April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Tinggalkan Lahan Pertanian Beralih Menjadi Pekerja Bangunan

3 min read

JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, upah nominal harian buruh tani dan buruh bangunan naik tipis di bulan Januari 2019. Inflasi, khususnya di pedesaan yang rendah, ditaksir menjadi faktor naiknya upah tersebut.

Kepala BPS Suhariyanto merinci, upah nominal harian buruh tani pada Januari 2019 naik 1,03% dibandingkan dengan bulan Desember 2018. Adapun nilai upah buruh tani saat ini mencapai Rp53.604 per hari.

“Bulan Januari 2019 upah nominal buruh tani nasional naik dibandingkan Desember 2018 yaitu dari Rp53.054 per hari menjadi Rp53.604 per hari,” ujarnya di Kantor BPS Pusat, Jakarta, Jumat (15/02/2019).

Tidak hanya secara nominal, upah harian buruh tani secara riil di periode itu juga mengalami kenaikan sebesar 0,77%. Jika sebelumnya tercatat sebesar Rp38.090 per hari, menjadi Rp38.384 per hari.

“Upah buruh tani naik baik nominal maupun riil karena inflasi pedesaan hanya sebesar 0,26,” terangnya.

Untuk diketahui, upah nominal buruh/pekerja adalah rata-rata upah harian yang diterima buruh sebagai balas jasa pekerjaan yang telah dilakukan. Adapun upah riil buruh/pekerja menggambarkan daya beli dari pendapatan/upah yang diterima buruh/pekerja. Pendeknya, upah riil adalah perbandingan antara upah nominal dengan indeks konsumsi rumah tangga.

Karena Gengsi, Anak Muda Enggan Jadi Petani

Selain upah buruh tani, upah buruh informal perkotaan yakni buruh bangunan atau tukang bukan mandor pada Januari 2019, tercatat sebesar Rp88.442 per hari. Nilai tersebut mengalami kenaikan 1,21% dari sebelumnya sebesar Rp87.385 per hari.

Dari sisi upah riil nya, juga mengalami kenaikan, yakni sebesar 0,88% atau jadi Rp65.133 dari sebelumnya Rp64.543. Sama seperti pada upah buruh tani, menurutnya kenaikan upah buruh pekerja informal atau pekerja bangunan juga disebabkan karena inflasi perkotaan juga rendah pada periode tersebut, yakni hanya mencapai 0,32%.

“Kenaikan upahnya lebih tinggi dibanding inflasi. Artinya daya beli buruh bangunan maupun petani masih oke, kenaikannya masih di atas inflasi,” tuturnya.

Upah buruh lainnya, seperti upah buruh potong rambut wanita mencapai Rp27.404 per kepala atau naik 0,52% dari bulan lalu yang sebesar Rp27.262 per kepala. Sementara, upah riil-nya naik 0,19% jadi Rp20.175 dari sebelumnya Rp20.136.

Sementara, upah pembantu rumah tangga naik 0,46% menjadi Rp404.949 per bulan dari sebelumnya Rp403.905. Upah riil untuk pembantu rumah tangga pun naik 0,13% menjadi Rp297.728 dari Rp298.129 per bulan.

 

Pekerjaan Rumah

Terpisah, seperti dikutip Antara, Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi menilai, rendahnya upah petani dibandingkan upah buruh masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai. Menurutnya, hal ini menjadi tantangan bagi Presiden selanjutnya.

“Upah petani belum banyak bergerak membaik dibanding upah buruh perkotaan. Ini menjadi indikasi yang kita hadapi bahwa kondisi ke depannya, bertani menjadi tidak menarik,” kata Mantan Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Ia memaparkan bahwa karena urbanisasi, sekitar 53% penduduk hidup di kota dan diprediksi akan menjadi 70% dalam 15–20 tahun ke depan. Selain itu, konsumsi dalam bentuk pangan olahan/kemasan sebesar 40% dan tumbuh 11%.

Dengan kondisi seperti itu, dikhawatirkan petani menjadi tidak tertarik lagi mempertahankan produksinya, dan berpindah ke kota untuk pendapatan yang lebih besar. Selain menyoal kesejahteraan petani, impor pangan juga menjadi kritik yang akan disinggung pada debat calon presiden (capres) putaran kedua pada Minggu (17/02/2019) mendatang.

Menurut dia, saat ini impor bukanlah menjadi hal yang harus ditakutkan selama tidak mengganggu kesejahteraan petani. Kenyataannya, ada 21 komoditas sub-sektor tanaman pangan yang harus diimpor demi kebutuhan dalam negeri. Volumenya pun mengalami peningkatan dari 18,2 juta ton pada 2014 menjadi 22 juta ton pada 2018.

Oleh karena itu, ia menilai kebijakan impor jika dilihat dalam konteks ketahanan pangan, yakni keterjangkauan dan ketersediaan, tidak dapat dihindarkan.

“Kita tidak lagi di zaman yang menjadi impor fobia, takut sama impor. Saya malah khawatir kalau ada yang terlalu bersemangat menjanjikan anti impor. Artinya itu tidak realistis,” tandasnya. [Faisal]

Advertisement
Advertisement