April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Menguap (Angop) ? Jangan Ditahan

3 min read

Melihat orang lain menguap (dalam bahasa jawa disebut angop) membuat diri kita, tanpa disadari, ikut melakukan hal serupa. Namun, hati-hati, Anda jangan sampai menahannya. Sebab, dampaknya bisa lebih buruk.

Menguap merupakan sinyal bahwa Anda merasa mengantuk. Menguap di waktu produktif menandakan Anda kurang tidur, kelelahan, atau merasakan bosan. Acap kali rasa ingin menguap datang pada kondisi yang kurang tepat.

Namun, pastikan jangan menahannya. Sebab, cara yang demikian justru membuat Anda semakin ingin menguap lebih sering.

Pada penelitian terdahulu diungkapkan, memang menguap bisa menular. Maksudnya, ketika Anda melihat orang lain menguap, maka Anda pun akan melakukannya.

Fenomena tersebut, berdasarkan hasil penelitian, terjadi pada 60 sampai dengan 70 persen orang di dunia.

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Current Biology telah membeberkan detil informasi mengenai alasan mengapa menguap itu menular.

Ilmuwan menjelaskan bahwa keinginan menguap setelah melihat orang lain melakukannya, tidak ada hubungannya dengan mengekspresikan empati atau keinginan berbagi seperti rasa solidaritas.

Laporan terbaru mengungkapkan, dorongan untuk menguap terkait dengan aktivitas otak yang menciptakan desakan yang hampir tidak mungkin diabaikan atau ditolak.

Studi terbaru melibatkan 36 sukarelawan usia dewasa. Tim peneliti mempelajari stimulasi magnetis yang menstimulasi otak. Tujuannya untuk mengukur gerakan aktif syaraf dalam sejumlah area di otak. Mereka fokus pada korteks motorik.

Korteks motorik merupakan bagian otak yang bekerja saat manusia membuat rencana dan pergerakan tubuh.

Studi terbaru ini meneliti kebiasaan menguap secara lebih mendetil.

Ilmuwan menemukan bahwa menahan diri untuk menguap justru semakin menguatkan dorongan untuk mengerjakannya. Bahkan, bisa lebih sering dari biasa.

Pengukuran yang dilakukan tim peneliti membantu mereka untuk melihat pergerakan aktif korteks motorik setiap orang.

Hipotesa peneliti mengatakan bahwa cara tersebut bisa memprediksi kecenderungan menguap yang bisa menular.

Peneliti memperlihatkan sejumlah potongan video orang-orang yang sedang menguap kepada seluruh partisipan. Setengah kelompok diminta untuk tidak menguap meskipun ingin. Sisanya diperbolehkan menguap sesuka hati.

Seluruh kegiatan partisipan saat sesi percobaan ini direkam dan didokumentasikan oleh peneliti.

Lalu, mereka memperhatikan reaksi partisipan dan menghitung jumlah aksi menguap masing-masing.

Kemudian, para peneliti menemukan, mereka yang diinstruksikan untuk tidak menguap berakhir dengan mulut menganga atau mulut sedikit terbuka, tetapi tidak menguap.

Peneliti pun masih melihat ada beberapa partisipan yang tidak tahan untuk tidak menguap dalam kelompok pertama.

Kelompok pertama tersebut melaporkan bahwa mereka merasakan dorongan yang sangat kuat untuk menguap saat melihat video.

Peneliti melihat bahwa seseorang yang tidak bisa menahan dorongan untuk menguap memiliki korteks motorik yang aktif berfungsi dengan baik. Jadi, menahan untuk tidak menguap bisa “melatih” bagian otak tersebut bekerja lebih pasif.

“Sejumlah besar manusia memiliki jaringan motor yang bekerja sangat baik sehingga rentan untuk tertular menguap. Sementara lainnya, tidak sebaik itu,” jelas Stephen Jackson, seorang profesor ilmu saraf kognitif dari University of Nottingham.

Penggunaan stimulasi elektrik untuk meningkatkan rangsangan kortikal justru menguatkan dorongan untuk menguap.

Georgina Jackson, Profesor Neurosains di Nottingham, mengatakan: “Penelitian ini menunjukan menahan keinginan menguap hanya membuat diri merasa lebih buruk. penggunaan stimulasi elektrik memudahkan kami untuk meningkatkan kerja bagian tersebut.”

Sekarang, peneliti berencana menggunakan metode serupa untuk mempelajari sindrom Tourette.

Tourette adalah penyakit neuropsikiatrik yang membuat penderitanya tidak bisa mengontrol ucapan atau gerakan yang spontan.

Penelitian tersebut diharapkan nantinya dapat memiliki implikasi untuk melawan demensia dan autisme, kondisi yang juga dipengaruhi oleh peningkatan rangsangan kortikal atau penurunan penghambatan fisiologis.[]

Advertisement
Advertisement