April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

“Perang” Komentar di Media Sosial

6 min read

Ada yang terpelatuq.”

Siang itu sebuah akun yang sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar pengguna media sosial Twitter, @infotwitwor, mencuitkan hal tersebut. Tidak lupa bersama kiriman tersebut disertakannya beberapa unggahan cuplikan layar (screen capture) yang berisi perdebatan sengit antarwarganet terkait kodrat perempuan sebagai seorang ibu.

Perdebatan itu diawali dengan kiriman seorang perempuan yang mengemukakan preferensinya untuk tidak memiliki anak. Kiriman status tersebut ditanggapi dengan nada kontra oleh salah satu akun dengan mengatakan bahwa menjadi ibu merupakan kodrat, dan menolak hal tersebut menjadikannya egois. Balasan tersebut kemudian dibalas lagi oleh akun lain yang lebih membela si perempuan, dan kemudian dibalas lagi dengan komentar lainnya, hingga akhirnya perdebatan terjadi dengan melibatkan banyak akun yang terbagi ke dalam dua kubu sentimen pendapat.

Perseteruan tak habis sampai di situ. Karena screen capture terkait diunggah kembali oleh akun @infotwitwor, warganet lain yang awalnya belum menyadari perdebatan tersebut pun mulai meluncurkan komentar sesuai pandangan masing-masing. Perseteruan lahir lagi di arena baru, dengan ataupun tanpa melibatkan aktor aslinya.

 

Hasrat Berpartisipasi

Perdebatan seperti yang diceritakan sebelumnya memang merupakan konten yang rutin diunggah oleh akun terkait. Di setiap kirimannya, akun ini selalu memberikan kasus terbaru di mana perdebatan panas terjadi di ranah media sosial Twitter. Lucunya, akun ini seakan tidak pernah sepi unggahan, ada saja perseteruan yang diunggahnya hampir setiap hari. Hal yang berarti ironi juga karena berarti ada saja perang komentar yang terjadi – meskipun hanya di dunia maya, yang juga berarti masyarakat, setidaknya di internet, masih sangat suka mengomentari berbagai hal dan terlibat perdebatan yang ada. Kondisi ini agaknya masih berhubungan dengan hasil temuan MarkPlus Insight (2015) yang menyatakan bahwa sebagian besar warganet Indonesia masih menunjukkan perilaku tidak produktif di dunia maya.

Media sosial merupakan ranah yang sangat rawan untuk saling memberikan komentar terhadap suatu pendapat, pro maupun kontra. Lalu, apa yang sebenarnya memaksa para warganet ini untuk terus berkomentar, bahkan terkadang untuk hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan dirinya?

Memotret fenomena seringnya para warganet berseteru di ranah maya dalam berbagai topik pembahasan, sebenarnya @infotwitwor bukanlah satu-satunya. Pengguna media sosial pastinya sudah akrab dengan akun Lambe Turah. Yap, akun ini laris manis karena kerap memberikan ‘kode-kode’ kejadian menghebohkan yang melibatkan selebritas nasional, atau sederhananya menginvestigasi pergunjingan di kalangan figur publik. Namun bukan unggahan dari Lambe Turah yang menjadi fokus di sini, melainkan justru bagaimana warganet menanggapinya di kolom komentar. Dengan adanya bahan yang ‘dilempar’, perang komentar pun tak terhindarkan. Ada yang membela dan menyangkal ‘tuduhan’ yang ditebar oleh sang akun gosip, namun tak sedikit pula yang mengiyakan, percaya, bahkan menambah-nambahkan dengan berbagai ‘bumbu’.

Melalui studinya, Nunung Prajatno (2018), mengamati perilaku warganet pada akun Lambe Turah, terutama mereka yang meluangkan waktu untuk memberikan komentar di unggahan-unggahan akun ini. Nunung mengungkapkan, salah satu hal yang menjadi daya tarik warganet dalam mengakses Lambe Turah adalah interaktivitas yang menjadi nilai tambah media sosial. Melalui media konvensional cetak maupun televisi, meskipun mungkin juga memiliki tayangan berita selebritas, informasi yang ada hanya berjalan searah, dari medium ke audiens. Masyarakat hanya dapat menonton tanpa ada yang dapat mendengarkannya menanggapi berita tersebut bila diinginkan.

Berbeda halnya dengan media sosial. Di medium ini, pengguna dengan mudah dapat melakukan komentar dalam suatu unggahan akun lain. Percakapan dapat terjadi secara simultan dan dalam konteks waktu yang sesungguhnya (Prajarto 2018). Interaktivitas antarpengguna menjadikan warganet bukan sekadar penonton, tetapi juga penentu arah diskusi berkaitan dengan unggahan akun tertentu, seperti yang terjadi pada kolom komentar Lambe Turah. Hal inilah yang menjadi pemicu bagi warganet untuk melakukan komentar terhadap suatu isu.

Dengan berinteraksi di kolom komentar, misalnya, seseorang merasa telah berpartisipasi dalam menanggapi suatu isu, yang membuat si warganet diberikan ruang untuk berekspresi. Warganet merasa dilibatkan dalam isu-isu yang sedang terjadi, yang kemudian mengakibatkan lebih kuatnya sense of belonging mereka terhadap isu tersebut bila dibandingkan dengan apabila hanya menonton televisi ataupun membaca di media cetak.

Dalam kasus Lambe Turah, partisipasi warganet yang cenderung bersifat aktif menyebabkan terjadinya perang komentar di antara mereka sendiri. Pemegang akun Lambe Turah sendiri membiarkan saja perdebatan terjadi tanpa menengahi dan mengarahkan ke mana diskusi akan berkembang. Dengan kata lain, wacana seperti apa yang akan berkembang di kemudian hari dengan berlanjutnya perdebatan dan pergunjingan di kolom komentar akan sangat bergantung pada sifat warganet yang melihat unggahan terkait; apakah akan mengabaikan atau turut mengetik komentar. Nyatanya setiap unggahan akun ini selalu dibanjiri ratusan, bahkan ribuan komentar. Jadi, bisa diperkirakan bagaimana sifat netizen kita.

 

Tindakan Kolektif dan Pengkubuan

Yang juga tidak kalah menarik dari kebiasaan warganet untuk selalu mengomentari setiap unggahan akun lain adalah bagaimana selanjutnya perang komentar bisa terjadi. Dalam setiap isu yang ramai diperbincangkan di berbagai media sosial, pada ‘komentator’ biasanya terbagi ke dalam, minimal, dua kubu; pro dan kontra, dan kadang beberapa mencoba berperan sebagai penengah. Kelompok yang pro terhadap suatu isu akan beramai-ramai ‘menghajar’ pendapat mereka yang kontra. Sebaliknya, tindakan sama juga dilakukan oleh pihak kontra yang secara kolektif menyerang pihak pro dengan berbagai kiriman maupun unggahan. Semua dilakukan seolah seragam dengan kelompok yang dibelanya.

Dalam sebuah jurnal di bidang psikologi yang berjudul Perilaku Pengguna Media Sosial beserta Implikasinya, Mulawarman dan Nurfitri (2017) menyampaikan beberapa konsep yang dapat menjelaskan perilaku kolektif di dunia maya seperti yang terjadi kini. Salah satunya adalah menurut Smelser (dalam Krahe, 2005) di mana perilaku kolektif ditentukan beberapa faktor, di antaranya: (1) structural conduciveness, yaitu struktur sosial yang membuat perilaku kolektif semakin potensial terjadi, misalnya beragamnya suku, agama, ataupun ras dalam suatu wilayah; (2) structural strain, yaitu kesenjangan atau ketidakserasian di antara kelompok-kelompok yang ada, yang memungkinkan terjadinya ketegangan dan memberi batas antarkelompok; (3) general belief, yaitu desas-desus yang mudah dipercaya dan kemudian disebarluaskan; (4) precipitating factor, yaitu hal yang mendukung kecurigaan masyarakat; serta (5) mobilisasi para peserta, yaitu wujud perilaku kolektif yang diarahkan oleh pimpinan kelompok, misalnya untuk menjauhi situasi berbahaya ataupun mendekati orang yang dijadikan sasaran tindakan.

Menurut Krahe (2005) lagi, terlibatnya seseorang sebagai anggota suatu kelompok akan meningkatkan efektivitas aksinya secara individual. Di dalam kelompok tersebut, individu akan cenderung menyesuaikan perilakunya dengan norma yang berlaku ada kelompok. Inilah penyebab keseragaman pendapat dalam suatu kubu akan serta-merta tercipta jika seseorang telah mengategorikan diri dan pandangannya masuk ke dalam kelompok tertentu.

Saat terpisah atau tidak dalam konteks isu tertentu yang mengharuskan berkelompok, mungkin perilaku mereka akan berbeda. Tetapi ketika individu tersebut berada dalam satu barisan massa, tanpa peduli pekerjaan maupun intelegensi, maupun atribut lainnya, ia akan bereaksi sesuai pemikiran kelompok (LeBon dalam Mulawarman dan Nurfitri 2017). Dalam kelompok terjadi efek tular yang menyebarkan emosi maupun perilaku dari satu kepala ke kepala lain. Pada akhirnya individu-individu dalam kelompok pun melakukan respons yang seragam.

Mulawarman dan Nurfitri juga menjelaskan bagaimana proses milling mengawali terbentuknya pemikiran kolektif (collective/group mind) di media sosial. Pada proses milling individu-individu  pengguna media sosial memperlihatkan reaksi yang mencerminkan peningkatan emosi, seperti tegang, gelisah, hingga bersemangat. Emosi yang meningkat ini mengakibatkan terjadinya timbal balik stimulasi, sehingga mereka lebih berpotensi untuk melakukan tindakan impulsif di bawah pengaruh impuls bersama (Mulawarman dan Nurfitri 2017).

Lebih lanjut, apabila intensitas proses milling mengalami peningkatan, bukan tidak mungkin jika penularan sosial yang melibatkan impuls berupa kata hati yang cepat, bahkan terkadang irasional, hadir sebagai dampaknya. Akibatnya, para pengguna media sosial menjadi aktif berperilaku kolektif, baik mengemukakan pendapat ataupun dengan cara lainnya, meskipun berasa dalam dunia daring. Semangat berperilaku bersama dalam kelompok pengguna tersebut bisa melibatkan proses reaksi sirkular. Artinya, apabila seseorang merasa gelisah, misalnya, emosi dan perilaku itu bakal menjadi model yang memengaruhi individu lain dalam kelompok. Dengan saling menstimulasi tersebut menciptakan spiral perasaan dan tindakan sirkular.

Dengan memahami berbagai faktor psikologis dan kelebihan media sosial yang memungkinkan perdebatan di dunia maya, menjadi semakin terlihat mengapa berbagai konten di internet dipenuhi komentar-komentar yang tak selamanya tepat dan penting. Namun hal tersebut tidak dapat serta-merta menjadi alasan seseorang untuk berperilaku sesuka hati di media sosial, misalnya terlibat perdebatan yang sampai merugikan warga internet lainnya. Tanggung jawab dan etika tetap menjadi hal yang utama. [Novelia]

Advertisement
Advertisement