Naiknya Status Merapi, Membuat Warga Lereng Merapi Lakukan Ronda Malam
2 min readMengantisipasi dan mewaspadai meningkatnya status Gunung Merapi, masyarakat Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, mulai mengaktifkan kegiatan ronda malam sebagai bagian kesiapsiagaan menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi.
“Setiap desa sudah mengaktifkan ronda malam, dilakukan oleh warga, relawan dan organisai pengurangan risiko bencana (OPRP). Tujuan agar masyarakat lebih siap jika sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” jelas Kepala Desa Krinjing, Ismail, Jumat (25/5/2018).
Seperti diketahui, sekitar sepekan ini Gunung Merapi mengalami peningkatan aktivitas ditandai dengan beberapa letusan freatik. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaa Geologi (BPPTKG) pun telah menaikkan status dari normal menjadi waspada sejak Senin (21/5/2018) lalu.
Desa ini terletak sekitar 6-7 kilometer dari puncak Gunung Merapi dan masuk kawasan Rawan Bencana (KRB) III, sehingga dinilai paling rawan terdampak jika erupsi sewaktu-waktu terjadi. Desa Krinjing terdiri dari 10 dusun dengan jumlah penduduk mencapai 2.198 jiwa.
“Pada letusan pertama pada Jumat, 11 Mei 2018 lalu, kami sempat cemas, tapi selanjutnya kami sudah lebih tenang tapi tetap waspada,” katanya.
Selain di Magelang, di Boyolali, Warga di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali menggelar ronda malam di 30 titik guna memantau kondisi Gunung Merapi saat hari gelap. Mereka mulai membutuhkan dukungan logistik karena bantuan dari Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Jawa Tengah dan Boyolali baru sebatas untuk keperluan pengungsi.
Sekretaris Desa (Sekdes) Tlogolele Neigen Achtah Nur Edy Saputra mengatakan, ronda malam dilakukan di seluruh Dukuh yang ada di wilayahnya. Untuk satu dukuh terdapat dua atau lebih titik ronda.
“Termasuk di Tempat Penampungan Pengungsi Sementara (TPPS) di Dukuh Tlogolele warga juga bersiaga jika ada pengungsi datang,” ungkap Neigen Achtah Nur Edy Saputra Jumat (25/5/2018).
Dengan status Gunung Merapi yang naik dari level aktif normal ke waspada, maka kegiatan pemantauan malam hari secara visual digiatkan. Sehingga ketika ada kejadian bisa langsung menginformasikan kepada masyarakat sekitar.
Hanya saja, kegiatan itu juga membutuhkan dukungan logistik. Diantaranya gula, kopi, teh dan makanan ringan. Warga selama beberapa hari menggelar ronda harus patungan membeli kebutuhan itu. Ada juga yang sukarela membawa untuk dikonsumsi bersama. Sementara bantuan dari BPBD Jateng maupun Boyolali baru menjangkau untuk kebutuhan pengungsi.
Di antaranyaa peralatan makan, peralatan kebersihan, tikar, perlengkapan mandi, dan mi instan. “Ada juga kopi sachet tapi jumlahnya tidak mencukupi untuk dibagi ke seluruh titik ronda,” terangnya.
Padahal itu satu titik ronda jumlah warga yang berjaga mencapai sepuluh orang. Pihaknya berharap instansi terkait juga memikirkan kebutuhan logistik bagi para peronda. Sebab jika terus menerus biaya sendiri, diakui tentu kantong warga bakal jebol.
Padahal kondisi Merapi tidak bisa ditentukan apakah kembali normal atau terus naik statusnya. “Pada Kamis malam hingga Jumat siang kondisinya tenang,” terangnya.
Tidak seperti beberapa hari sebelumnya yang mengalami erupsi freatik dengan suara gemuruh, kepulan asap membumbung hingga menyemburkan abu vulkanik. Namun demikian, warga tetap waspada mengingat gunung yang ada di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta itu telah memasuki erupsi magmatis. Warga tidak mau lengah dan terus meningkatkan kewaspadaan.
Kegiatan serupaa juga di gelar warga di Balerante Klaten dan warga Cangkringan Sleman. Pengalaman buruk di masa silam saat Merapi mengalami erupsi besar tahun 2010, menumbuhkan kesadaran mereka untuk berswadaya melakukan ronda. [Net]