April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Pengalaman Pernah Bekerja di Luar Negeri, Membuat Yang Bersangkutan Dilirik Perusahaan Nasional

3 min read

JAKARTA – Memiliki pengalaman bekerja di luar negeri, mungkin saat ini bisa jadi nilai tambah. Perusahaan di Indonesia mulai melirik warga Indonesia atau WNI yang pernah atau memiliki pengalaman kerja di luar negeri.

Alasannya tenaga kerja yang pernah bekerja di luar negeri bisa mengatasi permasalahan kekurangan tenaga profesional di dalam negeri.  Hal itu disebut dalam riset yang dikeluarkan oleh Michael Page Indonesia.

“Konglomerat lokal dan perusahaan multinasional di Indonesia bersaing untuk memastikan warga negara Indonesia yang kembali ke negaranya menjadi bagian dari strategi perekrutan mereka pada tahun 2019,” kata Presiden Direktur Michael Page Indonesia, Olly Riches, sebagaimana dilansir dari Warta Kota, Kamis (14/3/2019).

Olly mengatakan, tenaga profesional itu memiliki kombinasi yang unik dari keterampilan industri terbaru, dwibahasa, dan pola pikir global. Dengan kombinasi itu dipercaya oleh pihak pemberi kerja bahwa semua ini akan memajukan bisnis mereka di Indonesia menuju ke level berikutnya.

Dalam 12 bulan terakhir, tiga dari lima tenaga profesional yang direkrut oleh Michael Page merupakan warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Atau, kata Olly, sudah kembali ke Indonesia dengan pengalaman internasional yang mereka peroleh sebelumnya.

Sebanyak 90 persen dari tenaga profesional ini dipekerjakan di posisi manajemen menengah atau level dewan, dan mereka adalah pemegang paspor Indonesia.

“Tekanan untuk melokalkan perencanaan telah menciptakan lebih banyak permintaan atas tenaga kerja professional berbakat yang terbatas di Indonesia,” kata Olly.

Dalam komunikasi, kata Olly, melalui program penjangkauan membangun negeri, warga negara Indonesia yang berada di luar negeri seringkali menunjukkan minatnya untuk kembali ke negara asalnya.

“Mereka menyebutkan alasan dari sisi keluarga, dan perkembangan yang menarik di Indonesia saat ini sebagai motivasi utama bagi mereka,” kata Olly Riches.

Sebagian besar warga negara Indonesia yang kembali tersebut memiliki keterampilan di bidang manufaktur, pemasaran, keuangan, akunting, dan teknologi. Kebanyakan dari mereka kembali ke negara asalnya setelah menetap dan bekerja di Singapura sebanyak 18 persen, Australia (14 persen), dan Amerika Serikat (sembilan persen).

Saat ini, di Indonesia banyak permintaan tenaga kerja yang memiliki keterampilan dalam industri-industri yang berkembang seperti perdagangan elektronik, aplikasi seluler, transformasi digital, dan artificial intelligence atau kecerdasan buatan.

“Sektor-sektor baru ini berkembang pesat di Indonesia, yang meningkatkan permintaan terhadap sumber daya manusia yang baru,” katanya.

Adopsi teknologi kecerdasan buatan

Sementara itu, adopsi teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di Indonesia masih minim. Minimnya adopsi artificial intelligence berdasarkan survei terbaru yang diadakan Microsoft bersama dengan IDC, dalam laporan bertajuk “Future Ready Business: Assessing Asia Pasific’s Growth Potential Through AI”.

Dalam laporan tersebut, hanya 14 persen perusahaan di Indonesia yang telah totalitas mengadopsi kecerdasan buatan. Namun bukan berarti perkembangan artificial intelligence akan stagnan, justru diproyeksikan makin pesat.

Presiden Direktur Microsoft Indonesia, Haris Izmee, mengatakan, dalam tiga tahun mendatang, produktivitas dan inovasi pekerja di Indonesia akan tumbuh sekitar dua kali lipat berkat adopsi artificial intelligence di banyak perusahaan.

“Jika dibandingkan dengan negara kawasan Asia Pasifik dengan nilai 42 persen, Indonesia memiliki nilai perbaikan inovasi sebesar 57 persen di tahun 2021,” kata Haris, baru-baru ini.

Haris mengatakan, sedangkan produktivitas karyawan di tahun yang sama, Indonesia akan memiliki nilai sebesar 46 persen. Jumlah itu, kata Haris, 10 persen lebih tinggi dari nilai negara kawasan Asia Pasifik sebesar 36 persen.

Di era serba artificial intelligence, Haris menyebut ada tiga keterampilan utama yang dibutuhkan Indonesia.

 

Pertama

Adalah soft skill karena soft skill akan lebih banyak dibutuhkan ketimbang keterampilan teknologi, seperti keterampilan teknis atau riset dan pengembangan.

“Maksud kami disini bukan berarti keterampilan teknologi tidak penting. Sama pentingnya, tapi lebih banyak ke soft skill,” kata Haris.

Haris mengatakan, adopsi artificial intelligence tidak semata-mata menyerahkan pada teknologi saja. Akan tetapi masih membutuhkan peran manusia di dalamnya yakni dengan kemampuan softskill. Soft skill pertama yang harus dimiliki adalah kepemimpinan atau leadership dan manajemen.

“People management itu adalah bagian dari sifat manusia untuk mengadopsi artificial intelligence. Jadi itu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan robot,” kata Haris.

 

Kedua

Adalah kreativitas dan inisiatif. Ini dibutuhkan untuk beradaptasi dengan lanskap bisnis di masa yang akan datang. Bagaimana para pelaku bisnis mengupayakan ekspansi bisnisnya lebih luas.

 

Ketiga

Adalah eterampilan yang disebutkan Haris adalah keterampilan analisis kuantitatif, untuk membaca segala informasi yang dibutuhkan secara strategis. Haris mengatakan, keterampilan yang paling banyak dicari ke depan adalah mereka yang mampu terus menerus belajar dan beradaptasi di berbagai kondisi pasar.

Keterampilan-keterampilan ini akan menggeser keterampilan manual lama yang dulu banyak dibutuhkan. Misalnya kemampuan mekanis, memasukan dan memproses data, literasi, dan berhitung. []

Advertisement
Advertisement