April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Tingginya Kasus Baru Harian di Indonesia Membuat Masuk ke Fase Kritis COVID-19

4 min read

JAKARTA – Indonesia dinilai sudah memasuki fase kritis kasus covid-19. Hal itu tak lepas dari melonjaknya kasus baru hingga membuat rekor baru, yakni 3.003 pasien dalam satu hari.

Angka tersebut merupakan penambahan kasus paling tinggi sejak pasien pertama Covid-19 diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret lalu. Dengan demikian, jumlah pasien Covid-19 di Indonesia kini mencapai 165.887 orang.

Penambahan 3.003 kasus baru ini juga merupakan hasil dari pemeriksaan 33.082 spesimen. Dalam periode yang sama, ada 16.649 orang yang diambil sampelnya untuk pemeriksaan spesimen.

Secara akumulatif, pemerintah telah memeriksa 2.169.498 spesimen Covid-19 dari 1.250.135 orang. Adapun satu orang bisa diperiksa spesimennya lebih dari satu kali.

Pemeriksaan spesimen dilakukan dengan menggunakan metode real time polymerase chain reaction (PCR) dan tes cepat molekuler (TCM). Informasi tersebut sampaikan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melalui data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Melansir kompas.com, rekor penambahan kasus dalam sehari pernah terjadi pada Kamis (27/08/2020) dengan 2.719 orang. Serta juga terjadi pada 9 Juli 2020 dengan 2.657 orang dengan total kasus 70.736 orang.

Data pemerintah pun menunjukan, 3.003 kasus baru pasien positif Covid-19 tersebar di 31 provinsi. Tercatat empat provinsi dengan penambahan kasus baru tertinggi, keempatnya yakni DKI Jakarta (869 kasus baru), Jawa Barat (526 kasus baru), Jawa Timur (417 kasus baru), dan Jawa Tengah (242 kasus baru).

Penularan Covid-19 secara keseluruhan hingga saat ini terjadi di 486 kabupaten/kota yang berada di 34 provinsi. Selain itu, ada tiga provinsi yang tidak terdapat kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Ketiga provinsi itu yakni Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

Pemerintah juga mencatat ada 77.857 suspek terkait Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), suspek merupakan istilah pengganti untuk pasien dalam pengawasan (PDP). Seseorang disebut suspek Covid-19 jika mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal.

Istilah suspek juga merujuk pada orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable Covid-19. Bisa juga, orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.

Meski jumlah kasus Covid-19 terus bertambah, pemerintah menumbuhkan harapan dengan mengungkapkan semakin banyaknya pasien yang sembuh. Pada periode yang sama, diketahui bahwa ada penambahan 2.325 pasien Covid-19 yang sembuh dalam sehari.

Mereka dinyatakan sembuh setelah pemeriksaan dengan metode PCR memperlihatkan hasil negatif virus corona. Dengan demikian, total pasien Covid-19 yang sembuh dan tidak lagi terinfeksi virus corona mencapai 120.900 orang.

Kemudian, pada periode 27 – 28 Agustus 2020, ada penambahan 105 pasien Covid-19 yang tutup usia. Sehingga, angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 7.169 orang.

Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman pun mengingatkan agar Indonesia terus melakukan penguatan kuantitas dan kualitas testing virus corona. Sebab, menurut dia, Indonesia saat ini telah memasuki fase awal kritis akibat Covid-19.

“Indonesia ini sudah memasuki fase kritis awal yang diperkirakan mengalami puncak di awal Oktober 2020, khususnya Jawa. Ini bisa berlangsung lama, bisa sampai akhir tahun,” kata Dicky.

Dicky menyebutkan, ada beberapa indikator yang mendasari bahwa Indonesia kini sudah memasuki fase kritis pandemi virus corona. Pertama, jumlah kasus baru harian yang semakin tinggi. Hingga saat ini, menurut Dicky, hanya DKI Jakarta yang bisa dinilai secara valid karena memiliki cakupan tes memadai dan memenuhi target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu satu tes per seribu per minggu.

“Untuk melihat secara valid berapa kasus baru harian, tentu harus diakukan dengan testing yang optimal, baik kuantitas maupun kualitas,” jelas dia.

“Bila ini tak bisa kita nilai, itu bukan sesuatu yang aman-aman saja. Malah sebaliknya, kita berada dalam posisi yang rawan karena kita tidak bisa menilai situasi sesungguhya di wilayah tersebut,” lanjut Dicky.

Indikator kedua adalah infection rate yang juga dipengaruhi oleh kapasitas testing. Dicky menyebut infection rate tersebut bisa menilai seberapa parah virus corona telah menyebar.

Ketiga, positivity rate baik pada level nasional maupun daerah yang berada di atas rata-rata global atau indikator WHO, yaitu di bawah 5 persen. “Rata-rata kita di atas 10 persen, belum pernah turun di bawah 10 persen. Tentu ini situasinya rawan,” kata Dicky.

Indikator terakhir untuk menilai bahwa Indonesia berada pada fase rawan adalah persentase penggunaan tempat tidur rumah sakit yang menunjukkan peningkatan. Menurut dia, setiap daerah harus melakukan evaluasi terhadap indikator-indikator tersebut untuk melihat sejauh mana tingkat keseriusan kondisi Covid-19.

Senada dengan Dicky, Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, sejak awal wabah Covid-19 terjadi di Indonesia kondisinya sudah kritis. Dia menyayangkan kondisi itu tidak dianggap sebagai situasi kritis oleh pemerintah.

“Dari dulu kan Covid-19 di Indonesia sudah kritis. Tapi tak pernah dianggap kritis. Itu problem besar,” ujar Pandu saat, Jumat (28/08/2020).

Alih-alih menggunakan tenaga besar kementerian dan lembaga yang sudah ada, pemerintah malah membentuk satuan khusus lain yaitu Satuan Tugas (dulu bernama Gugus Tugas). “Semestinya pandemi Covid-19 ditangani negara, artinya oleh Presiden dan kementerian serta lembaga yang sudah ada,” lanjut Pandu.

Menurut Pandu, baik Gugus Tugas maupun Satuan Tugas sama-sama bersifat ad hoc. Dengan begitu keduanya tak punya kekuatan hukum dan tak bisa membuat regulasi sebagaimana kementerian atau lembaga negara yang sudah ada.

Kondisi ini, kata Pandu, berimplikasi dari pengambilan kebijakan strategis selanjutnya dalam penanganan Covid-19. Salah satunya adalah pelaksanaan testing atau pemeriksaan terhadap masyarakat yang terpapar Covid-19, individu suspek dan lainnya.

“Testing ini sebagian besar di Jakarta. Di daerah kapasitas testing ini masih jauh dari yang diharapkan. Jakarta pun bisa begitu sebab ada peran dari swasta kan,” ungkap Pandu. []

Advertisement
Advertisement