April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Rela Tinggalkan Bangku ITB, Demi Menghidupi 9 Adiknya Usai Kedua Ortunya Meninggal Dunia

3 min read

POLMAN – Usianya masih muda, 22 tahun, dimana pada usia tersebut, lazimnya bagi seorang mahasiswa merupakan masa dimana idealisme dan intelektualitas tumbuh mengurat mengakar menatap masa depan ideal. Namun tidak demikian yang dialami oleh Izhak, pemuda asal Aribang, Desa Pasiang, Kecamatan Matakali, Kabupaten Polman, Sulawesi Barat ini rela meninggalkan kuliahnya demi menghidupi sembilan adiknya.

Tidak tangung-tanggung, bangku kuliah yang dia tinggalkan merupakan bangku kuliah di perguruan tinggi negeri yang di Indonesia termasuk nomor wahid, Intitut Teknologi Bandung (ITB). Bahkan, jalur masuknya ke ITB dulu, Ishak menggunakan jalur spesial karena prestasi akademik dan kecerdasannya yang cemerlang saat di bangku SLTA.

Kabar mengenai Izhak yang berani mengambil langkah pasti, meningggalkan bangku ITB demi menghidupi 9 adiknya kali pertama tersebar melalui akun facebook Andi Syura Muhlis, seorang relawan Dompet Duafa yang berada di wilayah Polman Sulawesi Barat.

Kedatangan Andi Syura ke kediaman Izhak bersama 9 adiknya di pedalaman Polman, menjadi perhatian ribuan warganet lantaran kondisi dan cerita yang inspiratif sekaligus memilukan, muncul dari perjalanan Andi Syura ke kediaman 10 orang bersaudara ini.

Dalam penuturannya, awal mula Izhak terpaksa memutuskan berhenti kuliah. Kala itu, ia harus pulang ke Polman saat mendapatkan kabar bahwa ibunya, Samiah, terbaring sakit. Ia pun memutuskan pulang untuk merawat orang tuanya itu. Namun, Tuhan menakdirkan berbeda. Ibunya meninggal pada 13 Februari 2017, karena penyakit tumor yang dideritanya. Tak sampai di situ, ayah Izhak, Ilyas, juga berpulang pada 22 November 2017 lalu.

Kini setelah ditinggal kedua orang tuanya, sebagai anak sulung, Izhak-lah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Akan tetapi, untuk mencari nafkah, Izhak terbatas. Adik bungsunya, Muh Khaerul, baru berumur satu tahun tujuh bulan. Izhak-lah yang menjaga adiknya itu.

Ditambah lagi, harus mengurusi tujuh adiknya masih sekolah. Untungnya ada adik keduanya, Aslan (19). Lewat Aslan, kebutuhan sehari-hari dari hasil menyadap enau untuk membuat gula merah menjadi tumpuan hidupnya.

Izhak mengatakan kisahnya boleh saja ditulis. Saat dikonfirmasi, Izhak membetulkan penulisan namanya bukan Ishak, tapi Muh Izhak.

“Boleh saja. Tapi jangan ditambah-tambah, kalau saya tidak terima bantuan pemerintah. Soalnya saya tetap terima bantuan dari pemerintah, ada Program Keluarga Harapan (PHK). Adik-adik saya sekolah juga terima dari program pemerintah Kartu Indonesia Pintar (KIP),” ujarnya.

Izhak menambahkan, dia memang menerima beasiswa bidik misi tahun 2013. Mengambil studi di Teknik Kimia IPB. Namun, kandas di tengah jalan karena tanggung jawab.

“Saya sudah mundur, hampir dua tahun lalu, pada 2016 lalu,” jelasnya.

Alumnus SMAN 3 Polewali ini menyebutkan, untuk sehari-harinya harus mengandalkan penghasilan dari gula merah yang dikerjakan adik keduanya, Aslan.

“Aslan putus sekolah, semenjak kelas 4 SD. Sekarang usianya 18-19 tahun. Dan untuk penghasilan dari gula merah itu cukup,” paparnya.

Untuk adiknya yang lain, semuanya masih sekolah. Ia juga masih memikirkan untuk mencari pekerjaan tambahan. Ia masih punya beban membiayai tujuh adik-adiknya.

“Ada yang kuliah satu orang di STAIN Parepare. Dan lainnya ada yang duduk di TK, SD, MTs,” ungkap pria kelahiran 1995 ini.

Izhak juga berharap, kelak bisa kembali melanjutkan kuliah. Hanya saja, harus ada yang menjaga adiknya yang bungsu.

“Kalau adik saya ada yang jaga, maka saya lanjutkan kuliah. Tapi itu nanti kita lihat. Yah, palingan kuliah di universitas swasta di Polman. Saat ini masih pertimbangan,” paparnya.

Saat ini muncul gerakan donasi di kitabisa.com, “usaha ternak penggemukan kambing untuk Ishak”. [Asa/JP]

Advertisement
Advertisement