April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Sulitnya Mengurus Klaim Asuransi Penerbangan

10 min read

JAKARTA – Peristiwa jatuhnya Lion Air bernomor JT-610 rute Jakarta–Pangkal Pinang di Perairan Karawang, Jawa Barat, pada 14 Oktober 2018 menyisakan cerita miris. Ahli waris korban pesawat jatuh harus menempuh jalan berliku untuk mendapatkan haknya mendapatkan uang asuransi, baik dari maskapai maupun perusahaan asuransi.

Dokumen yang kelewat banyak, hingga proses berbelit kerap jadi keluhan dalam sembilan kecelakaan yang terjadi selama satu dekade terakhir.

Keluarga korban pesawat jatuh itu harus mengadu ke Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (21/1) setelah menemukan jalan buntu. Di ruangan pimpinan DPR itu, mereka mengeluh karena kewajiban maskapai dan pemerintah sama sekali belum dilakukan. Meski ujungnya uang asuransi itu bisa cair.

Aprillia Supaliyanto, kuasa hukum keluarga korban menyebutkan masalah uang asuransi yang dinilai tidak adil. Bukan hanya itu, maskapai Lion Air menetapkan uang kompensasi yang sesungguhya kewajiban dalam Undang-Undang sebagai asuransi itu dengan embel-embel syarat. Keluarga korban atau ahli waris yang akan menerima uang, diminta menandatangani surat pernyataan tidak akan menuntut maskapai di kemudian hari.

Jauh sebelum mengadu ke Senayan, pengacara kondang Hotman Paris yang juga kuasa hukum sejumlah keluarga ahli waris sempat melayangkan imbauan kepada PT Lion Mentari Airline (Lion Air) dan Direktur Utama Lion Air Edward Sirait. Ia meminta Lion Air segara membayar ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar kepada ahli waris tanpa ada surat tambahan.

Lion Air memang sempat mensyaratkan keluarga korban untuk menandatangani pernyataan tidak akan menuntut ganti rugi yang sudah diberikan. Padahal menurut Hotman, kalau suatu hari terbukti kecelakaan terjadi karena kesalahan maskapai, ada ganti rugi lain yang perlu diberikan sebagaimana tercantum dalam peraturan perundangan.

Sekelumit pencairan asuransi yang kerap berbelit ini, seperti menjadi pemandangan umum dalam setiap insiden kecelakaan pesawat. Hal ini boleh jadi penyebabnya karena ketidaktahuan masyarakat akan prosedur klaim asuransi, atau sosialisasi tentang asuransi ini yang belum maksimal. Dampaknya, masyarakat yang ingin menjemput haknya dalam asuransi seperti di pingpong.

“Sebenarnya aturan ini semuanya sudah tertera, hanya saja penumpang tidak membacanya,” ujar Kasubdit Operasi Pesawat Udara Direktorat Kelaiakan udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Mochamad Mauludin.

 

Ahli Waris

Asal tahu saja, ganti rugi dan santunan telah diatur dengan rinci dalam sejumlah regulasi, sebagaimana Indonesia telah meratifikasi Montreal Convention 1999. Negara pun telah mengatur secara rinci melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/Danau, Feri/Penyeberangan, Laut, dan Udara.

Hak penumpang sebagaimana diatur PMK yang ditandatangi 13 Februari 2017 dan resmi berlaku sejak 1 Juli 2017, yaitu mengenai santunan wajib. Dalam PMK tersebut diatur soal santunan kepada penumpang termasuk yang menjadi korban meninggal dunia.

Biaya santunan korban meninggal dunia yang diterima ahli waris sebesar Rp50 juta, santunan cacat tetap Rp50 juta, dan biaya perawatan luka-luka Rp25 juta. Selain itu, diatur juga penggantian biaya pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) maksimal Rp1 juta. Demikian juga dengan biaya ambulans yang ditanggung maksimal Rp500 ribu dan biaya penguburan dari Rp2 juta menjadi Rp4 juta.

Dalam menunaikan kewajiban santunan tersebut, pemerintah bekerja sama dengan PT Jasa Raharja. Sebagai pembayar pertama (first payer) santunan kecelakaan, Jasa Raharja wajib membayarkan santunan segera setelah korban maupun ahli warisnya teridentifikasi.

Sementara terkait ganti rugi sendiri diatur secara mendetail dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 77 tahun 2011. Beleid itu menjelaskan, maspakai wajib membayar ganti rugi Rp1,25 miliar bagi korban meninggal dunia di dalam pesawat.

Sementara bagi korban meninggal yang kejadiannya berkaitan dengan pengangkutan sebelum dan sesudah dari pesawat adalah Rp500 juta. Kemudian, korban cacat tetap mendapat Rp1,25 miliar dan korban luka-luka Rp200.000.

Ganti rugi dari maskapai tidak hanya mencakup asuransi jiwa semata, tapi juga mencakup ganti rugi bagasi yang mengalami kerusakan atau hilang akibat kelalaian maskapai. Tentu saja, nilai ganti ruginya, disesuaikan alias tidak setinggi asuransi jiwa.

 

Untuk penggantian bagasi hilang dimulai dari Rp200 ribu hingga Rp4 juta, tergantung nilai barang. Demikian juga terhadap ganti rugi bagasi rusak disesuaikan dengan tingkat kerusakan.

 

Selain itu, keterlambatan penerbangan juga menjadi salah satu alasan penumpang mendapat ganti rugi atau kompensasi. Sebenarnya pemberian ganti rugi dari maskapai terhadap penumpang bukan hanya pada kecelakaan semata, melainkan keterlambatan keberangkatan dari jadwal yang telah ditetapkan pun penumpang harus menerima kompensasinya. Dalam Pasal 10 disebutkan penumpang mendapat ganti rugi Rp300 ribu jika keterlambatan terjadi lebih dari empat jam.

 

Kontrak di Tiket

Proses pencairan asuransi yang diatur dalam sejumlah regulasi memang berbeda-beda, tergantung kasus kecelakaannya. Kasubdit Operasi Pesawat Udara DKPPU Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Mochamad Mauludin mengatakan, cepat atau lambatnya pencairan asuransi tergantung pada tingkat kecelakaan.

Ia mencontohkan apabila ada penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan ringan, seperti terpeleset yang mengakibatkan luka sobek, dipastikan proses pencairan asuransi akan lebih cepat dibandingkan dengan kecelakaan yang menyebabkan kematian massal.

Untuk kategori yang disebutkan terakhir, itu membutuhkan proses dan tahapan relatif panjang. Dijelaskan Mauludin, ketentuan terkait asuransi sebenarnya sudah tertera jelas pada tiket pesawat. Penumpang dengan mudah bisa membaca dan memperhatikan ketentuan tersebut. Sayangnya banyak penumpang yang tidak membaca dengan saksama ketentuan yang tertera pada tiket pesawat.

“Di tiket itu dijelaskan hak yang akan didapat oleh penumpang. Di situlah ada kontrak pembeli tiket sebagai penumpang,” tutur Mauludin

Untuk diketahui, ketika membeli tiket pesawat, penumpang turut membayar iuran wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (DPWKP) yang tergabung dalam harga tiket. Iuran wajib dalam asuransi ini bersifat progresif yang ditentukan berdasarkan besaran harga tiket.

Semakin tinggi harga tiket, iuran asuransi yang disetorkan lebih besar dengan batas maksimal yang telah diatur. Artinya, mereka yang memiliki kemampuan lebih, akan membayar jumlah lebih dengan batas maksimal yang diatur. Adapun besar iuran wajib yang dibayarkan penumpang pesawat adalah Rp5 ribu.

Lebih lanjut mengenai asuransi penerbangan, Mauludin menjelaskan pemerintah sudah mengatur bahwa maskapai penerbangan harus mengasuransikan sampai ke pihak ketiga. Hal ini ada di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Namun, ketentuan lebih lanjut tergantung masing-masing maskapai bersama perusahaan asuransi. Mereka yang berwenang menentukan sejauh mana penumpang akan mendapat layanan asuransi.

“Pemerintah hanya menentukan secara garis besar, untuk pelayanan lebih ditentukan oleh operator. Pemerintah tidak bisa menentukan lebih rinci, namun ketentuan minimalnya ada,” tuturnya.

Ia mengklam, sejauh ini pihaknya telah mengadakan sosialiasi soal asuransi. Hal tersebut harus dilakukan agar penumpang tahu betul hak dan kewajibannya. Selama ini, penerbitan regulasi baru harus melewati tahap sosialisasi terlebih dahulu. Bahkan sebelum disahkan, ada uji publik yang dilakukan.

“Uji publik ini disampaikan kepada masyarakat atau pihak yang dianggap sebagai stakeholder masyarakat,” ucap Mauludin.

Dalam melaksanakan uji publik tersebut, tidak hanya Kemenhub berperan, tetapi turut melibatkan institusi lain yang berkaitan. Ia mencontohkan perihal barang bawaan. Ketika berbicara tentang barang berbahaya pasti ada uji publik yang juga dilakukan bersama Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Uji publik itu berfokus pada telaah seberapa bahaya barang tersebut dan Kemenhan diminta memberi masukan langkah apa yang harus dilakukan.

“Sama juga dengan asuransi, pasti ada pihak-pihak terkait yang diajak berdiskusi tentang hal itu,” terang Mauludin.

 

Percepat Santunan

Pelibatan pihak-pihak terkait, nyatanya tidak hanya dilakukan Kemenhub dalam memperlancar tugasnya. Kerja sama dengan pihak lain juga diterapkan Jasa Raharja, tujuannya mempercepat pencairan santunan sampai di tangan keluarga korban.

Direktur Manajemen Risiko dan Teknologi Informasi Jasa Raharaja M. Wahyu Wibowo menerangkan, pihaknya melakukan kerja sama yang setiap tahunnya semakin luas. Salah satu koordinasi yang dilakukan dengan dinas kependudukan dan pencatatan sipil (disdukcapil), kepolisian, dinas perhubungan (dishub), serta seluruh rumah sakit.

“Terakhir dengan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) dan lainnya,” terang Wahyu

Pada tahun 2018, total rumah sakit yang bekerja sama dengan Jasa Raharja adalah sebanyak 1.601 dari total sekitar 2.800 rumah sakit di Indonesia. Angka itu melesat jauh jika dibandingkan dengan rumah sakit yang bekerja sama lima tahun sebelumnya, yaitu 331 rumah sakit pada tahun 2013. Artinya, selama lima tahun, terjadi peningkatan hampir lima kali lipat atau sekitar 483%.

Diterangkan Wahyu, peningkatan kerja sama tersebut membuahkan hasil signifikan. Buktinya, Jasa Raharja bisa menyampaikan santunan kepada keluarga korban meninggal dunia hanya dalam 1 hari 16 jam dari target 4 hari. Hal ini karena semakin banyak pihak yang bekerja sama, pihaknya lebih cepat mengkonfirmasi informasi korban dan ahli waris.

Sayangnya, realisasi santunan yang begitu cepat dari Jasa Rahaja malah menjadi permasalahan sendiri di lapangan. Terkadang, pada beberapa kasus santunan sudah siap diserahkan kepada pihak keluarga yang situasinya masih dalam keadaan berduka dan belum siap menerima santunan ketika Jasa Raharja tiba.

“Kadang kala kita sudah siap, tetapi keluarga belum siap terima, itu repot juga karena ini uang sudah dikeluarkan sudah dibukukan. Kami sudah siapkan dokumennya, kami juga sudah bijak mendatangi keluarga korban untuk menyampaikan duka dan sebagainya, tetapi keluarga belum siap terima,” terangnya.

Sekadar informasi saja, pencairan santunan Jasa Raharja tak mengenal hari libur, alias pelayanan buka setiap hari. Hal ini yang kadang tidak diketahui keluarga korban karena masih diselimuti keadaan berduka. Jika sudah begini, pihaknya akan menunggu sampai keluarga korban siap menerima mereka.

Kembali ke soal pesawat jatuh Lion Air JT 610, Wahyu menceritakan pengalaman keluarga korban saat mengurus santunan.  Kendala yang dihadapi di lapangan adalah soal ahli waris yang terlalu banyak sehingga pihaknya perlu memastikan keabsahan ahli waris.

Misalnya seorang korban bernama Rudolf Petrus Sayerz diketahui memiliki lima istri sah.

“Itu harus ada keputusan keluarga atau pengadilan, tetapi itu juga tidak segera diputuskan juga. Itu jadi tantangan kita,” lanjut Wahyu.

Ditambah lagi, pihaknya berkewajiban menyampaikan santunan tersebut paling lama setengah tahun alias enam bulan setelah kejadian. Namun, kalaupun setelah enam bulan ahli waris tidak kunjung diketahui, bukan berarti hangus.

Jasa Raharja akan mencatat santunan tersebut sebagai utang dalam pembukuan. Santunan akan dibayarkan kepada ahli waris segera setelah informasi ahli waris terungkap.

Ahli waris yang tidak muncul hingga lebih dari enam bulan ini menurut Wahyu kebanyakan merupakan ahli waris dari korban warga negara asing (WNA). Pihaknya pernah menyurati konsulat jenderal dari negara ahli waris yang bersangkutan karena ahli waris tak kunjung datang. Untuk kasus seperti itu, santunan juga tidak akan hilang sampai ahli warisnya datang untuk mengurusnya.

Adapun kategori ahli waris sendiri, lanjut Wahyu, semuanya telah dijelaskan dalam peraturan perundangan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2017. Pihak yang dianggap ahli waris dan berhak mendapat santunan atau ganti rugi adalah, yang pertama pasangan sah (janda atau duda) dari korban.

Jika tidak ada janda atau duda sah, ganti rugi turun kepada anak-anaknya. Namun jika korban sama sekali tidak memiliki anak, ahli waris itu akan turun ke orang tua.

“Kalau tidak ada ahli waris, kita tetap berikan Rp4 juta untuk biaya penguburan. Ini sudah diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2017,” tutur Wahyu.

 

Lalu, apa saja syarat yang diperlukan ahli waris dalam pencairan santunan?

Proses pencairan santunan tersebut butuh persyaratan yang dibawa ahli waris. Di antaranya ahli waris yang datang ke Kantor Jasa Raharja harus mampu membuktikan dirinya memiliki hubungan keluarga dengan korban. Status itu harus dibuktikan dalam bentuk dokumen, seperti kartu tanda penduduk (KTP), surat nikah, atau kartu keluarga (KK) yang menunjukkan sebagai ahli waris.

Bagi korban cacat tetap dan luka-luka, bisa juga melengkapi bukti tiket, dan bagasi tercatat surat muatan udara, dan surat keterangan lainnya dari pihak yang berwenang.

 

Belum Ideal

Adapun total santunan seluruh kecelakaan, baik udara, darat, maupun laut, yang dibayarkan Jasa Raharja pada tahun 2018 adalah Rp2,564 triliun. Angka tersebut terdiri atas santunan 28.624 korban meninggal dunia sebesar Rp1,408 triliun dan 95.438 korban luka-luka sebesar Rp1,156 triliun.

Namun, Wahyu sendiri menyadari jumlah santunan yang diberikan masih jauh dari ideal. Besaran santunan Rp50 juta per penumpang terbilang kecil jika dibandingkan asuransi kematian yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi lainnya.

Akan tetapi, Wahyu mengaku pihaknya tidak berhak menaikkan besaran santunan sesuai dengan kondisi terakhir. Alasannya, untuk mengubah besaran menuju angka ideal, pihaknya harus menyesuaikan dengan laju inflasi dan melewati mekanisme panjang. Besaran tersebut dikaji setidaknya lima tahun sekali.

Meski dianggap belum ideal, santunan Rp50 juta itu kata Wahyu telah mengalami beberapa kali peningkatan. Dari yang awalnya hanya Rp100 ribu, lalu mengalami empat kali perubahan hingga mencapai angka Rp50 juta.

“Pada saatnya kita akan naikkan pantasnya berapa sebagai perlindungan dasar. Setiap lima tahun kita tingkatkan jadi berapa yang pantas,” tukasnya.

Wahyu menyebutkan, Jasa Raharja juga tetap memberikan santunan kepada korban pesawat yang namanya tidak tertera dalam manifes. Hal ini terlihat pada kasus Arif Yustian yang dinyatakan ikut menjadi korban jatuhnya Lion Air JT-610. Walaupun nama Arif tidak ada dalam manifes, sejumlah pihak membenarkan ia ikut dalam penerbangan dan Jasa Raharja membayarkan santunan bagi orang tua selaku ahli warisnya.

“Kita bayar, walaupun bukan di manifes pun kita bayar. Cuma tadi, kita memastikan siapa dan apa benar ada di dalam pesawat, baru kita bayar,” ungkap Wahyu.

Pemberian santunan itu dilakukan karena Arif memang menjadi korban kecelakaan pesawat tersebut yang mengharuskan ahli warisnya disantuni. Pemberian santunan itu dengan pertimbangan kemanusiaan.

Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Tengku Burhanudin justru mengacungi jempol terhadap asuransi bagi korban kecelakaan pesawat. Menurutnya, asuransi penerbangan di Indonesia sudah sesuai prosedur. INACA juga mengklaim kalau maskapai penerbangan telah melakukan kewajibannya sesuai dengan peraturan.

Ia menyebut beberapa kasus pencairan asuransi yang sempat ramai di lapangan dan menyita perhatian publik itu disebabkan faktor teknis. Adapun faktor teknis yang dimaksud Tengku adalah pembuktian maskapai pada ahli waris. Pembuktian itu salah satunya dilakukan dengan memeriksa kelengkapan dokumen sebagai persyaratan pencairan asuransi.

Dalam pembuktian dokumen ini yang kerap menimbulkan masalah. “Sayangnya, selama ini yang diekspos seolah-olah maskapai yang tidak membayar. Padahal, pada dasarnya tidak mungkin sebuah maskapai diizinkan beroperasi bila tidak memiliki asuransi,” ungkap Tengku, Rabu (13/3).

 

Sosialisasi Asuransi

Sementara itu, pengamat penerbangan Gerry Soejatman ikutan bersuara soal berbelit-belitnya jalan yang ditempuh keluarga korban kecelakaan pesawat untuk menjemput asuransi. Gerry menyoroti penyebab proses berbelit-belit itu karena tidak ada kejelasan ahli waris. Hal tersebut sudah bukan di ranah hukum asuransi penerbangan lagi, melainkan ranah hukum umum.

Selain itu, faktor lamanya klaim asuransi juga bisa karena identifikasi korban yang lama. Namun Gerry memandang itu merupakan hal yang wajar.

“Di negara lain malah ada yang mengambil langkah kubur massal dan pihak korban diberikan dokumen surat kematian supaya asuransi cepat keluar. Namun cara itu sangat sulit diterapkan di Indonesia,” katanya.

Gerry sama sekali tidak sependapat jika dibilang lamanya klaim asuransi karena terkendala teknis. Ia menilai, keterlambatan pencairan asuransi itu karena ada benturan budaya dan norma orang Indonesia. Masyarakat tidak akan begitu mudah untuk menandatangani surat klaim yang menyertakan klausul tidak akan menuntut di kemudian hari dan lain-lain. Di akhir pembicaraan, Gerry pun berharap maskapai gencar berpromosi soal asuransi ini.

Persoalan komunikasi dan sosialisasi ini sejatinya juga Sekretaris Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno. Ia menyatakan sejauh ini regulasi sebanarnya sudah cukup komprehensif karena mengadopsi aturan penerbangan internasional. Namun, permasalahan muncul pada tahap implementasi, karena tidak ada sosialisasi asuransi penerbangan secara keseluruhan, baik yang wajib maupun tambahan.

“Pertama konsumen tidak mendapat informasi yang jelas berapa iuran wajib atau premi yang dibayarkan. Yang ditahu hanya harga tiket padahal di dalamnya terdapat premi,” terangnya

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, kata Agus, informasi seperti itu harus disampaikan kepada publik. Kementerian Perhubungan selaku regulator atau pembuat peraturan, dan maskapai sebagai operator yang berwenang menyampaikan hal tersebut.

Jadi, konsumen sebagai penumpang mengerti apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam penerbangan. Mereka harus tahu apa yang didapat keluarga jika ia menjadi korban kecelakaan. Demikian juga dengan keluarganya, mereka harus tahu berapa besaran asuransi yang diterima dan berapa lama prosesnya sehingga tidak dipersulit ketika kecelakaan terjadi.

Sejauh ini, Agus mengaku pihaknya akan membantu keluarga korban yang mengadu dan meminta pendampingan. Hanya saja, YLKI sampai sekarang belum dilibatkan dalam penetapan harga iuran premi. Ia berharap ke depannya perwakilan konsumen, entah YLKI atau lembaga lain bisa diikutsertakan. [valid]

Advertisement
Advertisement