April 25, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Karena Gula, Hidup Jadi Gelap Gulita

6 min read

Perempuan bertongkat itu berjalan perlahan. Suaranya renyah saat menyapa. “Baru selesai belajar komputer bicara,” kata perempuan berkerudung itu seperti dinukil dari Beritagar.

Cheta Nilawaty nama lengkap perempuan itu. Hari itu merupakan bulan kelima Cheta mengikuti kursus komputer di Yayasan Mitra Netra, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Ini bukan kursus komputer biasa tapi komputer khusus para penyandang tuna netra.

“Ini masih berbasis tulisan biasa. Tadi saya belajar bikin header, footer, footnote. Dulu kan waktu bisa lihat, tinggal klik-klik seperti biasa. Sekarang pakai suara,” katanya.

Sejak 2016 lalu, perempuan berusia 35 tahun itu harus menerima kenyataan pahit. Pada tahun itu, dokter memvonis dia menderita Diabetic Retinophaty (DR). Hilang penglihatan yang disebabkan tingginya kadar gula dalam tubuh.

Sebenarnya diabetes yang dideritanya itu sudah diketahui sejak 2004, saat dirinya masih duduk di bangku kuliah. Garis dari ibunya memang punya keturunan diabetes. Meski mengetahui dia terkena diabetes namun dia tak begitu banyak memikirkannya.

Sampai akhirnya pada 2012, ia kembali memeriksakan kadar gulanya. Hasilnya membuatnya terhentak. Kadar gulanya mencapai 275 mg/dL. Angka yang sangat tinggi dari kadar gula normal yang biasanya ada di angka 82-130 mg/dL.

Karena angkanya sudah tergolong tinggi Chetapun langsung rajin minum obat diabetes. Sayangnya, profesinya sebagai wartawan gaya hidup membuat ia sedikit lupa. Cheta yang biasa meliput masalah kuliner tampaknya terlalu asyik sampai ia melupakan diabetes yang dideritanya.

Lalu pada Maret 2016, ia memeriksakan kondisi matanya ke dokter umum. “Kata dokter itu namanya floaters dan enggak bahaya. Dikejapkan aja katanya hilang, tapi ini kok saya kejapkan berkali-kali malah prosesnya berlanjut.”

Pada saat itu ia juga sempat melihat lampu sinar motor belakang menjadi tajam. “Lama kelamaan, yang tajam itu berubah jadi seperti serabut rambut. Saya makin takut tapi waktu itu mata masih normal, masih bisa baca, jadi saya diamkan.”

Alih-alih kembali normal, pada fase selanjutnya Cheta malah sempat mengalami kejadian aneh lain. “Waktu itu saya di kantor dan tiba-tiba melihat lampu berasap,” ujarnya.

Ia pun langsung ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau untuk bertemu dengan dokter spesialis mata. “Pas diperiksa pakai sinar, katanya mata kiri sudah pendarahan,” ceritanya. Setelah itu, ia pun dirujuk untuk ke dokter lain. “Kata dokter, retina saya copot dari mangkuknya.”

Saat pandangannya mulai menurun itu, sempat terbersit di pikiran Cheta untuk mengakhiri hidup. “Gue sempat mikir masa iya sih gue cuma bisa melihat sampai umur 34 doang. Nanti gue punya anak enggak bisa liat muka anak gue, punya suami enggak bisa lihat muka suami gue,” katanya lirih.

Beruntung ia tak mewujudkan niatnya itu. Sampai akhirnya pada pertengahan Mei 2016, ia melakukan operasi untuk menyedot darah dan retinanya yang lepas ditempelkan kembali dengan silikon. Total sampai bulan Desember 2016, Cheta telah mengalami 8 kali operasi: 6 mata kanan, 2 mata kiri.

“Saat ini ya seperti orang merem, warna yang saya lihat cokelat. Kalau siang, seperti selembar kain hitam yang disorot lampu jadi saya bisa bedain ada sinar atau enggak.”

Cheta tidak patah semangat. Ia pun lantas mencari informasi seputar kursus bagi tuna netra. Setelah cari-cari, akhirnya ia memilih Yayasan Mitra Netra di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Belum setahun menjadi tuna netra, membuat Cheta harus belajar banyak hal untuk menyesuaikan diri dengan dunianya yang baru. Termasuk soal aktivitas sehari-hari yang menjadi berbeda dengan sebelumnya, ketika matanya masih awas. “Waktu awal itu saya paling takut dengan perubahan dari sore ke malam,” ujarnya.

Untuk menghindari momen itu, Cheta punya kebiasaan baru, tidur sore dan bangun pukul 12 malam.

Ia punya pengalaman kurang enak. Suatu hari ia mengikuti acara yang digelar Yayasan Mitra Netra. Acaranya berlangsung dari pagi sampai magrib. “Yang terjadi adalah saya pengin muntah, pengin pingsan, dan takut banget rasanya.”

Beruntung lambat laun Cheta bisa beradaptasi. Kini dua kali seminggu, ia biasa datang ke Mitra Netra ini untuk mengikuti les komputer dan bahasa. Tiga hari selanjutnya, ia habiskan di kantor media tempatnya bekerja sebagai wartawan.

“Alhamdulillah kantor tetap mengakomodasi saya. Saya hanya pindah dari hard news dan lifestyle untuk mengisi Tempo.co ke Blogger Indonesiana,” kata perempuan yang sudah 10 tahun menjadi wartawan tersebut.

Di Blogger Indonesiana, Cheta mengaku menulis segala hal yang menyangkut tunanetra. Ia berharap tulisan-tulisannya itu bisa menjadi buku pegangan bagi orang normal untuk bisa memposisikan diri sebagai tunanetra.

Hari-harinya di Mitra Netra rupanya memberikan dampak positif karena berkumpul bersama penyandang tunanetra membuatnya merasa lebih nyaman. Di Mitra, mereka mengerti apa yang ia butuhkan. Bahkan, saat tidak ada les pun ia sering datang hanya untuk berkumpul bersama teman-temannya.

Dulu, ia inginnya berkumpul bersama komunitas yang banyak orang butanya. Entah itu tukang pijat atau tukang kerupuk. “Tapi begitu saya ke Mitra Netra semuanya berubah. Di sini banyak orang-orang keren, banyak mahasiswa, ada anak S2, dan memang di sini konsentrasi ke pendidikan” kata Cheta.

Cheta menjelaskan, kegiatan di Mitra Netra antara lain les komputer, bahasa, musik, dan teater. Ada pun kegiatan tak rutin yang pernah diadakan di antaranya seminar pre marital, seminar manajemen investasi untuk tunanetra, dan kelas digital marketing.

Mitra Netra juga memiliki kegiatan rehabilitasi yang di dalamnya termasuk konseling, orientasi dan mobilitas, serta belajar braile bagi yang belum bisa membaca.

“Konseling itu berawal dari ngobrol-ngobrol dan menceritakan unek-unek yang dirasakan. Konselor akan bertugas untuk mendengarkan juga memberikan pandangan baru ,” ujar Bambang Basuki, pendiri Yayasan Mitra Netra.

Selama konseling, tunanetra akan diberikan pandangan dan pemahaman baru. Tidak bisa melihat bukan berarti tidak bisa melakukan kegiatan apa pun dan tak memiliki harapan.

Buktinya, ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan di Mitra Netra yang telah ada sejak tahun 1991. Salah satunya belajar komputer bicara yang membuat orang bisa membuat, berbisnis daring, bahkan membuat program komputer.

Selain yang sudah disebutkan Cheta, Bambang juga menambahkan beberapa kelas yang ada di Mitra Netra, antara lain matematika, kimia, fisika,statistik, pemrograman komputer, aransemen musik, membaca Alquran, serta belajar bahasa Inggris dan Jerman.

Metode belajar di Mitra Netra bisa disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing orang. Menurut Bambang, para pegawai di Mitra Netra memang harus bisa mengajarkan tunanetra sesuai pendidikan yang dibutuhkan.

Guru-guru di Mitra Netra memiliki berbagai latar belakang di dunia pendidikan. “Untuk belajar di Mitra Netra, biayanya Rp20 ribu sekali datang,” kata Bambang yang juga menyandang tunanetra.

Pihak Mitra Netra sendiri menerima siapa saja tunanetra yang membutuhkan bantuan di bidang pendidikan dan rehabilitasi.

Bambang mengatakan penyandang tunatera di yayasannya akan diajarkan bergerak dan berjalan, cara pakai tongkat, cara berjalan di dalam dan ruangan, agar nantinya bisa berkegiatan secara mandiri.

“Di sini saya paling payah. Orang-orang yang dari tadi lewat tuh enggak ada yang melihat (tunanetra) tapi jalan bisa cepat,” ucapnya. “Kalau di kantor sih saya kesannya jago banget karena ada tunanetra masih bisa nulis,” katanya terbahak.

 

Apa itu Diabetic Retinophaty?

Menurut dr. Sandra Utami Widiastuti, SpPD, diabetic retinophaty (DR) itu artinya kerusakan retina akibat komplikasi diabetes.

Data dari The DiabCare Asia 2008 Study, dari total 1.785 responden, pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia, melaporkan bahwa 42 persen penderita diabetes mengalami komplikasi retinopati.

Adapun data dari WHO yang menyatakan, DR merupakan penyebab penting kebutaan dan terjadi sebagai akibat dari akumulasi kerusakan pembuluh darah kecil di retina dalam jangka panjang. 2,6 persen dari kebutaan global dapat dikaitkan dengan diabetes.

Penyebab DR, menurut dr. Gitalisa Andayani, SpM, karena kadar glukosa darah yang tinggi atau tidak terkontrol dalam waktu lama dan umumnya terjadi bila penderita menyandang diabetes 5 tahun ke atas.

Faktor seperti hipertensi dan dislipidemia (kadar kolesterol tinggi) juga berpengaruh menyebabkan DR.

“Pada stadium awal, tak ada gejala. Untuk mengetahui menderita DR atau tidak, pasien harus melakukan pemeriksaan mata awal,” kata dr. Gita.

Menurut Sandra, diabetes punya beberapa komplikasi seperti macroangiopathy dan microangiopathy. DR sendiri termasuk microangiopathy, jadi kerusakan di pembuluh darah yang kecil terjadi di mata. Kondisi ini dapat diderita oleh penderita diabetes tipe 1 dan 2.

“Jadi untuk retinophaty itu kerusakannya di retina, tepatnya di titik makula. Makula itu pusat syaraf untuk menangkap bayangan mata dan lain-lain,” kata dokter spesialis penyakit dalam tersebut.

Pembengkakan di makula, biasanya diikuti pendarahan. “Terjadi poliferasi artinya kerusakan sel-sel di daerah makula sehingga bisa terjadi luka dan pendarahan,” ujarnya.

Retina sendiri ada di dinding belakang bola mata, sehingga memiliki cairan vitrius (cairan di dalam bola mata), cairan tersebut akan penuh dengan darah sehingga orang menjadi tidak bisa melihat.

Nah pada penderita DR terjadi kerusakan di makula dan di daerah optic disc sehingga makula bisa bengkak. Kemudian karena ada sumbatan, muncul pembuluh darah kecil-kecil yang seharusnya tidak ada pada pembuluh darah yang sehat.

Pada DR, juga ditemukan cotton wool spots atau seperti kapas yang merupakan sumbatan. Juga ada hard exudates yang tidak normal.

Penyebab retinophaty sebenarnya tak hanya diabetes, tapi bisa juga karena hipertensi yang tidak terkontrol, tapi memang paling banyak karena diabetes.

“Penderita diabetic retinophaty memang belum tentu semuanya akan kehilangan penglihatan, tapi kebutaan itu sangat mengancam dan besar kemungkinannya,” ucap Sandra.

Nah pada kasus Cheta, menurut Gita, itu karena ia mengalami ablasio retina. Pada stadium lanjut akan timbul jaringan parut di atas permukaan retina yang menyebabkan retina lepas.

“Pengobatan yang bisa dilakukan pada kondisi yang mengancam penglihatan (seperti edema makula) adalah terapi laser dan atau obat tertentu yang disuntikkan ke dalam bola mata (umumnya jenis obat AntiVEGF),” kata Gita.

Untuk mencegah atau tidak memperparah kondisi diabetes sehingga bisa menyebabkan DR, dr Sandra juga menyarankan untuk tidak makan junk food, tidak merokok, pola makan baik, olahraga, menjaga kadar gula darah, dan menjaga tubuh tetap ideal. [Dian]

 

Advertisement
Advertisement