April 18, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Menengok Adanya Strata Dalam Kemiskinan

8 min read

JAKARTA – Juli 2018 silam, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka kemiskinan Indonesia pada Maret 2018 yang berada pada angka 9,82% atau setara dengan 25,95 juta jiwa. Beberapa pihak menyebutkan, perolehan ini merupakan persentase kemiskinan terendah yang diperoleh Indonesia sejak tahun 1999.

Tak kurang Menteri Keuangan Sri Mulyani yang turut mengapresiasi penurunan angka kemiskinan Indonesia tersebut yang menunjukkan satu digit angka. Sedangkan, persentase kemiskinan Indonesia sebelum-sebelumnya tak pernah berada di bawah 10% atau selalu menunjukkan dua digit angka.

“Hari ini BPS mengumumkan tingkat kemiskinan kita 9,82%. The first time in the historic of Indonesia tingkat kemiskinan di bawah 10%,” ujar Sri Mulyani, Juli 2018 lalu.

Perolehan jumlah penduduk miskin pada Maret 2018 tersebut terhitung berkurang sebanyak 633,2 ribu orang dibandingkan kondisi September 2017 yang berjumlah 26,58 juta orang atau 10,12% dari jumlah penduduk Indonesia.

BPS mencatat, sejak tahun 2016, angka kemiskinan Indonesia terus mengalami penurunan. Penurunan angka kemiskinan periode sebelum Maret 2018 juga mendapat apresiasi dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro.

Bambang mengatakan, pada periode September 2017 saja, tingkat kemiskinan Indonesia sudah mencapai titik terendahnya selama hampir dua dekade, setelah berhasil turun 0,58% (yoy).

Menurut Bambang, penurunan ini patut diapresiasi lantaran jumlah penduduk miskin dari September 2016 ke September 2017 turun hingga 1,18 juta jiwa. Sedangkan, perkembangan penurunan kemiskinan sepuluh tahun terakhir, secara rata-rata Bambang hitung hanya turun sekitar 500 ribu orang per tahun.

“Dibandingkan 2016, terjadi penurunan kemiskinan yang di luar kebiasaan di 2017, yaitu dua kali lipat lebih atau sebesar 1,18 juta jiwa,” jelas Bambang awal tahun 2018 lalu.

Untuk diketahui kriteria penduduk miskin dalam hitungan BPS adalah masyarakat yang pengeluaran per kapita per bulannya di bawah garis kemiskinan (GK) yang terdiri dari GK Makanan dan Non-Makanan. GK makanan dihitung berdasarkan pemenuhan kebutuhan kalori 2.100 kkal per kapita per hari yang diwakili 52 jenis komoditas. Sedangkan, GK Non-Makanan meliputi kebutuhan air untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau yang diwakili 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi untuk yang di pedesaan.

Dalam penentuan GK periode September 2017-Maret 2018, BPS mencatat, peran komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibanding peran komoditas bukan makanan. Dengan porsi masing-masing 73,48% pada makanan dan 26,52% pada bukan makanan.

Pada periode Maret 2018 GK Nasional Indonesia berada pada angka Rp401.220. Standardisasi atau besaran GK ini sebenarnya telah naik sebesar 3,63% dibandingkan priode September 2017 yang GKnya sebesar Rp387.160.

Sementara Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro melanjutkan, lantaran garis kemiskinan menunjukkan konsumsi komoditas pangan tertentu yang dinyatakan dengan kalori. Maka, garis kemiskinan nasional lebih tinggi daripada garis kemiskinan di perdesaan. Sementara, garis kemiskinan di perkotaan lebih tinggi daripada garis kemiskinan nasional. Pasalnya, diperhitungkan pengeluaran di perkotaan lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional apalagi pedesaan.

Sebagai informasi, pada Maret 2018, BPS menempatkan GK DKI Jakarta sebagai GK tertinggi dengan nilai sebesar Rp593.108. Sementara GK terendah ditempati oleh Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp354.898.

“Kalau kita lihat perkembangan 2014–2017, garis kemiskinan naik karena ada inflasi. Untuk itu, sangat penting untuk menjaga inflasi. Kalau inflasi tidak dijaga dan garis kemiskinan naiknya lebih tajam, maka akan semakin sulit untuk mengurangi kemiskinan,” lanjut Bambang.

Beberapa komoditas yang memberi sumbangan besar terhadap garis kemiskinan pada 2017, Bambang sebutkan antara lain, beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mi instan, dan daging sapi. Komoditas beras menempati urutan pertama dengan persentase sebesar 18,80% pada garis kemiskinan di perkotaan dan 24,52% pada kontribusi GK di perdesaan.

“Kalau kita tidak ingin kemiskinan bertambah, jaga harga beras untuk masyarakat perdesaan. Karena kalau harga beras naik, pengaruh beras ke garis kemiskinan perdesaan sampai 24,52% atau seperempatnya. Saya juga berharap kita konsumsi yang produktif karena rokok dapat membuat orang miskin,” tukas Bambang.

 

Ada Rentan Miskin

Di luar jumlah penduduk miskin di Indonesia, BPS sebenarnya juga mengklasifikasikan kelas masyarakat lainnya.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Margo Yuwono mengemukakan, dalam tiap survei kemiskinan di Indonesia, lembaganya secara tidak langsung juga memotret kelas masyarakat lainnya. Di mana dalam kelas masyarakat terkait kemiskinan ini sejatinya terbagi dalam lima kelas, yakni sangat miskin, miskin, hampir miskin, rentan miskin lainnya, serta tidak miskin. Namun memang dalam berbagai publikasi, hanya kelompok sangat miskin dan miskin yang datanya dibagikan.

“Nah, sangat miskin dan miskin itulah yang di bawah garis kemiskinan. Yang jumlahnya kalau dijumlahkan 9,82%,” ujarnya, Jumat (11/01/2019).

Namun ternyata, jumlah penduduk yang terklasifikasi sebagai hampir dan rentan miskin pun tidak sedikit. Di mana penduduk yang hampir miskin pada bulan Maret 2018 mencapai 7,28% dari total penduduk nusantara.

Sementara itu, kategori rentan miskin lainnya sejumlah 17,05%. Jika ditotal, persentase kedua kelompok ini terhadap jumlah penduduk mencapai 24,33% pada periode tersebut. Atau setara dengan 64,28 juta penduduk.

Merunut data BPS, jumlah penduduk hampir miskin dan rentan miskin dari Maret Tahun 2016 hingga Maret 2018 tak menunjukkan penurunan terus menerus. Melainkan fluktuatif dengan peningkatan jumlah penduduk hampir miskin dan rentan miskin pada tahun-tahun tertentu.

Contohnya saja perbandingan jumlah penduduk hampir miskin periode September 2016 ke Maret 2017 yang masing-masing menunjukkan angka 19,86 juta jiwa dan 20,48 juta jiwa. Terlihat periode tersebut jumlah penduduk hampir miskin meningkat setidaknya 620 ribu orang.

Sedangkan, mengamati jumlah penduduk rentan miskin dari periode September 2016 ke Maret 2017 juga menunjukkan peningkatan. Dari 40,11 juta jiwa menjadi 44,44 juta jiwa.

Untuk diketahui, klasifikasi kelompok hampir miskin sendiri adalah masyarakat yang pengeluaran per kapitanya antara sejajar dengan garis kemiskinan (GK) sampai dengan 1,2 dari GK. Sementara itu, masyarakat rentan miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran antara 1,2—1,6 GK.

Fluktuasi jumlah penduduk hampir miskin dan rentan miskin turut Margo nilai kerap membuat laju pengentasan kemiskinan terkesan lambat. Pasalnya, ketika sukses menaikkan kelompok masyarakat dari miskin ke hampir atau rentan miskin, sebaliknya ada pula masyarakat dari kedua kelompok tersebut yang terperosok ke kelas masyarakat miskin.

“Jadi kalau kemiskinan itu kadang-kadang turunnya lambat karena yang tadinya yang miskin menjadi tidak miskin tapi yang hampir miskin jatuh menjadi miskin. Jadi secara agregat itu bisa saling calling in the calling out,” ungkap Margo.

Margo menyebutkan, kelompok-kelompok tersebutlah yang sensitif terhadap kebijakan pemerintah yang dapat memengaruhi daya beli mereka. Dikatakan, kalau itu ada kebijakan publik yang tidak bersahabat dan yang tidak melihat kondisi karakteristik dari kelompok hampir miskin dan rentan miskin maka kelompok-kelompok tersebut bisa jatuh miskin.

“Jadi bisa dibayangkan dengan klasifikasi yang kayak begitu, jumlah yang begitu cukup banyak 7,28%. Yang tadi saya katakan, BBM naik atau hal lain naik, yang biasa dikonsumsi kelompok-kelompok itu naik, ada kebijakan yang kurang populis untuk mereka, ya bisa jadi miskin,” tegas mantan Kepala BPS Yogyakarta ini.

Menyadari hal tersebut, kementerian dan lembaga terkait pemerintah pun tak urung memasukkan kelas masyarakat hampir miskin dan rentan miskin dalam berbagai skema bantuan sosial. Bappenas maupun Kemensos kerap berdikusi mengenai data ini kepada BPS.

“Jadi begini artinya, sejauh ini pemerintah sudah menggunakan informasi klasifikasi itu. Bansos juga sudah mengarah ke yang tadi, tidak hanya miskin tetapi hampir miskin. Artinya, dari sisi pemerintah sudah in line apa yang sudah dirancang itu,” papar Margo.

Namun jika dihitung dari jumlah sasaran Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang tertera pada APBN 2018 yang berjumlah 10 juta keluarga. Sementara itu total keluarga yang bertatus bukan tidak miskin – miskin, hampir miskin dan rentan miskin — mencapai 21,35 juta keluarga.

Secara lebih rinci jumlah keluarga miskin menurut perhitungan BPS pada September 2017 ada 6,48 juta. Sedangkan, jumlah keluarga hampir miskin ada sekitar 4,40 juta. Dan keluarga rentan miskin berada pada angka 10,46 juta keluarga.

Dengan target 10 juta KPM, keluarga yang bisa terjaring program tersebut diasumsikan hanya berasal dari strata miskin dan hampir miskin yang sejumlah 10,88 juta keluarga. Sementara itu 10,46 juta keluarga rentan miskin tampak luput dari sasaran PKH.

 

Rentan Politisasi

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance(INDEF) Eko Listyanto menyatakan, kriteria kemiskinan yang ditetapkan pemerintah untuk mendata jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan sudah tepat. Di mana, angka garis kemiskinan dikaitkan dengan pemenuhan kalori per kapita per hari sebagai dasar kebutuhan manusia akan makan.

Indikator yang BPS gunakan juga Eko nilai sudah cukup stabil menggambarkan kemiskinan dari pemenuhan makan penduduk per hari.

Meski turut mengomentari indikator BPS yang secara nilai tak sesuai dengan indikator yang digunakan Bank Dunia yang menentukan pengeluaran per kapita US1,9 per hari. Eko menyatakan yang terpenting adalah pemerintah tidak menggunakan ukuran tersebut untuk kepentingan politik.

“Siapapun pemerintahnya tidak mau dibilang pemerintah lebih miskin,” kata Eko

Ia melanjutkan, justru jika Indonesia menggunakan standar World Bank dalam menentukan garis kemiskinan maka tingkat kemiskinan Indonesia dapat semakin riskan. Di mana dalam perkembangannya jika indikator yang dipakai hanya jumlah pengeluaran yang disesuaikan dengan dolar, akan timbul masalah ketika nilai rupiahnya tidak stabil.

“Karena itu kan per dolar AS. Sehingga kemudian tiba-tiba angka kemsikinan bisa saja membengkak hanya karena kurs,” tegas Eko.

Sekadar mengingatkan, jika membandingkan standar pengeluaran masyarakat miskin menggunakan indikator World Bank dan Indonesia memang terlihat ada perbedaan. Di mana ketika BPS menaruh GK pada pengeluaran Rp401.220 per kapita per bulan, World Bank justru menaruh GK pada angka Rp815.100. Dengan perhitungan pengeluaran per kapita masyarakat miskin menurut World Bank senilai US$1,9 per hari yang dikalikan rata-rata nilai rupiah terhadap dolar pada tahun 2018 sebesar Rp14.300 kemudian dikalikan 30 hari.

“Bank dunia punya pendekatan lain karena kebutuhan 200-an negara itu kan berbeda-beda. Menurut saya sih negara berkembang relatif menggunakan pendekatan kalori masih oke kecuali negara maju ya karena kebutuhan utama mereka bukan makan tapi sifatnya lain,” papar Eko.

Untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia, pemerintah telah melakukan beberapa upaya, antara lain, tiga integrasi program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan Bappenas. Yakni, perbaikan basis data untuk targeting dan penyaluran non tunai melalui satu kartu, penyaluran Program Keluarga Harapan (PKH) yang terintegrasi dengan bantuan lain untuk mendorong akumulasi aset atau tabungan dan akses layanan lainnya. Serta reformasi subsidi pangan dan energi tepat sasaran dan optimalisasi penggunaan dana desa.

Pada akhir periode Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMD) 2015-2019, tingkat kemiskinan bahkan ditargetkan mencapai kisaran 7-8%.

Di sisi lain pun Bappenas turut mengakui perkembangan perekonomian global dan domestik yang tidak stabil membawa pengaruh pada melambatnya laju pengurangan kemiskinan. Sebelum tahun 2011, penduduk miskin dapat berkurang lebih dari 1% per tahun, namun setelah itu, terus melambat hingga di bawah 0,5%.

Untuk itu, dalam RPJMN 2015- 2019, kebijakan penanggulangan kemiskinan diarahkan pada penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, perluasan dan peningkatan pelayanan dasar, serta pengembangan penghidupan berkelanjutan.

Mengamati upaya-upaya tersebut, ekonom lain dari Indef yakni Bhima Yudhistira menyebutkan, upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan sudah meningkat cukup signifikan. Terbukti dengan naiknya dana desa mejadi Rp70 triliun pada tahun 2019. Anggaran yang Bhima amati selalu meningkat ini kemudian ia nilai seharusnya bisa mengatasi masalah kemiskinan di sejumlah wilayah di Indonesia.

Namun ia turut memperhatikan, tingginya jumlah bantuan sosial (bansos) maupun bantuan lainya dirasa akan percuma jika tidak terserap secara maksimal oleh masyarakat yang membutuhkan.

“Cuma sekarang yang menarik adalah tingkat ketimpangan di desa yang justru naik di Maret 2018. Artinya masalah kita sebenarnya bukan masalah anggaran di APBN. Tapi efektivitas dari anggaran itu. Ketepatan penerimanya, ketepatan waktunya jangan terlambat,” papar Bhima.

Ia bahkan menilai, selama ini dana dari pemerintah pusat kerap habis di tengah jalan atau habis untuk urusan birokrasi sehingga tidak efektif menurunkan kemiskinan. Belum lagi banyak kepala desa yang menurut Bhima tidak paham administrasi. Serta kepala desa yang ia nilai ogah-ogahan mengurus dana desa yang tidak sedikit berujung pada penggelapan dana.

Ia kemudian menyarankan pemerintah untuk mengawal dana desa, bansos, hingga dana KPH yang harus dipastikan sampai pada masyarakat yang membutuhkan. Serta merekrut tenaga ahli untuk mengajarkan aparat desa mengatur dan mencatat penyaluran bantuan dari pemerintah.

“Jadi jangan nanti kalau sudah dugaan korupsi baru OTT (operasi tangkap tangan). Tapi sebelumya juga sudah ada pendampingan preventif,” ucapnya.

Hal selanjutnya yang disoroti Bima adalah dana desa saat ini terlalu banyak digunakan untuk membangun infrastruktur fisik. Padahal menurutnya, tujuan disediakan dana desa adalah pembangunan badan usaha desa itu sendiri yang nantinya bisa menjadi modal awal untuk mengelola usaha di desa yang produktif dan berkelanjutan.

“Sekarang kalau habis untuk infrastruktur fisik ya efeknya belum kelihatan dalam pengentasan kemiskinan. Masih butuh waktu yang cukup lama,” ujarnya.[Tim VN]

Advertisement
Advertisement