Dirjen Binapenta : “78% PMI Asal Jawa Tengah Hanya Lulusan SMP”
2 min readSEMARANG – Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI Maruli Apul Hasoloan tidak menampik apabila segala hal terkait pekerja migran tidak sekadar menjadi isu lokal ataupun nasional, tetapi juga di dunia internasional.
“Jika melihat data, jumlah pekerja migran Indonesia atau istilah saat ini adalah PMI, setidaknya mencapai sekitar 260 ribu jiwa pada 2018 ini. Sedangkan pada 2017 lalu sekitar 250 ribu jiwa serta sekitar 275 ribu jiwa di tahun sebelumnya (2016),” ucap Maruli dikutip dari Tribun Jateng, Sabtu (21/4/2018).
Dan di Indonesia, lanjutnya, satu di antara daerah penyumbang atau yang berkontribusi cukup besar terhadap jumlah PMI tersebut yakni Jawa Tengah. Itu pula yang menjadi alasan Kemnaker berusaha turun dan menggandeng berbagai pihak di Jawa Tengah untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang ada terkait pekerja migran.
“Di Jawa Tengah, PMI terbanyak adalah ke Malaysia, Arab Saudi, Hongkong, serta Taiwan. Di daerah ini pula, rata-rata bahkan mencapai sekitar 78 persen di antaranya latar belakang pendidikannya hanya tingkat sekolah menengah pertama (SMP) ke bawah,” ucapnya.
Dia menyampaikan, berdasar data-data yang juga disinkronkan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah itu, dimana PMI nya sebagian besar berpendidikan rendah serta berasal dari pedesaan, kerapkali menjadi incaran oknum-oknum tertentu.
“Akibatnya pula tak sedikit mereka menjadi korban perdagangan tenaga kerja. Penyebabnya karena para calon pekerja migran, yang ingin bekerja di luar negeri belum memiliki akses informasi secara akurat. Masih terbatas informasi yang mereka peroleh,” jelasnya.
Di sisi lain, lanjutnya, mereka para pekerja migran ternyata juga belum mampu memanfaatkan hasil pekerjaannya di luar negeri yang dikirim ke Indonesia untuk berbagai usaha bersifat produktif.
“Keluarga pekerja migran yang ditinggalkan, yang ada di Indonesia sejauh ini juga sebatas pada mengharapkan gaji. Belum bisa apa yang didapat atau yang dikirim itu untuk pengembangan usaha produktif. Termasuk juga untuk pendidikan ataupun pelatihan bagi anak-anaknya,” ucap Maruli.
Berkaca pada itu, tuturnya, yang menjadi alasan kuat bagi Kemnaker membuat suatu terobosan. Satu di antaranya yang sedang dijalankan dan terus dikembangkan adalah pembangunan program Desa Migran Produktif (Desmigratif) bersifat koordinatif serta terintegrasi.
“Selama tiga tahun atau sejak 2017 hingga 2019 mendatang, target kami bisa mendirikan serta menjalankan program desmigratif tersebut di 400 desa yang tersebar di seluruh Indonesia, khususnya di daerah yang selama ini menjadi kantong-kantong para pekerja migran,” tukasnya.
Apabila dirinci, ucap Maruli, pada 2017 telah terbentuk sekitar 120 desmigratif. Di tahun ini atau 2018 ditargetkan bisa terbentuk lagi sekitar 130 desmigratif dan pada tahun berikutnya sekitar 150 desmigratif.
“Khusus di Jawa Tengah, bersama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah maupun para pemangku kepentingan, sejak program itu digulirkan pada 2017 lalu, telah terbentuk sekitar 28 desmigratif yang tersebar di 14 kabupaten/kota. Dan jumlah itu akan terus kami tambah,” terangnya. [Deni Setiawan]