November 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Gaya Hidup Anak PMI, Tingkatkan Perkawinan Usia Dini

4 min read

BLITAR – Secara finalsial, umumnya anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya menjadi pekerja migran ke luar negeri relatif terpenuhi. Bahkan, tak jarang, secara finansial, dalam kelompok pergaulannya, anak-anak PMI ini cenderung berada pada posisi paling memiliki finansial. Namun secara psikologis, kondisi mereka sejujurnya sangat memilukan. Ketidakhadiran orang tua secara dzahir, dituding sebagai penyebab munculnya berbagai persoalan, terkait dengan kebutuhan psikologis yang tidak bisa digantikan.

Seperti yaang dialami oleh Cinta (22),  pagi ini terlihat menggendong bayinya yang belum genap berumur 1 tahun. Perempuan muda itu, setahun lalu menikah siri dengan pria yang sudah memiliki 2 istri. Sebelumnya, dia sudah menjadi janda di usia 19 tahun, akibat perceraian dengan suaminya.

Perempuan warga Kanigoro Kabupaten Blitar ini menikah di usia 16 tahun. Karena kehamilan akibat hubungan bebas dengan kekasihnya saat kelas X SMA. Kini Cinta, tinggal di rumah hasil jerih payah ibunya bekerja di luar negeri.

Kasus Cinta ini salah satu gambaran dari sekian anak para pekerja migran di Blitar yang menjalani perkawinan di usia sangat muda. Perkawinan anak yang terjadi di Blitar masih cukup tinggi. Bahkan tahun 2017, ada 179 perkawinan anak. Ini meningkat dibanding tahun 2016 yang hanya 145 kasus.

Menurut Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama (PA) Blitar, Ropingi, permohonan dispensasi perkawinan anak, diakibatkan terjadinya kehamilan.

“Dispensasi kawin kami berikan pada pasangan anak, jika kondisi darurat atau timbul kasus. Selama tidak ada itu, kami tidak berikan dispensasi. Hampir 97% dispensasi kawin kami berikan pada pasangan akibat terjadinya kehamilan,” kata Ropingi ditemui di kantornya Jalan Imam Bonjol Kota Blitar, Kamis (21/12/2017).

Mereka yang menikah, lanjut dia, di kisaran usia 15 sampai 17 tahun. Dari jumlah 179 itu, kebanyakan berasal dari wilayah pedesaan di Kabupaten Blitar, yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai pekerja migran. Kantong-kantong pekerja migran di Blitar, sekaligus kantong perkawinan usia dini.

“Saya belum memastikan, apakah mereka semua anak para TKI itu. Namun sebagian besar  di antaranya, saat mengajukan dispensasi kawin tidak didampingi ibu calon pengantin wanita. Katanya, sedang bekerja di luar negeri. Saya kasihan juga melihatnya,” ungkap pria paruh baya itu.

Ketidakhadiran ibu dalam masa tumbuh kembang anak, dinilai sangat berpengaruh pada pola kehidupannya. Kasus pergeseran norma dan perilaku seksual menyimpang, menjadi akibat dari tidak adanya sosok ibu dalam keseharian mereka.

“Salah satu akibat tidak hadirnya sosok ibu ya tingginya perkawinan anak ini. Ibu tidak bisa memberikan empat hak dasar anak. Hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi,” jelas Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2) Kabupaten Blitar, Sri Suhartini seperti yang diberitakan detikcom.

Sementara selama tahun 2017, lanjut dia, P2TP2 dihadirkan 7 kali untuk menjadi saksi perkawinan anak di PA Blitar. Perkawinan disetujui karena terjadinya kehamilan.

“Memang benar pernyataan PA. Banyak yang tidak didampingi ibunya saat permohonan dispensasi itu. Makanya kami dampingi,” ucap ibu berhijab ini.

Sri juga menyatakan, life style ibu zaman now sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anaknya. Dia mencontohkan para pekerja PMI yang pulang ke Blitar sudah berubah secara penampilan dan pola hidupnya. Saat pulang pun, mereka lebih disibukkan bermain HP daripada memperbaiki kualitas komunikasi dengan anaknya.

“Dandannya sudah bukan seperti orang Indonesia. Membelikan barang-barang mewah seperti HP, kendaraan pada anak tanpa disertai pengajaran yang baik. Akibat dari kecanggihan teknologi tanpa didampingi orang tua, khususnya ibu yang punya domain mendidik anak di rumah. Mereka bebas pergi kemana saja, akses pornografi beredar bebas di dunia maya,” paparnya.

Menurut Sri, perempuan bekerja di luar negeri sebetulnya tidak masalah. Asal tetap menjaga kualitas dan kuantitas komunikasi dengan anak-anaknya.

“Jangankan yang TKW, yang setiap hari di rumah saja sudah banyak lho ibu-ibu korupsi. Korupsi waktu untuk anak-anaknya. Dalam sesi parenting di SD sampai SMA, kami temukan fakta, jarang sekali ada komunikasi yang hangat penuh belaian kasih sayang antara ibu dan anak. Terus kalau anak mencari kasih sayang dan perhatian itu dari teman sebayanya, ya perkawinan anak yang bakal muncul,” tandasnya.

Sementara psikolog dari Lembaga Psikologi Lazuardi Blitar, Rachmad Widiharto juga membenarkan paparan P2TP2 itu. Dalam beberapa kesempatan sesi parenting di sekolah, para siswa bercerita bagaimana mereka kehilangan sosok ibu dalam rumahnya.

“Banyak yang ibunya TKW, ada juga yang jualan di pasar selain sebagai pegawai kantoran. Memang peran mendidik anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu tapi bapak juga. Namun secara psikis, hubungan ibu dan anak memang berbeda dengan bapak anak,” ucapnya di ujung telepon.

Dalam psikologi perkembangan, lanjut dia, ada tingkah laku modeling. Perkembangan anak sangat dipengaruhi faktor lingkungan, terutama orang tuanya. Anak menjadi pengamat dan peniru ulung orang tuanya karena masih egosentris. Mereka belum mengenal norma, sehingga apa yang dilakukan orang tuanya akan ditiru mentah-mentah.

“Belum ada rule yang tepat untuk dia, berbeda dengan masa dewasa sudah bisa membedakan mana yang baik dan tidak,” katanya.

Kasus tingginya perkawinan anak di Blitar, menurut Rachmad, bisa diartikan gagalnya pola didik anak, terutama oleh ibunya.

“Rule play dari ibunya tidak ada. Interaksi berupa perilaku, pola pikir dan paham akan terbentuk sesuai file yang diduplikasi oleh anak apalagi remaja, paling besar dari ibunya,” pungkasnya. [Asa/Net]

Advertisement
Advertisement