. Setelah semuanya lengkap, perempuan yang mulai ubanan ini, pergi meninggalkan rumahnya.

Ismail bersama tiga suadaranya, kompak sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh neneknya. Menu sarapan mereka berupa nasi jagung, telur goreng. Terkadang ikan laut dicampur sambal dan mie instan rebus.

“Kalau sedang punya beras untuk dimasak, anak-anak bisa sarapan pagi. Kalau tidak ada, mereka disuruh beli jajan di sekolahnya,” ujar Remmeh dinukil dari Kompas.com, Kamis (11/10/2018).

Nasrul : “Lihat Ibu Di Hong Kong Mabuk Dan Joget, Bapak Sedih Sampai Meninggal Dunia”

Usai sarapan, Ismail kemudian bergegas ke sekolahnya di SDN Palenggiyan 1 di Dusun Tebbes. Mila dan Dila ikut Ismail ke sekolahnya dengan jalan kaki. Sedangkan Musrifah, menjaga ruam, karena sudah lulus SMP dan tidak melanjutkan lagi ke jenjang SMA karena masalah biaya. Ismail butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sekolahnya.

“Harus jalan kaki bersama-sama karena saya tidak punya sepeda,” kata Ismail.

Di sekolah, Ismail duduk di bangku kelas VI dan berada di urutan paling depan bagian tengah, kedua adiknya, duduk di bangku sebelah kanan dan kirinya. Itu dilakukan agar kedua adiknya tidak bercanda saat pelajaran di kelas dimulai.

Rupanya, di sekolah ini, Ismail tidak hanya sendirian yang ke sekolah sambil mengasuh adiknya. Namun banyak siswa lainnya. Seperti di kelas V, ada tiga anak. Termasuk Moh Zaenal Fatah (10) yang juga membawa adik sepupunya ke kelas. Ada juga Angga (10).

Rodiatul Adawiyah, salah satu guru di SDN Palenggiyen 1 menuturkan, siswa sambil mengasuh adiknya di sekolah sudah lama terjadi. Bahkan tidak hanya di sekolahnya saja, tetapi di sekolah-sekolah lain di sekitar desanya juga sama.

“Sudah biasa kalau di sini anak-anak membawa adiknya ke dalam kelas ikut belajar,” terang Rodiatul Adawiyah.

Perempuan yang akrab disapa Ada ini menceritakan, kebiasaan anak-anak membawa adiknya ke kelas dikarenakan belum adanya pendidikan anak usia dini (PAUD).

Namun sejak ada PAUD, anak-anak mulai jarang membawa adiknya ke sekolah. Sebelum ada PAUD, setiap hari anak-anak membawa adiknya ke kelas.

“Sekarang hanya anak yang tidak masuk PAUD saja yang ikut ke kelas bersama kakaknya. Kalaupun ada, anak itu pulang dari PAUD langsung ke sekolah kakaknya ikut ke dalam kelas,” imbuh Ada.

Faktor anak jadi pengasuh anak di sekolah, menurut Ada, karena orang tua anak tersebut sibuk bekerja mencari nafkah. Ada yang bertani, buruh tani, sibuk mencari air dan ada yang ditinggal merantau ke luar daerah dan luar negeri.

Sehingga di rumah tidak ada yang mengasuhnya. Setelah pelajaran di sekolah selesai, semua anak yang membawa adiknya ke sekolah, pulang bersama-sama. Anak-anak yang sekolah di PAUD, tidak berani pulang sendirian. Sehingga harus menunggu kakaknya selesai belajar di sekolah. Termasuk Ismail dan kedua adiknya.

Sekolah sambil mengasuh anak bukan pekerjaan mudah. Ismail, salah satu murid di SDN Palenggiyen 1, Kecamatan Kedungdung, Sampang, yang sedang menjalaninya. Ia harus bisa menjaga kedua adiknya agar tidak mengganggu ketika pelajaran sedang berlangsung. Agar kedua adiknya bisa tenang di kelas, Ismail harus rela berbagi uang jajan. Bahkan, ia rela uang jajannya dihabiskan kedua adiknya. Sebagai anak yang ditinggal merantau ke luar negeri oleh kedua orangtuanya, uang jajan Ismail serba pas-pasan.

Keadaan itu hampir sama dialami siswa lainnya. Dari 103 siswa yang ada, hampir 85 persen berasal dari keluarga miskin.

“Saya terkadang hanya minta jajan sisa yang dimakan adik agar mereka tidak berisik dan mengganggu di kelas,” ujar Ismail.

Lyndia Putri Kurniawati, wali kelas VI, mengatakan, anak-anak yang ikut kakaknya selama di kelas jarang mengganggu. Mereka ikut duduk manis seperti siswa lainnya. Sebab, sebelum masuk kelas, mereka sudah diperingatkan agar tidak mengganggu. Peringatan itu dipatuhi setiap anak yang ikut di kelas. Namun, terkadang ada saja anak yang mengganggu jalannya pelajaran. Ketika sudah merasa terganggu, Lyndia menegur mereka.

“Ya, harus ditegur mereka dengan cara yang halus agar mereka tetap mau di kelas dan bisa mendengarkan pelajaran,” kata Lyndia.

Sebagai kakak, Ismail juga tidak segan-segan menegur adiknya jika mengganggu. Terkadang ia harus merelakan bukunya untuk dicorat-coret, dibuat buku gambar agar adiknya diam, dan sibuk dengan kegiatannya sendiri.

“Kalau pas bergurau di kelas, bu guru pasti menegur. Tapi tidak sampai marah, apalagi mengusir adik dari dalam kelas,” imbuh Ismail.

Lain lagi dengan Mohamad Zaenul Fata, siswa kelas V yang membawa adik sepupunya, Ristiani, ke kelas. Ketika sudah mengganggu di kelas atau menangis, ia menenangkannya dengan cara digendong. Sebab, adik sepupunya baru berusia 2,5 tahun.

“Dia maunya dengan saya terus meskipun ke sekolah. Kalau menangis di kelas, saya gendong baru diam,” ujar siswa yang akrab disapa Fata ini.

Lyndia yang baru setahun mengajar sebagai Guru Garis Depan (GGD) di SDN Palenggiyan  harus memahami kultur masyarakat setempat. Dia banyak belajar kepada guru-guru yang lebih senior di sekolahnya untuk memahami anak yang ke sekolah sambil mengasuh adiknya. Menurut guru asal Surabaya ini, jika anak ditegur keras, apalagi dimarahi, anak tersebut bisa tidak masuk sekolah. Bahkan bisa berhenti dari sekolahnya.

“Kita biarkan saja mereka sambil mengasuh adiknya di kelas. Yang penting tidak mengganggu,” imbuh Lyndia.

Rodiatul Adawiyah, guru lainnya, mengatakan, anak-anak yang sekolah di SDN Palenggiyan 1, rata-rata pernah diasuh oleh kakaknya sebelum masuk SD. Waktu kecil mereka ikut kakaknya. Setelah cukup usia, baru dimasukkan secara administratif sebagai siswa.

“Kita tidak ingin hubungan baik dengan masyarakat rusak karena kita ingin menegakkan aturan anak dilarang mengasuh adiknya di sekolah. Mereka bisa hengkang dari sekolah ini,” ungkap Adawiyah.

Bagi anak-anak siswa SDN Palenggiyan 1 Kecamatan Kedungdung, setiap hari bertemu dan berdampingan dengan kedua orangtuanya menjadi sumber kebahagiaan. Setiap ada masalah, mereka bisa mencurahkan masalahnya kepada kedua orangtua.

Namun, tidak bagi anak-anak yang ditinggal kedua orangtuanya karena merantau ke luar daerah atau ke luar negeri menjadi pekerja migran Indonesia (PMI). Selain harus ikut merawat adiknya, hal paling berat yang mereka rasakan adalah rindu dan haus kasih sayang.

Aku Begini Karena Katanya Ibu Tidak Menginginkan Kelahiranku

Ismail salah satunya. Ia ditinggal merantau ke Malaysia oleh ayahnya saat berusia enam tahun. Menyusul ayahnya, ibu Ismail ikut juga mencari nafkah ke negeri jiran itu. Dia harus merawat dirinya dan kedua adiknya yang setiap hari dibawa ke sekolah. Ismail sosok anak yang pendiam, pemalu namun cepat akrab dengan orang lain.

Gaya bicara Ismail, sering menggunakan gerakan tubuh. Saat ada pertanyaan ya atau tidak, jawaban antara mengangguk atau menggeleng.

“Ismail kangen tidak sama ayah dan ibu?,” tanya jurnalis yang mewawancarai. Ismail hanya mengangguk kemudian merunduk karena tidak berani menatap orang lain. “Rindu berat?,” tanya jurnalis  lagi. Ia mengulangi anggukannya.

Saat rindu, Ismail meminta kepada kakak perempuannya untuk menelpon ayahnya Khotib atau ibunya Rohani di luar negeri. Ismail sering meneteskan air mata saat mendengarkan ayahnya atau ibunya bicara di telpon. Apalagi saat mendengar pesan-pesan penting dari kedua orang tuanya. Beberapa pesan yang sering diterima Ismail di antaranya, rajin shalat, rajin mengaji, rajin sekolah, jangan bertengkar dengan saudara-saudaranya, dan menghormati neneknya. Pesan lainnya, jangan pernah mengambil hak orang lain atau mencuri.

“Ayahnya juga pesan kalau sudah lulus sekolah, agar melanjutkan ke pondok pesantren. Tujuannya agar ahklaknya bagus, meskipun tidak terlalu pintar,” kata Remmeh, nenek Ismail.

Ismail sendiri mengaku, tidak ingat betul kepada wajah Khotib, ayah kandungnya. Yang ia kenali hanya suaranya saja ketika ditelepon. Kalau wajah ibunya, Ismail masih mengingatnya karena baru setahun yang lalu pergi menjadi PMI. Sedangkan kedua adiknya, Mila dan Dila, sama sekali tidak tahu wajah dan fisik ayahnya.

Sebagai anak yang ditinggal merantau kedua orang tuanya, Ismail terus tumbuh menjadi anak yang mandiri. Ia rajin membantu neneknya. Misalnya, ikut mencari air bersih ketika pulang sekolah. Atau, membantu neneknya mencari rumput. Ia juga rajin memberi makan hewan ternak miliknya yang dibeli dari hasil kiriman kedua orang tuanya.

“Saya tidak memaksa dia untuk membantu saya, tapi karena keinginan dia sendiri. Saya juga tidak bisa melarangnya agar dia bisa belajar sehingga kelak ketika dia sudah dewasa banyak pengalaman hidup yang bisa membantunya,” ujar Remmeh.

Harapan Remmeh kepada para cucunya, kelak semuanya bisa menjadi orang yang mandiri seperti yang telah diajarkannya selama ini. Yang paling penting, mereka bagus budi pekertinya. Soal rejeki, sudah diatur Allah.

Se penting andi’ tatakrama se begus. Oreng bejre benni polana sogi, tape karna aberri’ manfaat ka oreng laen. (Yang penting punya ahlak yang bagus. Orang sukses bukan karena kaya, tapi karena bisa memberi manfaat kepada orang lain),” pungkas Remmeh. []

 

 

Advertisement
Advertisement