Mursidi, Guru Honorer Sekaligus Pemulung Yang Peduli PMI
3 min readMataram – Mursidi bukan pemulung biasa. Dia menyebut dirinya sebagai bank sampah. Para nasabahnya adalah pedagang kecil, pemilik lapak kaki lima. Mereka menabung di Mursidi dengan sampah. Lalu, Mursidi membayar dengan beras, pulsa listrik, dan aneka barang jualan.
Dusun Pesanggrahan, Desa Pesanggrahan, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur ini merupakan salah satu “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” alias guru dengan status honorer di SMPN 1 Montong Gading. Alumni sebuah Perguruan Tinggi Swasta di NTB ini lahir dan besar dari lingkungan Pekerja Migran. Orang tua, tetangga, dan mayoritas warga di lingkungannya berprofesi sebagai pekerja migran yang tersebar di berbagai negara tujuan penempatan PMI.
Kecamatan Pesanggaran, merupakan Kecamatan Kantong PM I terbesar di Kabupaten ini. Namun, apakah dengan predikat sebagai Kecamatan terbesar kantong PMI kemudian memiliki korelasi yang signifikan terhadap kesejahteraan warganya, terutama secara finansial ? Ternyata tidak.
Hal inilah yang menjadi kegelisahan Mursidi. Bapak satu anak ini prihatin melihat kampung halamannya. Setiap kali mendengar maupun melihat informasi PMI meninggal dunia, PMI teraniaya, PMI terlantar, bagaikan teriris hatinya, lantaran terbayang wajah kerabat dan saudara sekampungnya yang sedang bekerja di luar negeri.
Bagaimana Mursidi mengawali kebiasannya ini ? Kepada awak harian lombok, Mursidi menuturkan, awalnya banyak yang mencibir kegiatannya ini. Sarjana pendidikan kok jadi pemulung. Apalagi beberapa kali dia bertemu dengan siswa siswinya. Maklum saja siswa siswi sekolah tempatnya mengajar berasal dari desa-desa di Kecamatan Montong Gading. Sementara Mursidi setiap hari keliling desa di Montong Gading. Seorang siswa pernah menegurnya di jalan saat dia mengambil karung berisi sampah. Lain waktu siswanya menanyakan apakah Mursidi tidak malu. Begitu juga dengan rekannya sesama guru dan staf di SMPN 1 Montong Gading.
“Lama-lama biasa, malahan sekarang kalau ada rekan di sekolah yang punya sampah saya yang ambil,’’ kata Mursidi.
Mursidi punya pandangan tersendiri tentang mencari nafkah. Latar keluaarga dan lingkungan PMI lah yang menginspirasi Mursidi untuk melakukan semua ini. Bukan hanya untuk dirinya, namun Mursidi bercita-cita ingin memutus mata rantai PMI khususnya di lingkungannya sendiri dengan membedah wawasan orang-orang dilingkungan sekitarnya.
Menjadi guru adalah harapan orang tuanya, dan Mursidi melakoni itu. Tapi dalam hati kecilnya dia melihat banyak potensi di desa yang disia-siakan begitu saja. Banyak usaha yang sebenarnya bisa dilakoni untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Jika diseriusi bisa menjadi pekerjaan pokok. Mursidi melihat tidak banyak anak muda di kampungnya melihat potensi itu.
Melakoni sebagai pemulung dan pedagang keliling, sekaligus guru, Mursidi ingin menunjukkan dirinya yang sarjana tidak mau melakukan pekerjaan itu. Menjadi sarjana bukan berarti gengsi melakukan pekerjaan yang dinilai hanya untuk orang tidak berpendidikan. Justru dengan pendidikan tinggi itu, pekerjaan itu bisa bernilai lebih. Mursidi tidak sekadar membeli dan menjual barang bekas, tapi dia juga membantu ratusan warga kurang mampu. Mengubah sampah jadi duit. Sehari perputaran uang dari barang yang dijual, sampah yang dikumpulkan, produksi olahan makanan titipan anggota kelompok usaha bisa mencapai Rp 1.000.000.
“Saya sebagai perantara produk teman-teman di sini ke kios,’’ katanya.
Mursidi juga terus mencari informasi bisnis baru. Belakang ini dia dan istrinya mencoba memproduksi tempe sendiri. Mencari referensi tentang usaha tempe, dan Mursidi akan mencoba memasarkannya. Sebagian besar barang yang dijual Mursidi memang diambil dari distributor, tapi kelak dia berharap barang yang dijual adalah produksi warga di desanya. Untuk itu Mursidi selalu membaca peluang bisnis baru. Mencoba usaha itu, dan jika berhasil dia senang jika ada orang lain mengikuti. Seperti menabung dengan sampah yang awalnya diikuti satu atau dua orang tetangganya. Kini merembet ke desa lainnya di Kecamatan Montong Gading. Langkah kecil dari Dusun Pesanggrahan kini meluas menjadi kecamatan.
Cita-cita kongkrit Mursidi adalah membuat keluarga PMI menjadi produktif di kampung sendiri. memutus mata rantai perdagangan manusia, tidak selalu dengan berkoar-koar dengan spanduk dan berjalan kaki di jalan raya. Mursidi mencontohkan dengan kiprah nyata. [Asa/r2]