April 18, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Ramadhan Tanpa Bunda

4 min read

Dulu, setahun yang lalu, datangnya bulan Ramadhan adalah saat yang sangat kutunggu. Tetapi untuk tahun ini, justru sebaliknya. Aku takut, karena keadaan telah berubah. Setahun yang lalu, di rumah ini masih lengkap. Ada Ayah, ada Bunda, serta kebahagiaan. Tapi sekarang?

Tinggallah aku sebatang kara.

Dan setelah Ayah menemukan pengganti Bunda, aku lebih memilih hidup nebeng di rumah nenek. Semenjak itu pulalah, Ayah bukanlah ayahku. Dia hanya mantan ayahku.

”Mana ada mantan Ayah? Kalau mantan pacar sih banyak.”

”Ayah kok dimantanin, kagak takut kuwalat apa?”

”Di dunia ini yang ada hanya mantan pasangan, nak… Kalau mantan Ayah itu tidak ada. Pun, tidak akan pernah ada.”

Demikianlah rentetan khotbah orang-orang sekitar. Termasuk keluarga besar Ayah, juga Bunda, tiap kali mendengar aku memberi gelar mantan pada Ayah.

”Mereka hanya penonton, tahu apa tentang hidupku?!”

Toh, pada kenyataannya, Ayah sudah lupa denganku. Bahkan dengan tanggung jawabnya pun, beliau abai. Karena Ayah-lah, Bunda harus banting tulang ke negeri orang. Karena Ayah juga aku harus jauh dengan Bunda. Semua karena Ayah!

”Ayah jahat!” Gerutu hati yang semakin menambah sesak dadaku.

***

Bundaku adalah perempuan yang sabar. Sampai sebesar ini, belum sekali pun beliau membentakku. Jangankan membentak, bicara bernada tinggi saja tidak pernah. Hobinya memasak dan merapikan rumah. Dapur ini, dulu seperti restoran. Ingin makan menu apa pun, tinggal bilang dan pasti dengan rasa memuaskan.

Tempat tidurku bak ranjang hotel, selalu rapi dan wangi. Rumah ini persis istana, penuh bunga dan bersih. Gerombolan kupu-kupu pun jadi betah berlama-lama di taman mungil ini.

Tak ketinggalan si lebah. Ikut nimbrung juga, menghisapi madu kembang.

Hanya si lalat yang jarang nongol, mungkin tempat ini kurang tepat bagi mereka. ”Aku rindu saat itu, Bun. Pulanglah… Aku tak sanggup berlama-lama dengan keadaan seperti ini.” Air di mataku pun pecah. Membasahi sekujur pipi merahku.

Tak berselang lama, android dalam sakuku bergetar. ”Bunda!” teriakku dari ujung ponsel.

Lalu, kulanjutkan dengan cerita panjang-panjang yang tanpa jeda. Sungguh, Bunda tak pernah jauh dariku. Beliau selalu tahu apa yang sedang kurasakan.

Dan, kabar kali ini membuatku bahagia. Bunda akan mengambil cuti, menemaniku menyambut bulan nan suci ini. Isak tangis yang tadinya berjubal di dada seperti lenyap, dihisap kabar rencana kepulangan Bunda.

Rindu yang menggunung ini akan segera lengser oleh hadirnya sang Bunda.

***

Hari-hariku jadi begitu cepat berlalu. Khayalan indah bersama Bunda nanti, telah tertata rapi di dalam tempurung kepalaku. Tak jarang senyum kecil itu hinggap di bibirku tanpa sebab yang jelas.

Ramadhan tahun ini tak seburuk mimpi kemarin. Walau tanpa Ayah. Dan Ayah tetap mantan Ayah. Aku sudah tidak mengharapkan beliau kembali di rumah ini. Bunda adalah ibu dan ayahku. Bunda juga mampu menjadi sahabatku. Dan Bunda adalah si wonder woman kebanggaanku.

Setelah malam yang hitam dijemput sang fajar dari ufuk timur, akhirnya pagi pun hadir menanti siang. Dan, entah angin mana yang mengabarkan pada mantan ayahku, sampai beliau mengerti akan berita kepulangan Bunda dalam waktu dekat ini.

Mataku yang masih terbungkus kantuk, belum percaya melihatnya pulang.

Pria yang dulu tinggi besar, sekarang menjadi kurus kerempeng dan tak terurus. Mata elangnya sekarang berubah jadi mata panda. Tanpa kupertanyakan kabarnya, Ayah sudah mendongengkan kisah sedihnya dari A sampai Z.

Wanita pengganti Bunda ternyata seorang pelakor, perebut laki orang. Tak hanya itu, Ayah juga telah diusir dari rumahnya. Karena si pelakor sudah bosan dengan tampang pengangguran seperti ayahku.

Niat diri ingin membentaknya, tapi apalah daya, hati ini telah luluh oleh dongeng pedihnya. Walau bagaimana pun, dia adalah ayahku. Tanpa beliau tidak akan pernah ada nama aku di sini.

***

Tidak ada yang tidak mungkin jika sudah jadi kehendak-Nya. Termasuk pesan singkat dari nomor yang tak kukenal ini. Dia mengatakan, Bunda akan pulang secepatnya. Tapi dalam keadaan sudah tak bernyawa. Kemarin, beliau nekat meloncat dari ketinggian lantai 58. Sebab-sebabnya masih belum jelas. Tubuhku lunglai seketika, dan ambruk terbentur pinggiran tembok.

Beberapa menit kemudian, bunyi ponsel mengagetkanku. Aku tergeragap. Jantungku naik turun semaunya. Ternyata ini semua hanya bunga tidur. Bunda barusan yang meneleponku. Sambil mengembalikan cuilan-cuilan nyawaku yang masih berserakan, kuatur napas semampuku.

Lalu kuceritakan pada Bunda, tentang mimpi burukku barusan. Dan ia pun, bercerita balik tentang yang sesungguhnya terjadi. Bahwasanya, majikan Bunda yang laki-laki baru saja meninggal dunia. Itu berarti, kepulangan Bunda akan tertunda. Bisa jadi Lebaran atau setelahnya.

Debaran di dadaku belum juga stabil. Mimpi buruk tadi masih menghantuiku. Untunglah Ayah sudah pulang. Jadi, untuk sementara aku tidak seperti angka satu di bulan yang penuh berkah ini. Walau hatiku masih belum bisa menerima utuh atas kepulangan Ayah ke rumah ini.

***

Pukul 02:30 dini hari, beker di sampingku menggunggahku dengan nada yang sangat tinggi. Mataku yang masih kriyipan kupaksa untuk mencari letak sendal di kolong ranjang.

Sambil sempoyongan, kakiku tetap melangkah menuju kamar mandi. Dan aku masih tak percaya, ada aroma khas masakan Bunda dari dapur. Makin kuenduskan lubang hidungku ke arah sumber aroma.

”Bundaaa…!” Kutubruk Bunda sembari meminta maaf, karena belum sempat bercerita bahwa mantan ayahku telah pulang.

”Kenapa harus minta maaf sayang?”

”Memangnya Bunda mau memaafkan Ayah?”

”Tidak. Bunda tidak akan memaafkan Ayah, jika hanya demi diri Bunda. Tapi demi kebahagiaanmu, semua akan Bunda lakukan, Nak.”

Kupeluk erat Bunda, dan kupaksa Bunda untuk berjanji agar tidak jauh dari kami lagi.

Hong Kong, 8-9/05/18

Cerpen: Aliq Nurmawati

Advertisement
Advertisement