Menjadi Viral Di Media Sosial, Kebetulan ? Apa Direncanakan ?
3 min readSeperti diungkap pada tulisan bagian pertama, era manufactured hoax dan over connected consumers memungkinkan kita memproduksi pesan politik a la Mak Lambe Turah. Lebih tumpah hingga luber a la agensi manajemen gosip yang menggarap keluarga Kardhasian atau selebritas maju-mundur-cantik di domestik sini.
Pada taraf tertentu, over connected consumers seperti tidak peduli pada substansi informasi. Berita mengada-ada akan ditelannya, masuk ke belakang kepala, yang semula kosong, kemudian dipenuhi informasi tanpa filter.
Lalu apakah kita juga akan kehilangan akal dengan memproduksi konten ilusi yang isinya menipu? Tidak. Ada garis etik yang tetap harus dijaga, terlebih pesan yang ingin disampaikan bermuatan politik. Janji atau garansi. Pesan politik bukan hanya dikirim untuk sekadar memicu perbincangan, tapi untuk penyadaran dan ketersambungan (rasional dan emosional). Bagi parpol dan politisi, ujungnya keterpilihan.
Anggap saja fase perumusan brand positioning sudah selesai, maka tugas kandidat adalah menyebarluaskan apa yang harus publik tahu tentang dirinya. Mempengaruhi undecided dan memotivasi yang sudah komit. Khusus perumusan brand tidak dibahas dalam tulisan ini, kendati proses mencari krim seorang figur ini sering dilupakan.
Sebagai catatan, jika fase perumusan ini terabaikan, maka komunikasi politik sebetulnya tidak bisa dituangkan ke dalam strategi dan taktik. Apa yang hendak dikomunikasikan? Apa yang sosok punyai dan apa yang publik harapkan?
Wajah, pandangan, program, soft aspects (kepribadian, karakter, minat), dan hard aspects (intelektualitas, pengalaman praktis, keterampilan) harus tersampai cepat. Waktu pendek yang tersedia dan keterbatasan referensi menyebabkan jalan pintas diambil. Dalam target paling dasar kinerja media sosial, maka ‘pengikut’ dan ‘jumlah posting’ adalah yang dikejar. Beli pengikut, atau iklan berbiaya besar untuk advertising–yang legal, namun kadang salah sasaran–adalah langkah paling lumrah.
Sesuai judul, menciptakan viral adalah tema tulisan ini. Di tahun 90-an, manusia tidak terhubung satu sama lain seperti sekarang. Hubungan 24 jam melalui gawai antarpemilik akun itulah yang mempermudah penyebaran konten terjadi. Meski begitu, ‘infeksi’ dalam tingkat apa yang bisa disebut viral tidak bisa sepenuhnya distandardisasi.
Dalam tulisan sebelumnya, untuk menyederhanakan, saya tulis V = O + P + D. (V)iral content didapat dari (O)tentisitas, (P)roduksi konten multimedia dan (D)istribusi masif ke ceruk publik yang tepat sasaran. Otentisitas didapat dari penggalian dan penemuan Unique Selling Point ditambah Emotional Proposition dan pemahaman tentang perilaku apa yang sudah terbentuk pada prospek; apa konsen mereka, rasa takut, harapan, ambisi, kebanggaan dan nilai-nilai.
Tentu ini perlu pembacaan agak mendalam sebelum merumuskan pesan utama dalam komunikasi. Kekhasan adalah given tapi soal artikulasi pesan adalah soal kemasan hasil kajian.
Bagian selanjutnya adalah (P)roduksi. Bagian ini adalah mesin yang memanufaktur inti pesan menjadi beragam rupa konten, sesuai target dan kebutuhan mereka. Digital telah mengubah bentuk–bahkan menambah ragam–konten yang publik konsumsi dengan aneka platform yang tersedia sekarang. Tapi itu tak mengubah tujuan utama sebuah pesan politik yaitu ‘mempersuasi publik agar setuju dengan si komunikator’.
Jadi apapun bentuknya, produksi harus mengarahkan publik kesana. Apapun platformnya, tujuan itu harus dicapai. Setiap platform memiliki keunikan konten yang penggunanya suka.
Terakhir soal (D)istribusi. Dua hal yang perlu dicermati adalah ‘kolam’ yang diisi penghuni yang akan di-’infeksi’ dan bagaimana menularkannya. Keunikan pada konten akan membuat siapa dan bagaimana menularkannya tidak terlalu penting. Konten kuat akan menggelinding menyebar kemana-mana.
Katalisator dan opinion leader bisa dimanfaatkan untuk melakukan penyebaran, namun warganetlah yang sebetulnya punya peran besar dan utama. Murah, bahkan seringkali sukarela, dan menjalar cepat. Membedah soal viral ini, menggunakan salah satu politisi Senayan sebagai contoh, akan dibahas pada tulisan berikutnya. [Endy Kurniawan*]
Penulis adalah seorang Konsultan Media, Praktisi Komunikasi Digital dan Penulis Buku