Pekerja Migran Di Pusaran Pemerasan
3 min readSungguh ironis nasib yang dialami pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri karena ternyata julukan mereka sebagai pahlawan devisa hanyalah ilusi, justeru ekploitasi dan pemalakan dilakukan terhadap mereka di dalam negeri, sejak pengurusan dokumen keberangkatan sampai kembali.
Sudah menjadi rahasia umum, walau sudah diramaikan media massa berkali-kali, belum tampak upaya serius pemerintah untuk membebani persoalan ini secara tuntas. Misalnya untuk biaya pembuatan paspor khusus PMI, ditetapkan Rp 50-ribu karena disubsidi, tetapi akibat praktek percaloan, biayanya bisa membengkak menjadi Rp500-ribu.
Tercatat saat ini, jumlah PMI ilegal diperkirakan sampai 6,5 juta orang yang tersebar di 142 negara, berasal dari 392 dari 500 kabupaten di Indonesia.
Pengurusan pemberangkatan yang rumit dan berbelit-belit semakin menggiring PMI dalam jeratan calo serta obyek “bancakan” oknum-oknum di tingkat kelurahan, kantor imigrasi mau pun Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang niat sebenarnya dibentuk untuk mempermudah calon PMI.
Seorang calon PMI terlebih dulu harus mengurus berkas kependudukan seperti keterangan status perkawinan, izin suami atau isteri bagi yang sudah menikah atau izin wali yang diketahui lurah atau kepala desa, sertifikat kompetensi kerja dan keterangan sehat merujuk hasil tes.
Akibat rumitnya pengurusan dokumen yang diperlukan, para calon PMI biasanya pasrah untuk menyerahkannya pada perusahaan sponsor atau Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Dokumen-dokumen yang diperlukan juga bisa direkayasa sesuai kebutuhan, yang penting asal bisa membayar. Lebih tidak lengkap, tentu lebih tinggi ongkosnya.
Harian Kompas (20/5) mengungkapkan, misalnya Eva (23) warga Desa Trisi, Indramayu yang ingin mengadu nasib di Singapura, bingung mengurus berkas-berkas yang diperlukan dan tidak tau persis besarnya biaya yang diperlukan dan baru mengetahui dari kakaknya yang lebih dulu menjadi PMI di negara jiran itu.
Eva baru paham, biaya perusahaan diurus oleh penyalur dan harus dilunasi melalui pemotongan gaji saat ia sudah bekerja di negara tujuan. Banyak PMI sengsara karena pemotongan gaji dilakukan semaunya oleh penyalur.
Pulang Dari Malaysia, Jaelani Dalam Kondisi Terluka, Di Hong Kong Istrinya Ngacir Tanpa Kabar Berita
Tidak tampak ada calo di kantor LTSA Indramayu, namun di kantin belakang, sekitar lima sampai 10 calo terlihat sedang sibuk mengurusi berkas permohonan penerbitan paspor calon PMI.
Namun seperti biasa, hal itu dibantah oleh Koordinator LTSA Indramayu yang juga menjabat Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja Ali Alamudin yang menyebutkan, jika ada yang ikut mengurus penerbitan paspor calon PMI dipastikan bukan calo, tetapi pegawai perusahaan penyalur tenaga kerja yang mendampingi mereka.
Selain pengurusan paspor (dengan biaya resmi Rp50-ribu), LTSA mengelola layanan pemeriksaan kesehatan dengan biaya Rp360-ribu, BPJS Ketenagaan Rp355-ribu dan perekaman biometric Rp55.000 atau seluruhnya Rp 715-ribu. Namun akibat ulah calo, biaya tersebut membengkak hingga Rp1,2 juta.
Sedangkan menurut Direktur Eksekutif Migran Care Wahyu Susilo, yang menjadi bagian PPTKIS seharusnya sebatas penempatan PMI, namun kenyataannya, mereka mengambil keuntungan dari setiap proses yang dijalani calon PMI mulai dari pemeriksan kesehatan hingga pembuatan dokumen kependudukan. Seluruh biaya ditanggung PMI, sedangkan PPTKIS biasanya memiliki klinik pemeriksaan sendiri dan juga perusahaan perjalanan untuk mengurusi tiket calon PMI.
Perbaikan sistem pemberangkatan PMI memang layaknya dibenahi karena rumitnya proses dan besarnya biaya dan juga pemotogan gaji yang tidak jelas kerap menimbulkan persoalan bagi PMI.
Sebaliknya, Direktur Penempatan dan Perlindungan Kerja Luar Negeri Depnaker Soes Hindharno megemukakan, sesuai amanat UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia seharusnya biaya keberangkatan tidak dibebankan pada PMI.
Menurut dia, untuk melepaskan PMI dari beban biaya, pihaknya telah melakukan pembahasan terkait pesyaratan PMI yang digolongkan sebagai beban dan persyaratan bersama dengan 24 kementerian dan lembaga terkait dan kesimpulannya, PMI dibebaskan dari biaya pembuatan dokumen indentitas diri hingga paspor, pelatihan keterampilan dan pemeriksaan kesehatan.
Jadi yang ditanggung calon PMI hanya pembuatan visa kerja dan tiket pesawat, itu pun sedang dinegosiasi melalui MOU dengan pemerintah negara tujuan agar biayanya ditanggung oleh mereka.
Menurut catatan, aksi pemerasan atau pemalakan juga masih dilakukan oleh oknum-oknum petugas Imigrasi di bandara-bandara ketibaan PMI di tanah air bahkan oleh supir-supir kendaraan saat mereka menuju kampung halaman. Demi melindungi PMI, pemerintah pernah mengharuskan PMI menggunakan bus-bus yang dikelola oleh Yayasan Kepolisian di Badara Soekarno-Hatta, Cengkareng, namun tetap saja sebagian PMI mengalami pemerasan.
Penulis sendiri pernah setibanya dari ibadah umroh “digiring” oleh oknum petugas imigrasi karena disangka PMI dan baru dipersilahkan keluar pintu pemeriksaan tanpa dimintai apa-apa setelah sang oknum mengetahui identitas penulis.
Pembinaan dan pengawasan secara serius perlu dilakukan oleh instansi terkait untuk melindungi para pahlawan devisa yang juga menjadi tulang punggung ekonomi keluarga-keluarga di kampung halaman mereka menjadi mangsa oknum-oknum aparat.
Jika tidak, julukan pahlawan tanpa devisa hanyalah atribut tanpa makna. [Nanang]