April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Tarif Tol Tinggi, Inflasi Logistik Tak Bisa Terhindari

6 min read

JAKARTA – Kehadiran tol Trans-Jawa sudah sekian lama menjadi utopia yang menyejukkan di tengah bayang-bayang panasnya kemacetan parah yang menggerayangi musim mudik setiap tahunnya. Tol yang total panjangnya mencapai 1.167 kilometer tersebut menjanjikan alternatif perjalanan yang lebih cepat, tidak hanya bagi mobil penumpang, tetapi juga bagi truk-truk raksasa pengantar logistik.

Kehadiran tol baru tersebut digadang-gadang dapat memangkas ongkos logistik dan waktu tempuh. Untuk yang kedua, waktu tempuh yang lebih singkat memang meningkatkan efisiensi perusahaan. Ujungnya tingkat penjualan bisa meningkat dan harga barang di pasaran bisa lebih stabil karena stok yang terjaga.

Efisiensi waktu di periode puasa dan lebaran saat ini memang sangat dibutuhkan perusahaan. Dengan waktu yang lebih singkat dan terjadwal lebih akurat, perusahaan bisa lebih leluasa mengatur kendaraan ekspedisi atau menyewa kendaraan logistik menyiasati adanya pembatasan operasional truk angkutan selama periode puasa dan lebaran.

Seperti diketahui, aturan pelarangan untuk melintasi ketika musim mudik ditujukan kepada kendaraan-kendaraan lebih dari 2 sumbu. Kendaraan yang masuk golongan III ke atas seperti inilah yang biasanya digunakan untuk mengantarkan logistik.

“Kalau untuk mudik Lebaran, itu hari spesial. Maka angkutan barang yang sumbunya tiga atau lebih, itu dilarang beroperasi,” ujar Direktur Angkutan dan Multi Moda Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, Ahmad Yani, Senin (13/05/2019).

Pelarangan operasi itu diterapkan dalam dua periode. Pertama, saat arus mudik menjelang lebaran, tepatnya 30 Mei–2 Juni 2019. Selanjutnya, truk bersumbu tiga atau lebih juga dilarang beroperasi saat arus balik pada 8–10 Juni 2019.

Namun demikian, berdasarkan Rencana Operasi Angkutan Lebaran Terpadu Tahun 2019 yang diterbitkan Kemenhub, pembatasan pengoperasian tidak berlaku bagi angkutan yang membawa bahan strategis, mulai dari bahan bakar minyak, ternak, bahan pangan pokok, uang, pos, dan truk pengangkut motor mudik gratis.

Sebelumnya, demi menjaga keamanan dan kelancaran angkutan barang kebutuhan pokok selama Lebaran, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah mengirim surat permohonan kepada Kemenhub. Dalam surat Nomor 110/PDN/SD/4/2019 dan Nomor 111/PDN/SD/4/2019 itu, Kemendag meminta supaya angkutan barang kebutuhan pokok diprioritaskan.

“Kami sudah meminta dan menyurati Dirjen Hubda untuk memprioritaskan barang kebutuhan pokok H-5 sampai H+3. Jadi, enggak ada ceritanya itu enggak boleh jalan,” ucap Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Tjahja Widjayanti, ketika ditemui pada Jumat (10/05/2019).

Namun, memang aturan yang dibuat tentunya belum mengakomodasi semua kebutuhan pengantaran barang yang menggunakan kendaraan golongan III ke atas pada periode Lebaran nanti. Masih banyak jenis pengantaran barang jenis lain yang terpaksa harus legawa tidak dapat melalui jalan-jalan yang ditentukan pemerintah pada musim tersebut.

Saat ini, untuk mengejar waktu sampai hari pelarangan itu tiba, melintas tol Trans Jawa tentu bisa menjadi pilihan logis untuk melakukan stocking barang di daerah tujuan. Tujuannya, ketika pelarangan itu diberlakukan, pasokan barang sudah terpenuhi terlebih dahulu.

Namun demikian, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Kyatmaja Lookman, menuturkan bahwa langkah memanfaatkan Tol Trans-Jawa saat ini belum menjadi pilihan utama pengusaha. Pasalnya, efisiensi waktu yang dikejar tetap saja harus diimbangi oleh efisiensi biaya.  Alhasil, tarif yang tinggi membuat para pengusaha berpikir ulang memberangkatkan armadanya lewat Tol Trans-Jawa.

Ia menjelaskan, dalam setiap pengiriman barang, anggota Aptrindo hingga kini masih tetap menggunakan jalan nasional, meski harus mengejar waktu. Penggunaan jalan tol untuk pengantaran logistik pun hanya dipilih ketika angkutannya kemacetan panjang di jalan nasional.

“Kalau jalan tol, itu bukan pilihan. Kita jarang sekali lewat jalan tol kalau Cikampek sampai Surabaya,” tuturnya.

Tarif tol di Pulau Jawa, khususnya untuk Tol Trans-Jawa, memang terasa sangat tinggi. Jika dihitung-hitung, apabila menggunakan tol baru tersebut, ongkos pengiriman logistik dapat meningkat hingga 39,66% dibandingkan jika memilih jalan biasa.

Kyatmaja mengilustrasikan, setiap pengiriman logistik menggunakan kendaraan golongan III dengan muatan 11 ton dari Jakarta sampai Surabaya, biaya yang mesti dikucurkan mencapai Rp2,5 juta jika melalui jalan biasa. Jumlah ongkos sebesar itu sebagian besar atau sekitar Rp1,5 juta dipergunakan untuk membeli solar. Sisanya adalah biaya operasional lain.

Nah, jika memaksa menikmati perjalanan lewat Tol Trans-Jawa, Aptrindo mesti menambah ongkos hampir Rp1 juta. Pasalnya, dari penghimpunan data Badan Usaha Jalan Tol (BUJT), total tarif tol untuk kendaraan golongan III dengan mencapai Rp991,5 ribu dalam perjalanan dari Jakarta ke Surabaya maupun sebaliknya.

Karena itulah, alih-alih berharap besar untuk pengantaran yang lancar via Tol Trans-Jawa, Aptrindo lebih memilih membuat langkah antisipasi aturan pelarangan melintas dari pemerintah. Akhirnya, pengiriman barang dilakukan jauh-jauh hari sebelum waktu pelarangan tersebut efektif.

“Pemilik barang juga sudah tahu kalau pasti ada travel banned sehingga mereka menstok lebih awal biasanya,” katanya, Minggu (12/05/2019).

 

Kerek Inflasi

Fenomena tidak dipilihnya Tol Trans-Jawa oleh para penyedia jasa pengiriman logistik ditangkap pula oleh ekonom dari Universitas Brawijaya, Candra Fajri Ananda. Ia bahkan mengungkapkan bahwa Gubernur Jawa Timur sempat keberatan dengan tarif tol Trans Jawa saat ini. Pasalnya, tarif tersebut dirasa terlalu tinggi sehingga membuat biaya pengiriman logistik membengkak.

“Ada yang mengatakan, tol itu untuk siapa? Kalau angkutan barang, makanya Gubernur Jawa Timur juga minta revisi tarif tol, kan. Itu karena terlalu mahal,” tegasnya, Selasa (14/05/2019).

Masalahnya adalah, dengan biaya yang tinggi, ongkos pengiriman naik, biaya operasional truk pengantar barang pokok yang meningkat akan mengerek harga muatannya. Karena itu, biaya logistik yang tinggi dapat menjadi penyumbang inflasi.

“Penyebab dari inflasi itu, kan, gara-gara dari distribusi,” ucapnya.

Mengambil contoh pengiriman dengan kendaraan golongan III, tarif jalan tol yang mencapai hampir Rp1 juta memberikan tambahan beban sekitar Rp90,13 untuk setiap kilogram barang yang diangkut. Itu pun dengan catatan, tambahan beban dengan jumlah tersebut apabila kendaraan yang dimaksud bermuatan penuh 11 ton. Jika kurang, tentu beban tambahannya akan semakin besar.

Senada dengan hal tersebut, peneliti Institute for Development of Economic and Finance, Rusli Abdullah, menyatakan bahwa peningkatan biaya yang diperlukan untuk mendistribusikan barang menjadi salah satu penyebab inflasi.

“Seandainya ada perusahaan logistik menambah cost, itu pasti akan menambah inflasi,” tegasnya, Selasa (14/05/2019).

Akan tetapi, pengiriman memang menjadi hal yang tak bisa dihindari. Ada faktor permintaan dan penawaran antardaerah yang meningkat. Bahan pokok yang dibutuhkan harus diantarkan ke daerah-daerah, tak hanya ke Jabodetabek seperti saat hari-hari biasa. Di samping itu, inflasi juga disebabkan kenaikan permintaan sebagai imbas dari kebutuhan di hari raya.

Mengambil gambaran tahun lalu, sektor transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan memang menjadi penyumbang inflasi tertinggi. Contohnya, pada Juni ketika masa Lebaran terjadi, kelompok ini menyumbang 0,26% dari total inflasi umum yang tercatat di angka 0,59%.

Kontribusi kelompok tersebut bahkan jauh berlipat dibandingkan andil inflasi makanan ketik apada periode yang sama inflasi dari bahan makanan hanya menyumbang inflasi 0,19%.

Dari kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, terpantau dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa subkelompok yang mengalami inflasi paling tinggi adalah transportasi. Tingkat inflasi subkelompok ini mencapai 2,25% pada Juni 2018.

Bukan tidak mungkin besarnya kontribusi inflasi dari transportasi pun bakal terulang tahun ini, apalagi jika memproyeksikan besarnya dana yang mesti dibebankan dalam tiap pengiriman logistik melalui Tol Trans-Jawa.

 

Manajemen Pengiriman

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Rusli menyarankan pemerintah perlu memberikan kelonggaran bagi truk-truk logistik yang memuat bahan pokok, terutama barang dengan jenis yang tidak tahan lama, seperti produk-produk hortikultura. Pengiriman secara berkelompok pun sebaiknya dilakukan.

Ia mencontohkan, beras didistribusikan pada minggu pertama Ramadan. Setelah ketersediaan beras dipastikan aman, minggu selanjutnya daging beku yang didistribusikan. Barulah ketika minggu Lebaran, cabai, tomat, bawang, dan barang-barang yang mudah busuk didistribusikan.

“Jadi, ada pergantian urutan dalam pendistribusian sembako,” paparnya.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag), dinilainya perlu berkoordinasi dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) untuk mengidentifikasi kebutuhan bahan pokok di setiap daerah, terutama daerah luar Jabodetabek yang menjadi lokasi tujuan pemudik. Pasalnya, selama ini, dia memandang pasar terkonsentrasi di Jabodetabek.

Sementara itu, Eko Listiyanto, Ekonom dari Indef, berpandangan bahwa sebelum aturan pembatasan kendaraan barang diterapkan, bahan pangan semestinya sudah disediakan lebih banyak. Selain itu, setiap daerah sebaiknya memiliki cold storage yang berfungsi dengan baik sehingga makanan yang disimpan dapat lebih tahan lama.

“Begitu aturan itu berlaku, cadangan yang ada dalam kota sudah cukup agar harga tetap stabil, itu antisipasinya,” begitu katanya ketika ditemui Validnews, Rabu (08/05/2019).

Tak hanya di darat, saat ini pengiriman bahan pokok diyakini dapat lebih efisien dengan keberadaan tol laut. Jika melalui tol laut, biaya operasional truk pengantar diyakini dapat ditekan.

Akan tetapi, Rusli justru berpandangan sebaliknya. Menurutnya, keberadaan tol laut tidak terlalu signifikan dalam menekan harga. Menurutnya, pelabuhan yang mumpuni untuk tol laut biasanya berada di kota-kota besar. Pengiriman barang kembali harus dilanjutkan dengan moda transportasi darat guna menjangkau daerah-daerah pelosok.

“Bisa menurunkan harga, tapi, kan, cuma DKI Jakarta. Yang Jawa dan lainnya bagaimana? Enggak bisa,” ucapnya.

Inilah yang menjadi masalah. Menjelang Lebaran, jalur-jalur jalan darat banyak yang tidak boleh dilewati truk. Jadi, tak cukup efisien jika di laut lancar, tetapi di darat tetap tersendat.

Sedikit berbeda, Candra justru melihat yang mesti diatur segera adalah penyesuaian tarif Tol Trans-Trans Jawa. Mau bagaimanapun, keberadaan tol diperlukan untuk memperlancar distribusi pengiriman barang.

Sayangnya, lagi-lagi tarifnya tidak bersahabat sehingga berpotensi lebih tinggi mengerek inflasi dibandingkan efisiensi yang didapati dengan perjalanan yang lancar.

Tapi, jika tarif tol diturunkan, buat investor, waktu return on investment (ROI) jadi lebih panjang. Terkait hal ini, pemerintah perlu melakukan negosiasi kembali dengan para pemilik dana pembangunan tol. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat perjanjian investasi dengan para investor tentu sudah ditandatangani sebelumnya.

“Yang paling penting, jumlah pengguna tol yang harus meningkat untuk mendapatkan penerimaan,” pungkasnya.

Jadi, selama tarif tol belum turun, jangan harap kehadiran Trans-Jawa mampu mengikis ketakefisienan distribusi barang di Pulau Jawa. Jadi, tol itu untuk siapa? [tim]

Advertisement
Advertisement