April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Menunggu Keseriusan Kemnaker Akan Nasib UU Perlindungan PMI

4 min read
Ditinggal Nyaleg, bagaimana Nasib UU 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan PMI ?

Ditinggal Nyaleg, bagaimana Nasib UU 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan PMI ?

Pemerintah dan DPR sepakat bahwa salah satu sebab pekerja migran Indonesia (PMI) terutama pekerja rumah tangga (PRT) di luar negeri mengalami masalah, seperti kekerasan dan pemerkosaan adalah karena perlindungan yang diatur dalam undang-undang, tidak jelas. Undang-undang yang dimaksud di sini adalah Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Hal ini tertulis jelas dalam naskah akademik pembuatan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) (red-atau TKI).

Dalam naskah akademik, dijelaskan, bahwa UU 39 Tahun 2004 lebih banyak mengatur mengenai penempatan PMI dibanding mengenai perlindungan PMI. Karena itulah, DPR dan pemerintah membentuk UU 18 Tahun 2017, yang diundangkan dan disyahkan dalam lembaran negara pada 24 November 2017 setelah disahkan di DPR pada sebulan sebelumnya.

UU 18 Tahun 2017 ini mengamanatkan pembuatan 28 peraturan pelaksana atau peraturan turunan. Batas waktu penyelesaikan pembuatan peraturan turunan itu dua tahun sejak UU tersebut diundangkan. Namun, sampai saat ini, hampir setahun sejak diundangkan belum satu pun aturan turunan yang selesai dirumuskan.

“Belum satu pun aturan turunan dirumuskan. Yang bertugas sebagai koordinator dalam merumuskan semua ini adalah Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker),” kata seorang pejabat eselon I di Kemnaker yang tidak bersedia menyebutkan namanya.

Pejabat ini khawatir, nasib UU 18 Tahun 2017 ini seperti nasib UU 39 Tahun 2004 yang tidak jelas peraturan turunannya. “Ada aturan turunan hanya satu atau dua tetapi itu dibuat pada tahun 2014 dan 2015. Kan aneh, UU-nya diundangkan tahun 2004,” kata pejabat itu.

Fakta yang terjadi saat ini Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri maju sebagai calon legislatif DPR RI daerah pemilihan Kota Bekasi dan Depok. Pantuan beritasatu.com, Hanif jarang di kantor. Ia sibuk mendatangi daerah pemilihannya untuk “kampanye”.

“Bagusnya semua aturan turunan selesai di kala beliau masih sebagai Menaker, mumpung orang yang paham dan ikut merumuskan UU 18 Tahun 2017 masih ada dan pada posisi yang sesuai yang saat ini. Takutnya kalau ada Menaker yang baru nanti kami digeser, maka merumuskan peraturan turunan agak susah lagi karena tim baru harus belajar lagi,” kata seorang pejabat eselon II yang enggan menyebutkan namanya.

Dirjen Pembinaan Penempatan dan Perluasaan Kerja, Kemnaker, Maruli Apul Hasoloan Tambunan, yang paling bertanggung jawab dalam membentuk tim perumus peraturan turunan UU tersebut, tidak pernah bersedia memberikan komentar. Bahkan Maruli sering takut bertemu wartawan.

Sedangkan Deputi Perlindungan TKI, BNP2TKI, Anjar Budi Winarso, menegaskan, BNP2TKI hanya bertugas merumuskan Peraturan Presiden (Prespres) sebagai aturan turunan dari UU 18 Tahun 2017.

“Kami sudah menyusunnya, tinggal dibahas dengan Kementerian dan lembaga lain,” kata dia.

Salah satu hal penting yang diatur dalam UU 18 Tahun 2017 adalah mempertegas pengaturan fungsi dan wewenang Kemnaker dan BNP2TKI. Pengaturan yang tegas ini dibuat agar “perang dingin” antara Kemnaker dengan BNP2TKI seperti yang terjadi sampai saat ini tidak terjadi lagi di mana yang akan datang.

Pasal 46 ayat (2) UU 18 Tahun 2017 menyatakan, tugas pelindungan PMI dilaksanakan oleh Badan yang dibentuk oleh Presiden (ayat 1). Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala Badan yang diangkat oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri (ayat 2).

Beda dengan Pasal 94 ayat (3) UU 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang menyatakan, BNP2TKI merupakan lembaga non departemen yang bertanggung jawab kepada Presiden berkedudukan di Ibukota Negara. Ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU 18 Tahun 2017 akan dijabarkan lebih lengkap dan rinci dalam Peraturan Menteri. Yang akan diatur dalam Peraturan Menteri yang dimaksud adalah perencanaan, organisasi BNP2TKI, pelaksanaan dan pengontrolan atau pengawasan.

Salah satu keunggulan UU 18 Tahun 2017 dibanding dengan Undang-undang sebelumnya adalah adanya desentralisasi pelayanan pekerja migran Indonesia (PMI) atau TKI, dimana pemerintah daerah mulai dari desa – sampai pemerintah provinsi dilibatkan.

Peneliti Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan, selama ini eksploitasi terhadap pekerja migran yang sering terjadi akibat dari adanya monopoli peran para pengambil keuntungan secara brutal dan sewenang-wenang dalam penempatan buruh migran. Akibatnya, buruh migran tidak lebih dari sekedar komoditas yang tidak memiliki sisi manusiawi.

Itu semua terjadi karena UU yang lama (UU 39/2004) terkesan memberi ruang secara legal untuk terjadinya monopoli dan eksploitasi.

Ruang tersebut melalui UU Perlindungan yang baru, dipersempit dengan menghadirkan layanan terpadu satu atap di tingkat propinsi dan kabupaten, bahkan desa. Karena meski era otonomi daerah dan desentralisasi telah berlangsung lama, tetapi dalam hal perlindungan buruh migran masih sangat sentralistik.

Selama ini pemerintah daerah tidak banyak terlibat dan dilibatkan dalam mekanisme perlindungan buruh migran. Hal ini terjadi karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Maka dengan adanya UU 18 Tahun 2017 maka pemerintah daerah harus terlibat dan dilibatkan dalam proses perlindungan pekerja migran.

Namun, sebagus apa pun isi sebuah Undang-undang kalau tidak ada peraturan turunannya maka jadi mandul. Apalagi dalam UU 18 Tahun 2017 sudah secara eksplisit menyebutkan peraturan turunan sebanyak 28 buah. Untuk itu, masyarakat tentu berharap, Menaker Hanif Dhakiri memperhatikan tanggung jawabnya ini. Tuntaskan Pak Menteri ! []

Sumber : Suara Pembaharuan

Advertisement
Advertisement