April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Lebih Jernih Melihat Kemiskinan Dan Angka Kemiskinan

3 min read

Di tahun politik ini, semua topik yang berurusan dengan hajat publik dapat cepat memanas, dipolitisasi dan menjadi polemik. Termasuk juga yang baru-baru ini diterbitkan oleh BPS, yaitu tentang menurunnya angka kemiskinan.

BPS merilis data terbaru pada Maret 2018, yang menunjukkan jumlah penduduk miskin –yaitu, penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan- di Indonesia mencapai 9,82 persen atau 25,95 juta orang. Angka itu berkurang dari persentase penduduk miskin pada survei sebelumnya, yakni 10,12 persen atau 26,58 juta orang pada kondisi September 2017.

Pemerintah tentu saja berbangga dengan hasil ini. Sebab banyak hal yang telah dilakukan, dalam bentuk program-program pemerintah, demi menggeser angka kemiskinan menuju satu digit tersebut.

Sebaliknya, pihak oposisi, yang berlawanan dengan pemerintah, tak segan mengatakan angka tersebut tiada lain trik rezim yang berkuasa menjelang tahun politik.

Perbedaan pendapat tentu sah-sah saja. Namun baiknya tiap argumen yang disampaikan untuk membantah suatu penilaian, berbasiskan pada data-data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena mempolitisasi urusan publik sama saja dengan mempermainkan hidup publik itu sendiri. Cukup sudah masyarakat dipermainkan.

Penulis ingin memaparkan beberapa analisis dari sudut ke sudut tentang pergeseran garis dan angka kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik tersebut.

Selama periode September 2017–Maret 2018, paling tidak ada enam faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan. Satu, inflasi. Dua, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan untuk rumah tangga. Tiga, Bansos. Empat, Program Beras Sejahtera (Rastra) dan Bantuan Pangan Non Tunai. Lima, nilai tukar petani, dan terakhir, kenaikan harga beras.

Beberapa diantaranya ialah program yang digiatkan oleh pemerintah untuk menjinakkan angka kemiskinan. Sebagaimana bantuan sosial tunai dari pemerintah tumbuh yang tumbuh signifikan menjadi 87,6 persen pada Triwulan I 2018. Jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan di periode sebelumnya (Triwulan I 2017) –yang hanya tumbuh 3,39 persen.

Demikian juga penyaluran sesuai jadwal atas Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Beras Sejahtera (Rastra) pada Triwulan I. Menurut data Badan Urusan Logistik, realisasi distribusi bantuan sosial Rastra pada Januari 2018 mencapai 99,65 persen, pada Februari 2018 sebesar 99,66 persen, dan pada Maret 2018 sebesar 99,62 persen. Penyaluran bantuan tersebut dapat dikatakan mendekati sempurna.

Namun perlu diperhatikan, periode data yang baru dirilis oleh BPS adalah edisi Maret atau tiga bulan yang lalu. Kondisinya tentu berbeda dengan saat ini. Sebulan setelah survei kita memasuki bulan puasa, yang mana harga-harga kebutuhan pokok pada umumnya naik, terlebih lagi pada momen hari raya. Tiga bulan yang lalu belum ada kelangkaan ayam ras dan harga telurnya yang melejit seperti sekarang ini.

Untuk melihat bagaimana perkembangan setelah Maret, baiknya kita tunggu survei kedua BPS di tahun ini yaitu pada September nanti. Sebab potensi pergeseran kembali amat besar mengingat kondisi belakangan.

Selanjutnya, persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan ialah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin (Merujuk pada Berita Resmi Statistik, Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2018).

Pada periode September 2017–Maret 2018, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan mengalami penurunan. Indeks Kedalaman Kemiskinan pada September 2017 adalah 1,79 dan pada Maret 2018 mengalami penurunan menjadi 1,71. Demikian juga dengan Indeks Keparahan Kemiskinan, pada periode yang sama mengalami penurunan dari 0,46 menjadi 0,44.

Sementara untuk periode Maret 2017–Maret 2018, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan cenderung mengalami penurunan (Berita Resmi Statistik, No. 57/07/Th. XXI, 16 Juli 2018).

Apabila dibandingkan antara daerah perkotaan dan perdesaan, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan di daerah perdesaan lebih tinggi daripada di daerah perkotaan.

Pada Maret 2018, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan untuk daerah perkotaan sebesar 1,17, sedangkan di daerah perdesaan jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 2,37. Sementara itu, nilai Indeks Keparahan Kemiskinan untuk perkotaan adalah 0,29, sedangkan di perdesaan mencapai sebesar 0,63 (Berita Resmi Statistik, No. 57/07/Th. XXI, 16 Juli 2018).

Jauh lebih tingginya Indeks Keparahan Kemiskinan di perdesaan menunjukkan bahwa misi pembangunan dari pinggir yang digalakkan oleh pemerintah belum membuahkan hasil yang memuaskan.

Dana desa telah digulirkan dengan jumlah yang amat besar sampai ke satuan pemerintahan terkecil di daerah. Namun sejumlah temuan berkaitan tren modus korupsi sepanjang tahun lalu menunjukkan bahwa dana yang besar itu kerap menjadi bancakan. Dana desa pun jadi pos anggaran yang paling banyak dikorupsi.

Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal mesti dapat memastikan tiap program yang dibuat untuk menyerap dana desa tidak hanya di atas kertas. Namun mampu mencipta lapangan kerja yang lebih luas dan mengurangi Indeks Keparahan Kemiskinan di tingkat perdesaan.

Polisi dan KPK mesti memperkuat wadah penyalur keluhan, hotlines, informasi konfidensial, mekanisme whistle-blowerdan sistem perlindungan yang efektif untuk mengungkap penyelewengan dana desa.[]

 

Penulis : Alek K Kurniawan, analis Econact Indonesia, alumnus Indef School of Political Economy

Advertisement
Advertisement