April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Indahnya Berkonservasi Sambil Berekreasi

4 min read

Indonesia menyimpan keindahan alam yang luar biasa. Dengan potensinya itu, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata memberikan perhatian cukup besar terhadap sektor ini. Bahkan, Indonesia berada di posisi kelima dalam hal devisa pariwisata pada 2011 dengan nilai US$8.554,39 dan hingga 2015 berada di peringkat keempat dengan nilai US$12.225,89 atau rata-rata mengalami peningkatan sebesar 9,35% setiap tahunnya.

Hal ini dibuktikan pula dengan data BPS (2017) yang menunjukkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dalam kurun waktu 2014–2018 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 13,64% setiap tahunnya. Sementara itu, jumlah kunjungan wisatawan lokal, apabila dilihat dari jumlah perjalanan selama 2017, mencapai 270,82 juta perjalanan. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 2,45% dibandingkan pada 2016 yang mencapai 264,34 juta perjalanan.

 

Menggali Potensi

Indonesia kaya akan keanekaragaman hayatinya dengan keunikan flora dan fauna yang menjadi ciri khas Indonesia. Indonesia juga mempunyai cagar alam, taman nasional, kawasan lindung, dan objek wisata buatan lainnya.

Menurut KLHK (2017), hingga 2016, kawasan konservasi daratan dan laut mempunyai luas 27,3 juta hektare dengan total jumlah kawasannya 556 unit. Jumlah tersebut meliputi 54 unit taman nasional, 219 unit cagar alam, 118 unit taman wisata alam, 72 unit taman suaka margasatwa, 28 unit taman hutan raya (Tahura), 11 unit taman buru, dan 54 unit merupakan kawasan suaka Alam-kawasan pelestarian alam (KSA-KPA).

Bukan hanya dalam hal keanekaragaman flora dan fauna, setiap daerah di Indonesia juga kaya akan kearifan lokal, terutama terkait dengan pelestarian lingkungan. Selain itu, keragaman warisan budaya pun menjadi keunikan tersendiri, seperti bahasa daerah yang berbeda meskipun digunakan oleh suku yang sama. Sayangnya, besarnya potensi tersebut belum didukung oleh tingginya minat wisatawan terhadap ekowisata.

Berdasarkan data BPS (2017) tentang distribusi jumlah perjalanan wisatawan Nusantara menurut aktivitas wisata yang dilakukan pada 2017, justru Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW) untuk jenis ekowisata hanya sebesar 3%. Memang, banyak faktor yang dapat menjadi penyebab minimnya minat wisatawan dalam ekowisata ini. Namun, digeluti dengan serius, ekowisata justru akan banyak memberikan dampak positif bagi masyarakat.

Apabila melihat kondisi ekonomi wilayah, fakta saat ini menunjukkan bahwa masyarakat yang hidup di sekitar hutan atau pun dalam kawasan hutan berada dalam kategori miskin. Namun, justru dengan potensi yang besar tersebut, ekowisata seharusnya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat lokal.

Menurut Al Hasan dan Yumantoko (2012), hal tersebut disebabkan (1) minimnya akses masyarakat terhadap hutan, (2) banyaknya lahan kritis di dalam dan sekitar kawasan hutan yang tidak terdayagunakan, dan (3) minimnya insentif yang diberikan pemerintah bagi masyarakat sekitar hutan.

Partisipasi masyarakat lokal memang sangat penting dalam menjaga dan melindungi keanekaragaman hayati di wilayahnya. Bukankah keanekaragaman hayati sebagai aset negara merupakan tanggung jawab bersama untuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan dalam mencapai kesejahteraan masyarakatnya?

 

Implementasi Kebijakan

Ekowisata memang memerlukan tahapan dalam menentukan kelayakan suatu kawasan menjadi destinasi wisata. Ditambah lagi, kebijakan pengelolaan pariwisata kadang juga cenderung menitikberatkan kepada ekonomi. Aspek lingkungan dan peran masyarakat lokal sering kali malah diabaikan.

Selama ini, fakta menunjukkan banyaknya bencana asap, pencemaran sungai dan danau, pencemaran udara, dan peningkatan lahan kritis. Kondisi tersebut terjadi akibat dari konsepsi pembangunan yang keliru. Kebijakan pembangunan belum secara komprehensif memahami prinsip-prinsip ekowisata (Muchrodji et. al., 2015).

Menurut Asmin (2017), pengelolaan objek ekowisata dalam konteks sistem kepariwisataan yang kurang tergali salah satunya disebabkan oleh banyaknya kendala dalam kelembagaan dan kurangnya kebijakan perundangan yang mendukung penyelenggaraannya. Dalam hal ini, peran masyarakat lokal sangat penting karena memiliki pengetahuan tentang kawasan tersebut. Mereka ini perlu bekal yang memadai terkait ekowisata.

Pada prinsipnya, ekowisata memerlukan pengetahuan terkait objek ekowisatanya, kelembagaan dalam pengelolaannya, dan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan ekowisata yang berkelanjutan. Bahkan, menurut Fandeli (2000), ekowisata itu tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial. Ekowisata ini tidak dapat dipisahkan dengan konservasi. Oleh karena itu, ekowisata disebut sebagai perjalanan wisata bertanggung jawab.

Kendala dalam kelembagaan justru terjadi karena memang kapasitas kelembagaannya yang rendah. Misalnya saja, hasil penelitian Muhtadi dan Sitohang (2016) menunjukkan bahwa lebih dari 50% masyarakat sekitar Pantai Bali belum mengenal istilah ekowisata.

Pentingnya peningkatan kapasitas kelembagaan tidak hanya meliputi peningkatan kapasitas organisasi melalui kepemimpinan dan koordinasi, pola kemitraan, serta pengembangan obyek wisata dan kapasitas promosinya. Kapasitas individu terkait dengan pengetahuan, potensi pasar, serta standar pelayanan dan akomodasi pun sangat penting diperhatikan. Bahkan, Muchrodji et. al., (2015) menambahkan bahwa kapasitas SDM dan pengelolaan yang memenuhi standar akan berdampak kepada kemampuan menyajikan interpretasi sumber daya alam dan budaya yang bermuara kepada permintaan serta kepuasan wisatawan.

Kemampuan interpretasi ini menjadi penting karena berkaitan dengan kemampuan menggali dan menafsirkan nilai-nilai yang terkandung dalam sumber daya alam maupun budaya setempat. Selain itu, kemampuan interpretasi juga dapat mengembangkan destinasi yang memiliki kekhasan sumber daya alam dan budaya, sekaligus memberikan pembelajaran tentang lingkungan alam dan budaya setempat.

Ekowisata penting dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik wisatawannya. Tidak semua pelaku ekowisata, dalam berbagai tingkatan minatnya, memiliki keinginan untuk terlibat secara aktif dalam pelestarian lingkungan. Namun demikian, tetap saja tujuan utama ekowisata adalah untuk konservasi. Akhirnya, ekowisata seharusnya tidak hanya memberikan edukasi, tetapi juga rekreasi.[]

Penulis : Mohammad Widyar Rahman, M.Si

Advertisement
Advertisement