April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Nama Nur Aini, Berkah Sekaligus Petaka bagi Dwi Murahati

4 min read

BLITAR – Kepada Apakabar Plus, Senin (13/2), Dwi Murahati kembali menceritakan bagaimana kasus koreksi data paspor yang menjeratnya bermula. Ia menyebut, nama Nur Aini yang terpaksa disandangnya secara resmi di paspor kala bekerja di Hong Kong telah memuluskannya menggapai tujuan awal menjadi pekerja migran Indonesia (PMI): menyekolahkan kedua anaknya hingga menjadi sarjana. Namun, gara-gara nama Nur Aini pula dirinya harus mendekam di penjara Hong Kong selama 101 hari.

Dwi juga membeberkan, siapa saja biang keladinya, sehingga ia terpaksa menyandang nama Nur Aini dan kemudian dibui. Berikut ini kisahnya.

“Aku dulu nekat ke Hong Kong dengan tujuan ingin menyekolahkan anak hingga kuliah. Sekarang mereka sudah selesai kuliah dan berhasil bekerja, meskipun tanpa figur ayah. Suamiku meninggal dunia karena kecelakaan bersama anak pertamaku. Aku sendiri koma empat hari di rumah sakit. Saat itu 3 Maret 1995.

Dari PT aku disuruh pakai nama Nuraini. Itu tahun 2003, saat pertama kali mau bekerja ke Hong Kong. Aku dibawa ke kantor imigrasi Srengat (Blitar), lalu disuruh ganti nama. Aku tanya, kenapa harus ganti nama? Katanya, karena aku sudah punya paspor dengan nama asli. Aku pernah ke Malaysia, dengan paspor menggunakan nama asli. Aku tidak mau (menyandang nama palsu Nur Aini), karena merasa tidak beres. Akhirnya, orang imigrasi itu marah. Saat itu aku memilih tidak berangkat daripada harus ganti nama.

Esoknya, aku dipanggil pihak PT. Aku dimarahi habis-habisan. Tapi aku keukeuh pilih pulang daripada harus ganti nama. Orang PT bilang, ‘Kamu boleh pulang, tapi harus bayar jaminan Rp2,5 juta.’ Aku bayar, lalu pulang. Tapi dokumen asliku tidak dikembalikan. KK (Kartu Keluarga), KTP, surat nikah, ijazah SMEA, surat keterangan suami meninggal, dan semua dokumen pribadi dipegang PT.

Dua bulan kemudian, saat nyekar ke makam suami di Blitar, ada PL (petugas lapangan) ke rumah, mengajak ke PT. Dia bilang, ‘Paspormu sudah jadi, majikan juga sudah menunggu.’ Aku bingung. Kan, aku tidak bikin paspor.

Akhirnya, aku ikut ke PT. Karena penasaran, aku nanya soal paspor. Eh, namanya Nur Aini. Aku pun protes. Kata orang PT, ‘Kalau kamu mau kerja dan dapat uang banyak, pakai paspor ini. Kalau tidak mau, Kamu bakalan kena sanksi.’ Aku tanya, sanksi apa? Dia bilang, ‘Harus bayar Rp21 juta untuk mengganti biaya mengurus paspor dan lain-lain.’ Karena bingung, aku minta waktu, dikasih dua minggu, tapi tetap tidak bisa dapatkan uang segitu. Akhirnya, terpaksa dan dipaksa aku pergi ke Hong Kong.

Di agensi Hong Kong, aku minta tolong namaku di paspor diganti, menggunakan nama asli. Aku dimarahi habis-habisan (lagi) oleh orang agensi. Dia bilang, ‘Kamu ini masih baru, jangan macam-macam. Kamu harus pakai data sesuai yang ada sekarang.’

Di Hong Kong, pertama kerja di Sheung Shui. Paspor dibawa agensi atau majikan, aku tidak tahu, enggak pernah lihat pasporku selama 2 tahun. Setelah finish kontrak kerja, aku pindah kerja dan pindah agensi juga.

Waktu itu aku tanya ke teman-teman. Untuk mengganti nama di paspor, ada yang menyarankan minta tolong agensi. Tapi kata agensi tidak bisa. Ada juga yang menyarankan ke KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia). Aku ketemu bu Sendra (almarhumah Sendra Utami, mantan Konsul Tenaga Kerja). Katanya, ‘Ndak bisa, Mbak. Kamu pakai saja data yang dari PT. Nanti, kalau Kamu mau pulang seterusnya, baru ganti.’ Itu tahun 2006. Setelah itu akhirnya aku pasrah, tidak pernah lagi berusaha menggantinya.

Selama itu, setiap renew paspor, selalu diurus agensi. Aku tidak pernah mengisi formulir. Aku tinggal ambil di KJRI, terima beres. Dengan nama Nur Aini sudah berganti paspor tiga kali.

Pada tahun 2015, kan ada peraturan baru dari imigrasi KJRI, untuk renew paspor harus datang sendiri dan mengisi formulir, tidak boleh diwakilkan sipapaun. Gara-gara urus sendiri itu, aku tulis di formulir nama asli. Aku tulis nama Dwi Murahati karena sudah biasa menulis nama itu di mana-mana. Termasuk, nama Facebook. Waktu mau difoto, akhirnya aku ceritakan kisah yang sebenarnya. Aku bilang itu salah tulis, minta dibenarkan menjadi Nur Aini.

Saat itu, pak Andry (Andry Indrady, Konsul Imigrasi) menyarankan, aku pakai nama asli, Dwi Murahati. Kata pak Andry, ‘Ini program pemutihan dokumen dari Pemerintah (RI). Semua yang salah mau dibenerin. Bukan hanya mbak Dwi, tapi semuanya.’ Pak Andry meyakinkan dan menjamin, ‘Tidak bakal ada penjara untuk mbak Dwi.’ Kata pak Andry, sambil tepuk-tepuk pundakku.

Pada 4 Oktober 2015, pasporku jadi dengan nama Dwi Murah Hati. Aku pun ke imigrasi Hong Kong, mau ganti HKID, karena masih menggunakan nama Nur Aini. Dari situlah mulai mumet. Bulan November, aku mulai dipanggil ke kantor imigrasi Hong Kong di Kowloon Bay, diperiksa dan diminta membayar uang jaminan HK$1,000.

Pada tanggal 5 Maret 2016, aku akhirnya menjalani sidang pertama di pengadilan Sha Tin. Saat pemeriksaan dan persidangan, rasanya bagai hidup tapi enggak hidup, mati tapi enggak mati. Setelah tiga kali sidang, aku akhirnya dipenjara. Pada tanggal 3 Juni 2016, aku masuk penjara Lo Wu.

Tapi itu semua masa lalu dan di balik itu semua ada hikmahnya.” [razak]

Advertisement
Advertisement