April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Potret McRefugees di Ratusan Gerai McDonald’s Hong Kong

2 min read

HONG KONG – Dalam waktu lima tahun terakhir tercatat kenaikan enam kali lipat warga yang menginap di gerai-gerai 24 jam McDonald’s di Hongkong.  Sebuah studi yang digelar organisasi nonprofit Juniro Chamber International (JCI) Tai Ping Sang, mencatat 334 orang tidur sepanjang malam di gerai McDonald’s sepanjang Juni hingga Juli lalu.

Angka ini melonjak cukup drastis dibanding periode sama pada 2013 yang mencatat hanya 57 orang yang menginap di gerai-gerai McDonald’s.

“Tujuan riset ini awalnya adalah untuk menyediakan layanan bagi mereka yang ingin menginap, tetapi kami tidak menemukan gambaran spesifik soal kondisi McRefugee di Hongkong,” kata Jennifer Hung, pemimpin studi ini.

“Pemerintah menyebut tidak ada statistik sehingga kami membuat studi,” tambah Jennifer.

McRefugee adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang gemar menginap di gerai-gerai McDonald’s. Untuk menjalankan studi ini, para peneliti mengunjungi 110 gerai 24 jam McDonald’s.

Dari hasil penelitian mereka menemukan tak semua orang yang tidur di gerai itu adalah para tunawisma. Lebih dari 70 responden yang diwawancarai mengaku punya tempat lain untuk tidur dan sebagian besar dari mereka memiliki pekerjaan tetap atau paruh waktu.

Temuan ini sekaligus membantah keyakinan selam ini bahwa para McRefugee ini adalah para tunawisma.

“Mereka memiliki tempat untuk bermalam, tetapi mereka memilih untuk tidak pulang,” ujar Jennifer.

Seperti aji mumpung, salah satu sebabnya adalah sebagian besar McRefugee itu menghadapi tantangan sosial ekonomi seperti mahalnya sewa apartemen atau mahalnya biaya listrik. Jennifer mengambil contoh seseorang yang tak mampu membayar tagihan alat pengatur suhu (AC) sementara apartemennya tak memiliki jendela untuk pergantian udara.

Sehingga, dia memutuskan untuk tidur di gerai McDonald’s di musim panas daripada membaya 2 dolar untuk setiap unit AC yang digunakannya.

“Selain itu, makanan murah, wifi gratis, dan adanya fasilitas kamar mandi menjadi pertimbangan lain,” tambah Jennifer.

Hongkong dikenal sebagai salah satu kota di dunia dengan harga perumahan yang paling mahal, berdasarkan studi yang digelar Demographia pada 2017. Faktor lain adalah masalah keluarga atau konflik personal.

Seorang pekerja bangunan lebih memilih tidur di McDonald’s karena tak memiliki hubungan baik dengan orangtuanya. Sementara seorang perempuan 55 tahun memilih tidur di McDonald’s karena menghindari suaminya yang gemar main tangan. Beberapa bahkan hanya sekadar tak ingin berada di rumah meski tak memiliki masalah apapun.

Seorang perempuan tua tanpa anak merasa amat kesepian di rumah setelah suaminya meninggal dunia. Sehingga dia memilih berada di McDonald’s karena suasananya ramai.

“Kami menemukan orang yang tidur di McDonald’s bukan hanya yang miskin secara finansial tetapi juga miskin secara jiwa,” Jennifer melanjutkan.

Berdasarkan hasil studi ini JCI merekomendasikan sejumlah saran kepada pemerintah Hongkong. Salah satunya adalah menyediakan lebih banyak sumber untuk organisasi kesejahteraan warga dan pekerja sosial. Selain itu, pemerintah juga harus memperbarui statistik McRefugee ini untuk mengetahui tren di masa depan.

Hal yang lebih penting lagi, tambah Jennifer, sebuah perubahan dalam sikap sosial amat diperlukan.

“Di masa kini, kita tidak mau berbicara dengan orang asing, kita tak peduli dengan orang yang ada di samping kita,” kata Jennifer.

“Kami ingin mendorang warga agar lebih peduli terhadap orang-orang di sekitar kita,” pungkasnya. [SCMP]

 

Advertisement
Advertisement