Gerah Warganya Jadi Korban Trafficking, Pemprov NTT Lakukan Ini
2 min readKUPANG – Perdagangan manusia (trafficking), seringkali diawali dari bolon gnya sistem pengamanan di ddaerah asal seorang pekerja migran. Kompleknya permasalahan di daerah, seringkali dituding menjadi pemicu seorang BMI melakukan migrasi dengan tidak aman. Baik dari sisi prosedur, dukungan ketrampilan dan keahlian, hingga wawasan.
Secara struktural, peran serta aparatur negara diujung tombak, sebenarnya memiliki nilai strategis dan posisi yang sangat menentukan tinggi atau rendahnya angka trafficking. Namun, semaksimal apapun kinerja aparatur diujung tombak, jika tanpa koordinasi dengan aparatur pusat, efektifitasnya tidak akan terwujud.
Menyadari hal demikian, NTT sebagai salah satu Provinsi yang sering menjadi ladang trafficking, merangkul pemerintah pusat, melalui Kementrian Tenaga Kerja, membangun Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) Penempatan dan Perlindungan TKI (P2TKI). Ini adalah yang pertama di Indonesia. Layanan satu atap berupa sebuah gedung berisi seluruh pihak terkait dalam pengurusan persyaratan kerja ke luar negeri. Samuel Adu, pejabat dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi NTT kepada VOA mengutarakan keyakinannya, bahwa layanan satu atap akan mampu melawan praktek perdagangan manusia.
“NTT itu sudah darurat trafficking karena banyak masalah di sektor TKI. Selama ini, kita melihat proses keberangkatan seorang TKI saja sudah langsung mengarah ke kasus trafficking. Persoalan-persoalan itu muncul antara lain justru karena ada masalah dalam pelayanan pemerintah, misalnya karena layanan itu masih tersebar di banyak tempat, belum satu bingkai layanan. Sehingga banyak dokumen yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat. Kondisi ini yang dimanfaatkan oleh para calo dan menjadi awal dari kasus trafficking,” kata Samuel Adu.
Kantor ini akan diisi oleh perwakilan lembaga terkait, seperti dinas kependudukan, imigrasi, dinas tenaga kerja, kepolisian, pihak bank sampai asuransi. Seluruh persyaratan akan diselesaikan dalam satu gedung. Jika ada upaya pemalsuan dokumen, seperti mengubah identitas, maka akan cepat terdeteksi. “Koordinasi bisa cepat, pengawasannya mudah karena di satu tempat,” kata Samuel Adu.
Gabriel Goa Sola, pimpinan sebuah NGO anti perdagangan manusia di Kupang menyatakan apresiasinya terhadap upaya ini. Menurutnya, kehadiran lembaga satu atap ini disamping akan mempermudah kerja pemerintah mencegah perdagangan manusia, juga akan memudahkan siapapun termasuk LSM dan media untuk melakukan monitoring.
“Sesuai dengan undang-undang yang baru, Layanan Terpadu Satu Atap harus diikuti pendirian Balai Latihan Kerja, baik untuk tujuan dalam negeri maupun luar negeri. Supaya kompetensi dari setiap TKI itu dapat diketahui, sesuai dengan job order nya. Selama ini, umumnya karena untuk pelatihan itu biayanya begitu tinggi, maka para TKI ini hanya direkrut dan kemudian langsung diberangkatkan tanpa melalui pelatihan sesuai kompetensi, baik itu bahasa asing maupun ketrampilan khusus,” kata Gabriel Goa Sola.
Pendirian lembaga satu atap ini dalam waktu dekat akan segera disusul dengan pendirian Balai Latihan Kerja Luar Negeri, supaya calon BMI dari NTT tidak perlu mengikuti pelatihan di pulau Jawa seperti yang selama ini berlangsung.
“Semua diupayakan bisa beres dari sini” sambung Gabriel.
Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja Bidang Kebijakan Publik, Dr Reyna Usman, menyatakan, lembaga yang diresmikan kemarin (07/09) di Kupang NTT ini merupakan lembaga satu atap kedua setelah sebelumnya juga diresmikan lembaga serupa di perbatasan RI Malaysia. [Asa/VOA]