Merry Utami Batal Dieksekusi Mati
5 min read
Dari 10 terpidana mati yang luput dari eksekusi di Nusakambangan, pada Jumat (29/07) dini hari, Merry Utami merupakan salah satu di antara mereka. Pengacaranya mengaku telah mengajukan permohonan grasi ke Presiden Joko Widodo, pada Selasa (26/07).
“Kami mengajukan grasi sebagai upaya hukum terakhir dan itu harus dihormati dan Merry seharusnya tidak dieksekusi sebelum ada putusan grasi,” kata Ricky Gunawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat.
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang kemarin sempat mengunjungi dan berbincang dengan Merri serta 4 terpidana mati perempuan lain saat mereka belum dibawa ke ruang isolasi Lapas Nusa Kambangan.
“Kami menemukan fakta adanya kerentanan berlapis terhadap nasib perempuan-perempuan ini,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah dalam konferensi pers di kantornya pada Selasa, 26 Juli.
Ia menemuan kalau sebagian besar perempuan terpidana mati memiliki latar belakang serupa: buruh migran dan lemah secara finansial. Mengutip paparan Rappler, bisa di dapatkan poin-poin penting mengenai siapa Merry Utami, dan bagaimana kronologinya sehingga eks PMI ini bisa terjerat ancaman hukuman mati.
Korban KDRT
Nasib serupa jualah yang menimpa Merri, yang sejak 1990-an sudah menjadi buruh migran di Taiwan. Kepada komisioner Komnas Perempuan, Merri mengatakan kalau awalnya dipaksa oleh sang suami.
Setelah 2 tahun berlalu, Merri mengetahui kalau suaminya ternyata tidak memanfaatkan uang yang dikirimnya dari sana dengan baik. Selama Merri membanting tulang, suaminya justru berfoya-foya dengan berjudi dan membeli miras — bahkan berselingkuh dengan perempuan lain.
Setiap kembali ke Indonesia, Merri juga kerap menerima perlakuan kasar. Pada usia 25 tahun, ia memutuskan untuk bercerai, namun tetap bekerja di Taiwan untuk menghidupi dua anaknya.
Pada 2001, ia bertemu dengan Jerry — oknum pria yang kelak menjebloskannya dalam sindikat narkoba — saat mengurus dokumen kerja di Sarinah, Jakarta.
“Jerry mengaku sebagai warga negara Kanada dan memiliki bisnis dagang di Indonesia,” kata Yuniyanti.
Berangkat dari pertemuan tersebut, keduanya kemudian menjalin hubungan asmara selama tiga bulan. Menurut pengakuan Merri, Jerry adalah sosok yang mesra dan romantis. Akhirnya, pada 16 Oktober 2001, mereka sepakat untuk melancong ke Nepal.
Keanehan muncul saat Merri, yang janjian bertemu dengan Jerry di Thailand saat transit, justru ditinggal terbang. Akhirnya, mereka bertemu di Nepal dan berlibur selama 3 hari.
Jerry akhirnya pamit duluan ke Jakarta pada 20 Oktober 2001, dengan dalih mengurus bisnis. Ia meminta Merri untuk tetap tinggal di Nepal karena ada barang yang hendak diberikan.
“Itu adalah tas tangan, karena menurut dia tas Merri sudah jelek,” kata Komisioner Advokasi Internasional Komnas Perempuan Adriana Venny. Barang tersebut baru diserahkan sepekan kemudian lewat dua teman Jerry, Muhammad dan Badru.
Merri sempat bertanya mengapa tas tersebut berat. Keduanya berkilah kalau tas itu terbuat dari kulit asli yang berkualitas bagus dan kuat. Belakangan diketahui kalau di bagian dalamnya telah disisipi heroin seberat 1,1 kilogram.
Setelahnya, pada 31 Oktober 2001, Merri kembali Indonesia lewat Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Selama penerbangan, ia membawa serta tas tangan pemberian itu di dalam kabin.
Ia sudah sempat meninggalkan bandara dan hampir menaiki taksi, saat teringat kalau kopernya tertinggal. “Merri senang sekali, karena kata Jerry kalau kembali ke Jakarta mau dinikahi,” kata Venny.
Merri masuk kembali ke bandara untuk mengambil kopernya di bagian Lost & Found. Namun, saat hendak keluar, petugas meminta supaya tas tangannya dipindai di mesin X-ray.
Karena merasa tidak menyembunyikan barang terlarang, Merri menyerahkan tasnya. Dari situlah terungkap keberadaan heroin. Panik, ia pun segera menghubungi Jerry dan teman-temannya. Namun, hasilnya nihil.
Kekerasan saat interogasi
Merri diboyong polisi bandara (Polsek Cengkareng) untuk pemeriksaan lebih lanjut. Di situ, ia menerima siksaan berupa pukulan bertubi-tubi. “Supaya ia mau mengaku sebagai pemilik heroin,” kata Venny.
Karena bungkam, ia pun dibawa ke tempat lain, yaitu sebuah hotel di mana beberapa interogator menggerayangi tubuhnya, bahkan mencoba memerkosa. Hal tersebut tidak berhenti saat akhirnya ia dibawa ke reserse narkoba Polri, yang tidak menghentikan siksaan terhadap dirinya.
“Ia sampai mengaku berpuasa supaya tidak disiksa, tapi tetap dipukuli,” kata Venny. Kondisi ini juga yang membuatnya menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanpa memahami detil dokumen tersebut.
Akibat siksaan tersebut, Merri mengalami gangguan penglihatan, di mana sering ada kilat putih yang memburamkan pandangannya.
Persidangan tak adil
Saat persidangan pertama di Pengadilan Tangerang, Merri hanya didampingi pengacara negara, yang menurut Komnas Perempuan tidak terlalu getol melakukan pembelaan. Hakim juga cenderung tutup telinga pada semua pembelaan Merri.
Dua fakta yang semakin memberatkan adalah, pandangan hakim yang tidak percaya kalau ia adalah korban penipuan. “Dalihnya, semua kurir narkoba juga selalu memakai alasan sama,” kata Koisioner Subkomisi Hukum dan Kebijakan Sri Nurherwati.
Selain itu, ternyata Merri Utami bukanlah nama asli, melainkan alias yang digunakan oleh agen perjalanan guna memuluskan dokumen Merri kerja di luar negeri.
“Menurut hakim, alasan dia mengubah nama adalah karena mau jadi kurir di Nepal. Padahal bukan,” lanjut Nur.
Atas pertimbangan tersebut, Merri dijatuhi hukuman mati pada putusan tingkat pertama. Berbagai upaya, lewat banding maupun kasasi, selalu ditolak. Permintaan Peninjauan Kembali (PK) juga ditolak.
“Sudah keluar dari Agustus 2015, tapi baru diberikan ke PN Tangerang Maret 2016,” kata Nur.
Saat ini, Merri dan pengacaranya menunggu grasi dari presiden.
Menunggu mati
Sudah hampir 15 tahun Merri mendekam di penjara. Berdasarkan wawancara Komnas Perempuan dengan petugas lapas, ia sangat aktif dalam kegiatan pembinaan.
“Ia rajin menanam tanaman organik, juga membuat lagu spiritual dan kerajinan tangan,” kata Yuniyanti. Merri juga kerap memberi penguatan kepada sesama warga binaan, terutama bagi yang mendapat pidana seumur hidup dan sesama terpidana mati.
Selama itu pula, ia diasingkan oleh keluarganya. Saat anak perempuannya menikah, mantan suami Merri mengatakan kalau “ibunya sudah meninggal.” Keluarga yang lain pun tak ada yang mencoba mengunjungi.
Satu-satunya yang masih peduli adalah sang putri yang rutin berkunjung. “Merri bilang kalau putrinya percaya dia tidak bersalah, dan itu sudah cukup baginya,” kata Yuniyanti.
Perspektif lain memandang korban
Ketua Komnas Perempuan Azriana berharap presiden akan memberikan grasi kepada Merri, dan dapat melihat permasalahan narkoba ini dari perspektif gender. “Hukuman mati hanya menghilangkan korban, tokoh, tetapi tidak jaringannya,” kata dia.
Menurut Azriana, sebenarnya yang harus dibongkar adalah jaringan sindikat narkoba, yang terus menjebak perempuan Indonesia yang miskin dan rentan untuk menjadi kurir. Bila tidak terbongkar dan para pelaku tetap berkeliaran, maka masih ada banyak Merri Utami lainnya di luar sana, yang akan terjerat. [Asa/Rappler]