April 25, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Jumlah Korban Meninggal Gempa Lombok Angkanya Simpang Siur, Begini Penjelasan Sutopo

3 min read

MATARAM – Berbagai lembaga memunculkan angka korban jiwa yang beragam ada yang di kisaran 150an, 250 an ada yang hingga 380an. Mengapa perbedaan data bisa begitu tajam?

Keterbatasan peralatan membuat penyelamatan dan pencarian korban gempa pekan lalu yang terserak di seantero Nusa Tenggara Barat, berjalan lambat, dan dicemaskan masih banyak korban yang tertimbun reruntuhan. Namun yang cukup memunculkan kebingungan bagi berbagai pihak adalah data jumlah angka korban yang berbeda-beda.

Bahkan perbedaan angka itu bisa begitu mencolok, jika merujuk pada data yang diberikan oleh beberapa lembaga berewenang.

Pada satu titik, misalnya, Rabu (8/8), angka korban tewas yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Barat (NTB), jumlah korban tewas adalah 131 orang.

Namun dua institusi lain mengeluarkan angka yang jauh lebih tinggi, hingga lebih dari dua kali lipat: TNI menyatakan 381 orang tewas, sedangkan Basarnas dan Gubernur NTB menyebut angka 226 orang. Adapun Bupati Lombok Utara menyebut jumlah korban jiwa 347 orang, di Lombok Utara saja.

Hari-hari berikutnya, perbedaan data masih terjadi. Apa yang salah sehingga data begitu mendasar bisa sedemikian simpang siur?

“Tidak ada yang salah karena semua pihak berusaha mendata dengan cara dan metodenya, yang terpenting adalah dilakukannya proses permeriksaan silang, cross check,” kata Hening Parlan, dari Humanitarian Forum Indonesia yang banyak bergerak dalam penanggulangan bencana.

Betapa pun, katanya, “perbedaan data ini tidak bisa dibiarkan berlangsung terus menerus. Lembaga berwenang dalam hal ini BNPB dan BPBD harus menjadi penengah dan segera mengambil kendali data. Semua data dipool dan dikonfirmasi ulang.”

Hal senada dikatakan juru bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho dalam sebuah pernyataan. Menurutnya perbedaan data korban selama masa tanggap darurat adalah hal yang biasa, yang juga terjadi saat gempabumi di Sumatera Barat 2009, letusan Gunung Merapi 2010, tsunami Mentawai 2010 dan berbagai bencana besar lain.

“Kebutuhan kecepatan melaporkan kondisi penanganan bencana saat krisis membuat berbagai lembaga menggunakan data sendiri. Akhirnya berbagai institusi memiliki data sendiri-sendiri dan berbeda sehingga membingungkan masyarakat,” kata Sutopo, yang terus bekerja kendati menderita kanker stadium empat.

Hening Parlan pun menyebut, perbedaan data itu menimbulkan kesimpang siuran, namun bisa dimaklumi, “karena dalam situasi emergensi semua merasa ingin segera bergerak cepat, sehingga banyak yang melakukan kegiatan yang sebenarnya juga dilakukan oleh pihak lain.”

Hal ini, kata Sutopo, “mencerminkan perlunya koordinasi data ditingkatkan. Data agar saling dilaporkan ke Pospenas lalu diverifikasi dan keluar satu data. Dan perlu koordinasi bersama menyamakan data korban bencana.”

Di lapangan, katanya, seringkali satu korban tercatat lebih dari satu. Misal instusi menyebutkan orang yang sama dengan nama panggilan sehari-hari, nama lengkap, atau nama kecilnya sehingga data terhitung 3 orang.

Terlepas dari itu semua, kata Sutopo, menurut ketentuan, yang harus jadi pegangan adalah data dari BNPB dan BPBD, yang menjadi data resmi nasional.

“Makanya seringkali data yang keluar dari BNPB dan BPBD lambat dibanding data lain. Sebab perlu verifikasi agar valid. Penyampaian data korban bencana buka  soal cepat-cepatan tetapi adalah kehati-hatian untuk menjamin data tersebut benar,” tandasnya.

Adapun Hening Parlan yang merupakan pendiri Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia meyebutkan, pada tahap-tahap awal perbedaan data begitu tajam bisa dimaklumi.

“Namun tidak bisa terus menerus. Karena kalau terus menerus maklum itu menunjukkan tidak ada koordinasi. Padahal sejak tahun 2007, kita sudah punya UU Penanggulangan Bencana, sudah punya lembaga penanggulangan bencana di nasional dan daerah, dengan segala mekanismenya.”

Jadi, katanya, koordinasi menjadi kunci, dan semua lembaga harus menyadari fungsi dan kewenangan masing-masing.

“Karena korban jiwa merupakan hal yang sensitif. Yang bisa memicu keresahan dan kepanikan,” tandasnya.

Merujuk pada data yang dirilis BNPB, Hingga Sabtu (11/08) tercatat 387 orang meninggal dunia dengan  sebaran Kabupaten Lombok Utara 334 orang, Lombok Barat 30 orang, Lombok Timur 10, Kota Mataram 9, Lombok Tengah 2, dan Kota Denpasar 2 orang.

Diperkirakan jumlah korban meninggal akan terus bertambah karena masih ada korban yang diduga tertimbun longsor dan bangunan roboh, dan adanya korban meninggal yang belum didata dan dilaporkan ke posko.

“Jika di Kabupaten Lombok Timur kemarin dilaporkan 11 orang meninggal dunia. Setelah diverifikasi ternyata terjadi pencatatan ganda. Satu korban dilaporkan 2 kali karena menggunakan nama panggilan dan nama lengkap,” jelas Sutopo.

Sementara itu, sebanyak 13.688 orang luka-luka.

Hingga Sabtu (11/08), pengungsi tercatat 387.067 jiwa tersebar di ribuan titik. Ratusan ribu jiwa pengungsi tersebut tersebar di Kabupaten Lombok Utara 198.846 orang, Kota Mataram 20.343 orang, Lombok Barat 91.372 orang, dan Lombok Timur 76.506 orang.   Sama halnya dengan data korban jiwa, angka pengungsi juga berubah-ubah.

“Karena banyak pengungsi yang pada siang hari kembali ke rumah atau menengok kebunnya, tetapi pada malam hari kembali ke pengungsian,” ungkapnya.

Selain itu, belum semua titik pengungsi terdata. Ditambah, terdapat sebagian warga yang harusnya tidak perlu mengungsi karena kondisi rumah masih berdiri kokoh tanpa kerusakan tetapi ikut mengungsi karena trauma dengan gempa. [CNN]

Advertisement
Advertisement