April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

KTP Elektronik Bukan Syarat Mutlak Untuk Daftar Menjadi Pemilih

3 min read

JAKARTA – Syarat administrasi penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dipermudah. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik bukan syarat mutlak memilih pada pemungutan suara 17 April 2019.

Keputusan disahkan saat pembacaan hasil uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/03/2019).

Hakim Konstitusi I Gede Palguna sepakat menyatakan bahwa hak pilih tidak bisa dibatasi oleh syarat tertentu, seraya membenarkan bahwa e-KTP adalah identitas resmi penduduk yang wajib dibawa ke manapun serta dapat dipertanggungjawabkan kepemilikannya.

“Tidak ada identitas lainnya yang setara dengan KTP elektronik. Sangat kecil peluang menyalahgunakan. Sudah tepat dan proporsional,” kata Palguna dalam risalah putusan MK.

Oleh karenanya, MK meminta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) untuk segera mengeluarkan pengganti e-KTP bagi penduduk yang belum tercatat. Hal ini demi menekan angka golongan putih (golput) lantaran tak memiliki e-KTP sebagai salah satu syarat utama dalam memberikan suara di pemilu.

Uji materi UU Pemilu diajukan sejumlah advokat seperti Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Hadar Nafis Gumay, dan juga Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY).

Ada beberapa poin yang dijadikan argumen pemohon. Pertama, pemilih di lembaga pemasyarakatan (lapas) kehilangan suara lantaran pembentukan TPS dilakukan berbasis dengan DPT. Ketidaktersediaan TPS di lapas membuat para narapidana harus mencoblos di TPS luar jeruji. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan.

Kedua, warga negara yang sedang liburan di luar daerah tak boleh melakukan pemungutan suara dari daerah liburannya. Sebab, UU Pemilu membatasi jumlah pemilih tambahan dalam DPT (DPTb) di TPS yakni maksimal 30 hari sebelum pemungutan suara.

Ketiga, para perantau hanya bisa mencoblos untuk pemilu presiden. Mereka tak bisa melakukan pemungutan suara untuk DPD, DPR, DPRD baik tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

Guru Besar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, tingkat partisipasi pemilu salah satunya juga bergantung pada sistem penyelenggaraan pesta demokrasi yang ada. Tak jarang, banyak orang yang akhirnya memilih untuk menjadi golput lantaran persyaratan administrasi yang terlalu rumit.

Bahkan, jumlah pemilih yang golput karena alasan ini disebutnya lebih tinggi ketimbang mereka yang berpegangan pada ideologi dan cara pandang politik lainnya.

“Saya melihat, dan dikonfirmasi banyak hasil survei publik, yang betul-betul tidak memilih karena misalnya kecewa dengan calon atau sistem pemilunya, jumlahnya relatif sedikit. Lebih banyak justru tidak memilih karena faktor nonpolitik atau teknis tata kelola pemilu,” kata Syamsuddin saat agenda diskusi di Hotel Mercure, Sabang, Jakarta Pusat.

Ketua Kode Inisiatif Very Junaidi menekankan, syarat administratif dalam pemilu sebaiknya tidak menghambat hak pilih warga negara. Soal golput administrasi ini, menurut Very, yang perlu diselesaikan oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini utamanya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Memang ada yang salah juga, ada kecurigaan tinggi (dari penyelenggara dan peserta pemilu), sehingga memberlakukan aturan memilih yang sangat ketat,” tegas Very.

Wiwik Roso Sri Rezeki, perwakilan Direktorat Jenderal Dukcapil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), mengklaim bahwa pihaknya untuk menjemput bola pencatatan data sipil penduduk. Hal ini sejalan dari hasil rapat dengar pendapat Dirjen Dukcapil dengan Komisi II DPR RI, awal Maret 2019.

Langkah jemput bola itu dilakukan salah satunya lantaran banyak warga yang saat ini masih memegang suket.

“Sebenarnya peningkatan partisipasi pemilih bukan domainnya kemendagri, tapi kita memastikan bagaimana semua penduduk bisa memiliki e-KTP dalam waktu dekat,” kata Wiwik di tempat yang sama.

Institute for Democracy and Election Assistance mencatat partisipasi pemilu legislatif (pileg) di Indonesia cenderung turun sejak 1999 atau tepatnya ketika era otoriter tumbang.

Pada 2014, hanya 75,11 persen dari total DPT yang mencoblos. Sementara, rata-rata partisipasi pileg tertinggi terjadi pada 1971 saat istilah golput mulai digemborkan yakni sebanyak 94,02 persen dari total DPT.

Sementara tingkat partisipasi pilpres cenderung fluktuatif. Sempat meningkat pada 2009, namun kembali turun menjadi 69,58 persen di pilpres tahun 2009. [Nirmala]

Advertisement
Advertisement