Pasal Karet Banyak Di Temukan Di RUU PPMI
2 min readJAKARTA – Sidang paripurna DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI). Undang-undang tersebut merupakan revisi UU Penempatan dan Perlindungan Buruh Migran Ke Luar Negeri. Namun, undang-undang baru ini punya sejumlah kelemahan.
Koordinator Jaringan Buruh Migran (JBM), Savitri Wisnuwardani mengapresiasi pengesahan UU PPMI oleh DPR. Dia menerangkan, ada perubahan signifikan pada UU PPMI. Mulai dari definisi buruh migran dan anggota keluarga telah sesuai dengan konvensi PBB 1990.
“Konvensi PBB 1990 masuk dalam konsideran, sehingga pengakuan hak-hak buruh migran lebih banyak, salah satunya kebebasan berserikat, perlindungan sosial, ekonomi dan hukum,” katanya.
Berikutnya, pendidikan dan pelatihan menjadi tanggungjawab pemerintah. Hal ini tentu akan meningkatkan keterampilan calon pekerja migran tidak hanya formalitas, dan mengurangi biaya penempatan hingga 8 juta.
Meski demikian, JBM menemukan ada kelemahan dari UU PPMI. Di antaranya, mekanisme penempatan masih harus melalui PJTKI, perjanjian kerja belum memastikan berlaku di kedua negara dan mekanisme penyelesaian sengketa belum memasukkan qoasi peradilan, jaminan sosial belum mencakup risiko yang sering dialami buruh migran yakni PHK sepihak dan gaji tidak dibayar.
“Selain itu, pelibatan peran serta masyarakat masih lemah, karena dalam pelaksanaan pengawasan pelindungan berkata ‘dapat’ melibatkan masyarakat,” ujar Savitri.
Terkait sanksi pidana, masih terdapat sejumlah kelemahan. Mulai dari beberapa sanksi tidak mencantumkan hukuman minimal, korban berpotensi kembali menjadi korban karena memiliki peluang untuk dihukum, pengurus korporasi tidak dipidana, hingga mekanisme penyelesaian sengketa dimana pemerintah tidak membuat kuasi peradilan dan berpotensi cuci tangan dari tanggungjawab perlindungan bagi buruh migran.
“Kami berharap kelemahan ini dapat diatur di peraturan turunan dengan melibatkan buruh migran, organisasi/serikat buruh migran dan organisasi yang peduli kepada buruh migran,” tandasnya.
Apresiasi serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo. Kata dia, ada perubahan-perubahan signifikan dalam UU PPMI terkait tata kelola migrasi tenaga kerja, terutama dengan adanya penguatan peran negara. Tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga pengakuan yang signifikan atas peran pemerintah di tingkat daerah.
“Hal ini memperlihatkan komitmen menghadirkan negara dalam memberikan perlindungan pada buruh migran, mengakhiri proses sentralisasi tata kelola migrasi tenaga kerja yang eksploitatif, serta mendorong tanggung jawab dan rasa kepemilikan dari pemerintah daerah mengenai perlindungan buruh migran Indonesia,” katanya.
Hal lain yang patut mendapat apresiasi adalah UU PPMI mengamanatkan, tidak boleh ada pembebanan biaya penempatan terhadap buruh migran Indonesia. “Amanat ini harus benar-benar terwujud dalam implementasi kebijakan dan tidak boleh disabotase pada peraturan-peraturan pelaksananya,” imbuh Wahyu.
Namun demikian, pihaknya melihat ada beberapa kelemahan. Kelemahan itu terlihat dari Bab dan pasal tentang pelaksana penempatan, kelembagaan serta pasal-pasal yang memiliki potensi sebagai pasal karet yang bisa dibajak sehingga berpotensi melahirkan peraturan pelaksana yang merugikan buruh migran Indonesia.
“UU PPMI masih menyimpan potensi konflik kelembagaan mengenai kewenangan Kementerian dan Institusi/Badan Non Kementerian dalam tata kelola perlindungan buruh migran,” terangnya.
Dia menambahkan, pasal-pasal mengenai pembinaan dan pengawasan juga berpotensi sebagai pasal karet. “Dia bilang, tidak ada elaborasi mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan apa yang seharusnya dilakukan,” tandasnya. [Asa/Berbagai Sumber]