April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Yang Gemar Pamer Di Dunia Maya ? Jangan-Jangan Merana Di Dunia Nyata

3 min read

ApakabarOnline.com – Naluri untuk pamer bisa dibilang ada pada setiap orang. Kebanyakan orang ingin memamerkan hal-hal yang dimilikinya, benda-benda yang digunakannya, makanan atau minuman yang dinikmatinya, hingga tempat-tempat yang dikunjunginya.

Di masa lalu, urusan pamer mungkin agak sulit dilakukan. Kalau pun bisa, aktivitas pamer paling hanya dapat dilakukan di lingkungan terbatas. Namun, di masa sekarang, seiring makin masifnya internet dan media sosial, urusan pamer sangat mudah dilakukan.

Gejala pamer dan ingin diapresiasi menjadi penyakit kronis di era internet. Segala yang biasanya dianggap sebagai hal pribadi diumbar. Gejala ini beberapa kali ditulis sebagai narsisme 2.0 yang disebabkan media sosial.

Padahal, interaksi di media sosial membuat seseorang merasa kesepian. Kesepian ini terjadi karena berkurangnya interaksi personal yang digantikan interaksi digital. Seseorang yang tak lagi menemukan arti percakapan langsung, mengganti relasi sosialnya di dunia nyata dengan orang-orang asing di internet.

Perilaku ini dilakukan terus-menerus sehingga si pelaku merasa dirinya lebih dihargai dan berbahagia di internet daripada di dunia nyata.

Karena “Ngiclik”, PMI Hong Kong Bisa Pamer Harta Sebanyak Ini

Internet memang punya andil dalam proses keterasingan dan kesepian. Media sosial, mulai dari Facebook hingga Twitter, kata Stephen Marche, penulis dari The Atlantic, membuat kita mampu berjejaring dengan banyak orang. Tapi dengan segala kemudahan dan konektivitas itu, media sosial membuat kita lebih kesepian. Segala kesepian inilah yang membuat manusia menjadi semakin mudah depresi dan mudah sakit.

September 1998, Robert Kraut, dkk. merilis jurnal yang berisi relasi antara menurunnya kemampuan bersosialiasi pengguna internet. Dalam jurnal itu Kraut berkesimpulan bahwa internet membuat penggunanya makin jarang berkomunikasi dengan keluarga dan teman. Pada satu titik, teknologi internet akan membuat manusia menjadi kesepian. Wabah ini mengganggu kemampuan manusia untuk berfungsi secara sosial.

Gejala ini tentu bukan hal yang baru, internet beserta media sosial melahirkan kebudayaan narsisis yang membuat penggunanya merasa perlu untuk diperhatikan. Christopher J. Carpenter dari Western Illinois University, menemukan bahwa ada korelasi antara intensitas seseorang mengakses Facebook dengan narsisisme.

Hasil penelitian yang dimuat pada jurnal Personality and Individual Differences tahun 2012, menunjukkan bahwa dari 294 partisipan yang ikut penelitian ini ditemukan ada gejala orang yang sengaja mengekspos kehidupan pribadi untuk memperoleh perhatian.

Fakta Mengerikan Dibalik “Kencan Online”

Dalam artikel berjudul “Narcissism on Facebook: Self-promotional and Anti-social Behavior,” Carpenter menunjukkan bahwa ada orang yang sengaja menulis status sedih untuk mendapatkan dukungan, mengunggah foto lucu untuk dijempoli, dan beberapa bahkan memprotes jika tak mendapatkan perhatian yang ia inginkan di Facebook.

Keinginan untuk selalu diperhatikan, memuaskan ego pribadi, dan menjadi pusat perhatian, mendorong orang untuk berbuat nekat di media sosial.

Aj Agrawal pernah menulis di Forbes mengenai gejala narsisisme yang telah mencapai titik memprihatinkan. Ia menyebut milenial sebagai generasi paling narsisis dalam sejarah. Media sosial menjadi salah satu ladang tempat persemaian penyakit ini.

Eny Lor : Sebenarnya Tidak Ada Yang Ngiri Dengan Duit TKW, Tapi Risih Dengan Sikapnya Yang Kere “Munggah Mbale”

Meski demikian, ia tak menyebut setiap orang yang ada di media sosial narsisis, tetapi setiap orang yang ada di media sosial punya potensi dan tendensi untuk menjadi narsisis.

Narsisisme akut, menurutnya, berbeda dengan gangguan kepribadian yang lain. Seorang yang narsisis hanya peduli pada dirinya sendiri, ini memiliki potensi bahwa pelakunya tak mampu membentuk relasi sosial yang ajeg.

Jika dibiarkan, mereka akan terus menganggap diri selalu benar; jika terjadi konflik di dunia nyata, ini berpotensi membuat pelaku narsisis merasa jadi korban dan membuat keadaan semakin buruk. Misalnya membawa masalah personal ke ranah publik di media sosial, dan membuat mereka terancam hukum. [Naviri]

Advertisement
Advertisement