April 25, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

SAHABATKU BERMUKA DUA

4 min read

Aku selalu menganggap semua teman di rantau sebagai sahabat. Mereka sama-sama dari desa, dari Indonesia. Bersama-sama menjalani rutinitas kerja yang jauh dari keluarga. Ya, meski pada akhirnya aku mendapatkan sahabat bermuka dua yang sempat mati-matian aku bela. Sahabat lain sudah mengingatkan, namun aku tak mempercayainya. Itu dilihat dari caranya membuatku percaya, takjub dan terkesan.

Sebut saja namanya Suci Permata Sari, tapi namanya tidak sesuci lelakunya. Hatinya pun tidak seperti permata. Ah, sudahlah. Yang berlalu biarlah berlalu. Toh, masa lalu tidak akan terulang di episode masa depan saat kita tidak ingin membukanya. Namun, aku tidak rela kalau sahabatku yang lain termakan wajah eh, muka duanya itu.

Di depanku dia bilang aku cantik, perhatian dan pandai. Eh, di belakangku dia bilang aku egois, mata duitan dan oon. Itu sih gak papa, Temans. Yang ngeri ketika dia bertemu dengan majikanku, em, kebetulan kami tetangga satu blok. Tanpa rasa bersalah, dia mengatakan kalau aku di hari libur berpacaran hingga menyewa kamar. Dan, saat kami bertemu, dia berdalih majikanku menanyakan hal tersebut kepadanya yang notabene kita sohiban dekat. Tuh, kan!

”Kata Suci kamu berpacaran, ya? Sampai menyewa kamar segala. Ya sudah liburmu aku ganti hari Rabu. Jangan membantah!” Nyonya memberi perintah setelah mendapat pengaduan dari Suci. Aku hanya bisa menggerutu dalam diam.

”Baik, Nyonya.” Akhirnya hanya kata itu yang terucap.

Aku menjalani libur hari Rabu sudah hampir enam bulan. Suci pun tidak pernah menghubungiku. Saat belanja atau jemput anak asuh, juga tidak aku temui. Entahlah, mungkin dia sedang menghindar dariku. Ya, ya… Dia masih punya utang padaku sich. Meski tidak banyak, kalau dirupiahkan bisa menjadi satu juta lebih, lo! Lupakan sejenak tentang uang dan utang, seandainya dia punya niatan baik untuk membayar insyaAllah dibayar koq.

Kalau merusak hari liburku masih bisa ditolerir, lain lagi kalau nama baikku dirusak pula. Sudah buruk di mata majikan, buruk pula di hadapan teman-teman sekompleks. Oh, tidaak! Aku bersyukur tidak semua sahabat percaya perkataan Suci. Ada Rani yang baik hati memberikan solusi. Dia tahu kebiasaanku dari awal kontrak hingga sekarang.

”Anggap saja pengurang dosa-dosamu, Mi. Aku yakin lambat laun kebenaran pasti terungkap. Sabar saja. Jangan lupa banyakin sedekah dan membaca AlQur’an sesudah shalat, dua halaman per hari itu bagus, lo! Apalagi di-istiqomah-kan, ehem, keren itu. Yang lain gak akan penting lagi, hati makin tenang. Pikiran pun steril dari berburuk sangka, yakin dech.” Kata-kata Rani tegas dan enak didengar, sepertinya akan enak juga untuk diamalkan. Bismillah, istiqomah

”Tumben pakai kerudung, Mi. Buat nutupin kelakuanmu yang melampaui batas itu, ya.” Sapa Ais, teman sebelah blok, yang baru pulang dari berbelanja.

”Maksudnya apa, Ai? Aku pakai kerudung kan mau belajar ngaji di masjid. Toh, hari Rabu tidak ada sahabat yang liburan. Hanya di masjid aku mendapat teman baru yang sama-sama libur hari biasa, Rabu. Apakah ngaji itu melampaui batas?” tanyaku dengan berusaha tegar.

Ngaji ya tidak melampaui bataslah, Mi. Semua orang juga tahu. Yang keterlaluan itu kamu habis berpacaran, bermesraan dan bercumbu dengan pria yang bukan muhrim, lalu berdalih pergi ngaji dan shalat. Aneh, kan?” jawab Ais santai. Wajahku sudah panas.

”Kamu bilang begitu, apa ada buktinya, Ai? Siapa pula yang bilang kalau Mianda itu berpacaran? Aku sich yakin, dia tidak berbuat liar di luaran sana. Karena dia adalah adik, sahabat, dan guru kehidupanku selama di rantau. Tanpa dia aku pasti sudah dipecat. Tanpa dia, ibuku pasti tidak berhasil dioperasi, dan tanpa dia gak mungkin aku jago masak Chinese. Kamu kalau mau menjelekkan orang lain, carilah minimal sepuluh atau seratus kebaikannya, oke?! Tiba-tiba Rani muncul dengan suara lantang. Dia pun habis belanja.

Aku menangis haru mendengar pembelaannya. ”Terima kasih, Ra… atas kepercayaan dan kasih sayangmu yang tulus kepadaku. Semoga persahabatan kita makin erat dengan ridha-Nya. Aamiin.”

Kami berpelukan. Ais pergi tanpa pamit. Aku tak peduli lagi. Yang penting ada Rani yang percaya dan sayang padaku, itu sudah cukup. Terima kasih, Tuhan. Atas nikmat bersahabat dengan Rani yang tulus.

Sahabat-sahabat bermuka dua itu sudah tidak lagi mengganggu hingga kontrakku berakhir. Nyonya seolah merasa bersalah karena sudah menuduhku tanpa bukti akurat. Ya, aku memilih pindah kerja. Menjauh dari mereka dan berharap menemukan sahabat baik di tempat yang baru nanti. Bagiku, selagi selalu berbuat baik, insyaAllah kebaikan akan mengikuti. Selagi bersahabat dengan tulus nan ikhlas, insyaAllah akan makin banyak sahabat yang sayang pada kita.

”Hei… Kamu kan Suci? Apa yang kamu lakukan di semak-semak?” teriak Ais dan Rani serempak. Muka Suci memerah, bajunya terserak di atas rerumputan. Kami hanya saling pandang. Taman Kowloon mendadak pengap dengan pemandangan semlohai itu.

”Oh, jadi kamu yang berpacaran dan bermesraan dengan pria yang bukan muhrim, eh pria hidung belang dink!” Ais berkata lantang. Aku, di tempat baru ini, kembali mendapat hari libur Minggu dan tanggal merah. Sekalinya libur, alam memperlihatkan film kehidupan yang tidak ingin aku tonton dan menunjukkan tabiat sesungguhnya seorang Suci, sahabat yang pernah dekat di hati.

”Ya, ya… Aku minta maaf. Sudahlah jangan urusi aku, pergi sana!” jawabnya sambil mengibaskan tangan. Pria itu seolah tidak peduli dengan sekitarnya, terus saja melahap mangsanya dan berusaha melepas kacamata berukuran 38 C itu. Ya ampuuun… Kami pergi tanpa menoleh lagi. Semoga saja pria itu sudi menikahi Suci yang sudah tidak suci lagi.

”Maafkan aku ya, Mi. Sudah salah paham, salah sangka. Aku janji, akan mempercayai hal-hal yang masuk akal dan tidak mudah terbawa adu domba.” Ais memelukku. Aih, domba saja tidak mau diadu. Kenapa pula sesama manusia saling mengadu domba? Enggak mbois, euy…!

[Dikisahkan Mianda kepada Anna Ilham – Apakabar Plus]

Advertisement
Advertisement