Adik Kandung Menikungku
4 min readNamaku Santi, tinggal di sebuah desa kecil pinggiran Kota Madiun. Hidup kami sederhana, makan pun terjaga dari kekurangan. Alhamdulillah. Namun, hidup bukan hanya untuk makan. Ada masa depan anak-anak yang harus kupikirkan. Mengandalkan penghasilan suami yang tidak menentu, pun belum mencukupi. Naluri sebagai wanita dan ibu membawaku pada pemikiran untuk membantu Kang Tono, suamiku, untuk mencari nafkah.
Akhirnya aku menggerakkan langkah kaki ke Negeri Beton, negeri yang terkenal dengan aktor laganya, Jackie Chan. Aku merantau bukan berarti tidak mensyukuri nikmat yang telah ada. Bukan pula bentuk keegoisan seorang istri. Namun, dengan jalan merantau inilah harapan menganyam kebahagiaan bersama suami dan anak-anak akan terwujud. Insyaallah, aamiin.
”Ini tentang rasa dan kasih yang kita jaga, Kang. Setelah sekian lama mengarungi biduk rumah tangga denganmu, kepercayaan yang sudah kita pahat dalam hati masing-masing. Aku juga ingin melakukan sesuatu untukmu dan anak-anak kita. Meskipun jarak memisah, bila setia masih di genggaman kita, aku yakin semua akan baik-baik saja dan berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Yaitu, bahagia. Rumah kita, istana berkah kita.” Aku meyakinkan Kang Tono saat meminta izin merantau.
”Jagalah anak-anak dan besarkan mereka dengan ketulusan jiwa. Aku akan tetap menjaga komunikasi dengan kalian selama di rantau,” tambahku dengan mimik memohon.
Aku pun merantau dengan bahagia. Dua tahun kontrak terasa ringan, karena majikan baik dan menghargai kinerjaku. Aku pun ada keinginan menambah kontrak, melihat anak sulung mau masuk SMP (Sekolah Menengah Pertama). Dalam pikiranku pasti biayanya makin banyak dan membutuhkan banyak buku. Apalagi Si Ragil juga masuk Sekolah Dasar (SD).
Izin dari Kang Tono kudapat dengan penjelasan panjang lebar, demi masa depan dan kebahagiaan bersama. ”Semoga surga yang aku bangun ini sampai ke jannah-Nya. Aamiin.” Doaku setiap selesai shalat.
Tahun ketiga masa kerja, adikku Mirna sudah menjanda. Suaminya, Agus, lebih memilih janda dari desa sebelah yang bakulan jamu. Mirna kupersilakan tinggal di rumahku, mengajari Si Sulung dan Ragil mengerjakan PR, pekerjaan rumah. Rasa percaya kepada mereka (Kang Tono dan Mirna) tidak akan menjalin hubungan kasih meruntuhkan debar-debar cemburu.
Ya, di samping mereka bukan mahram, mereka hanya berstatus ”ipar”. Syetan akan bahagia saat melihat dua hati kesepian itu merasakan benih-benih perselingkuhan. Cuti yang hanya dua minggu itu kugunakan sebaik-baiknya untuk membangun kepercayaan, sehingga hati agak tenang saat kembali kerja ke Hong Kong.
Di samping ada Mirna, anak-anak juga tidak terlihat rewel saat aku berpamitan. ”Ibu akan pulang dan tidak menyambung kontrak lagi tahun depan, Nak,” kataku sambil mengelus rambutnya yang wangi shampo.
Menginjak tahun keempat, bisik bisik tetangga tentang hubungan mereka semakin santer terdengar. Aku mencoba tidak percaya, namun sia-sia. Yang ada hanya obrolan tentang kalian yang memadu kasih di antara aku yang sedang bekerja di luar negeri. Ah, seandainya aku tak mengizinkan Mirna tinggal di rumahku, tentu ini tidak akan terjadi. Tapi, semua sudah telanjur terjadi, disesali pun tiada guna yang berarti.
Kepastian kabar mereka berdua menikung kudapat saat Yu Parti, tetanggaku yang cuti, beberapa hari yang lalu. Aku menitipkan barang buat anak-anak. Yu Parti kumintai tolong untuk mengantarkannya ke rumah. Selain untuk memastikan, setidaknya aku bisa melihat bahagianya anak-anak mendapat hadiah dari ibunya.
”Seluruh tulang-tulangku ngilu, Kang! Serasa lepas satu per satu dari persendiannya. Dosa apakah yang pernah aku lakukan? Hingga membuatmu berkhianat pada cinta suci ini.” Marahku pada Kang Tono, dalam gelapnya hati.
”Salahku padamu apa, Mirna, adikku yang paling aku sayangi dan andalkan? Hingga kamu tega memporakporandakan surga yang susah payah kubangun. Lima belas tahun, Dik! Bukan lima belas hari mbakmu ini membangunnya. Kamu cukup dengan beberapa bulan tinggal di rumah, istana hati ini hancur berkeping-keping. Tidak menyisakan seutas pun belas kasihan. Kepercayaan itu ternoda dusta kalian, entah atas nama cinta atau atas nama luka.” Protesku pada adikku, Mirna. Mungkin di sana dia sedang menganyam asmara, membuatnya indah dipandang tetangga. Oh, Tuhan… Berilah hamba kesabaran.
Aku makin limbung tak tentu arah. Bekerja pun tiada gairah. Aku masih belum bisa menerima kenyataan: ”adik menikung cintaku”. Kalau ini ujian keimanan, semoga aku kuat menjalaninya. Kalau ini memang takdir yang tak bisa kuubah, semoga di kemudian hari ada hikmah yang kudapatkan. Semoga menjadi penggugur dosa-dosaku di masa lalu.
Ternyata tidak mudah melewatinya dengan hati seluas samudera. Aku masih menyayangkan, masih berharap ada keajaiban. Kemantapan hati kudapat saat sering mendekat ke jalan-Nya, aku memilih berpisah (cerai) daripada menjadi madu yang pahit. Aku tidak ingin mengulang lembaran hidup yang muram dan pias.
”Pintaku hanya satu, Kang. Izinkan anak-anak tinggal bersamaku. Aku akan memulai lembaran hidup baru sebagai janda yang akan memprioritaskan kebahagiaan anak-anak,” kataku pada Kang Tono.
Namun, Si Sulung harus meninggalkanku karena kecelakaan maut itu. Sebelum aku memeluknya dengan bahagia, sebelum aku benar-benar pulang kampung untuk seterusnya. ”Ya, Rabbi… ujian-Mu begitu dahsyat.”
Saat ini masa kerjaku tinggal dua bulan lagi. Aku mantap pulang. Aku ingin mendampingi anak semata wayangku untuk selamanya. Aku tidak ingin merantau lagi, cukup sudah semua kehilangan itu. Semoga Kang Tono dan Mirna bahagia selalu. Aamiin. [Dituturkan Santi kepada Anna Ilham – Apakabar Plus]