April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Rumah Tanggaku, Malapetaka Bagi Anakku

5 min read

Kalau saja suamiku bisa menjadi imam, tentu aku tidak akan mengajukan gugatan perceraian. Bertahun-tahun lamanya aku berjuang mengumpulkan dolar, di kampung halaman suamiku menghabiskannya dengan foya-foya dan main perempuan. Sampai anak kami satu-satunya terlantar.

Saat menikahi aku pada 17 tahun yang lalu, rumah tangga kami relatif tidak ada masalah meskipun suamiku secara ekonomi tidak memiliki penghasilan tetap. Sebagai anak tunggal, suamiku terbiasa hidup dimanja di masa kecilnya, hingga saat dewasa, kemandiriannya kurang ideal. Sandaran hidup rumah tangga kami hampir sepenuhnya pada set kekayaaan mertuaku mulai dari tempat tinggal hingga hasil panenan dari sawah dan ladang. Kedua mertuakupun sepertinya memaklumi kondisi anak tunggalnya yang demikian. Seluruh aset kekayaan yang mereka miliki diserahkan kepada kami sepenuhnya melalui suamiku.

Ketidak mampuan suamiku mengelola aset kedua orang tuanya inilah yang menyebabkan sedikit demi sedikit aset kedua mertuaku habis dijual untuk pengobatan ayah mertuaku yang sakit-sakitan. Hingga saat ayah mertuaku meninggal dunia, sebagian besar tanah dan harta bergerak telah berpindah tangan. Menyadari hal demikian, aku mulai berpikir jauh kedepan. Tidak bisa seterusnya hidup menggantungkan pada mertua. Sedangkan dimasa yang akan datang, beban tanggung jawab kami sebagai orang tua tentu semakin berat. Secara finansial, anak semata wayang kami bertambah besar, memerlukan biaya pendidikan. Hal itulah yang melatarbelakangi aku untuk nekat melangkahkan kaki mencoba peruntungan bekerja di Hong Kong.

Aku terbang ke Hong Kong saat anak laki-lakiku satu-satunya masih berusia 8 tahun. Saat itu dia duduk di bangku kelas 3 MI. Aku berangkat dengan restu dari suami, anak dan ibu mertuaku. Hingga sesampai di Hong Kongpun aku merasakan jalanku lancar dan relatif tidak ada kendala. Aku yang baru pertama kali bekerja ke luar negeri bisa menikmati gaji full. Kemampuan bahasa Inggris yang aku dapat dari bangku sekolah cukup membantu aku beradaptasi di Hong Kong. Aku bekerja pada sebuah keluarga berkebangsaan USA.

Dua tahun pertama aku bekerja, seluruh gajiku aku kirim pulang. Dibawah pengelolaan suamiku, alhamdulilah gajiku bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka, meskipun hanya sedikit saja yang bisa disisihkan menjadi saldo tabungan. Namun, memasuki tahun ketiga aku bekerja di Hong Kong, ibu mertuaku sakit-sakitan dan beberapa bulan kemudian meninggal dunia. Dari sinilah awal petaka rumah tanggaku terjadi.

Masih seperti waktu-waktu sebelumnya, aku selalu mengirimkan hasil kerjaku ke suamiku untuk keperluan hidup suami dan anak kami. Namun, aku tidak mengirimkan seluruhnya, melainkan aku menyisihkan 1000 dolar untuk aku tabung di rekeningku sendiri. Aku melakukan hal ini sebab berkaca dari pengalaman dua tahun sebelumnya, hampir seluruh uang kirimanku habis dikonsumsi. Gaya hidup suamiku berubah. Suka hidup mewah dan boros. Tidak sedikitpun terpikir untuk menyisihkan uang kiriman menjadi sesuatu yang produktif. Untuk modal usaha misalnya. Aku melakukan penataan keuangan tersebut tentu sepengetahuan suamiku. Dan suamiku mengijinkannya.

Beberapa bulan setelah manajemen keuangan tersebut kami jalankan, gelagat aneh mulai terlihat pada suamiku. Dia sering tidak pulang tanpa pesan kepada anak kami yang ditinggal di rumah. Jika sudah demikian, dengan terpaksa harus merepotkan tetangga untuk menemani dan memberi makan. Suamiku juga sulit dihubungi. Saat kami bisa terhubung, kepadaku, suamiku mengaku kalau dia mencoba membuka jalur bisnis sayur mayur. Tentu hal tersebut sangat menggembirakan hatiku. Sebab selama menjadi suamiku, belum pernah aku dinafkahinya dari hasil keringat dia sendiri. Semuanya berasal dari aset mertuaku yang kini telah habis.

Setahun pertama suamiku mengaku menjalankan usaha berdagang sayur-mayur, belum bisa menghasilkan keuntungan. Suamiku mengaku beberapa kali ditipu makelar. Akupun bersabar, tidak menekan dia untuk memiliki penghasilan. Namun menjelang cuti tahun ke delapan aku bekerja di Hong Kong, semuanya mulai terkuak. Suamiku ternyata bermain serong dengan seorang perempuan.

Berdagang sayur mayur yang selama ini diceritakan suamiku seluruhnya adalah bohong. Suamiku tidak pernah melakukan hal tersebut. Yang sebenarnya terjadi, ternyata suamiku menjalin hubungan dengan seorang PMI Hong Kong yang terpaksa pulang lantaran hamil dengan suamiku. Entah bagaimana mereka berkenalan, yang pasti, saat PMI tersebut pulang liburan, perbuatan terlarang telah mereka lakukan berkali-kali hingga saat si perempuan tersebut kembali ke Hong Kong, beberapa waktu kemudian kedapatan hamil.

Saat aku cuti pulang, aku berusaha membuktikan kebenarannya. Dan ternyata informasi tersebut benar adanya. Cuti pulang bukan aku manfaatkan untuk melepas kepenatan, lantaran, hampir seluruh waktuku saat cuti tersita untuk mengurus perceraian. Sejak saat itu, aku memindahkan anakku ke kampung halamanku. Aku menitipkan anakku pada ibuku. Kemudian aku kembali lagi bekerja ke Hong Kong.

Perceraian tersebut, ternyata berdampak luar biasa pada kondisi kejiwaan anakku. DI usianya yang telah memasuki usia belasan, anakku yang telah duduk di bangku MTs, sudah memiliki nalar dewasa dimana dia bisa mengetahui dan memahami perpisahan kedua orang tuanya. Anakkupun telah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Lantaran hal tersebut, keseharian anakku berubah menjadi pemurung, dan mogok sekolah.

Di Hong Kong, aku yang menerima kabar tersebut dari ibukupun tak kalah paniknya. Aku berusaha merayu dan memberi pemhaman kepada anakku untuk bersemangat dan bangkit. Aku mengingatkan prestasi akademik dia saat masih duduk di bangku MI selalu masuk rengking 5 besar saat raport dibagikan. Aku mengingatkan prestasi dia saat memenangkan berbagai kejuaraan lomba. Namun anakku hanya diam saja. Tak sepatah katapun keluar darinya.

Anakku yang bolos sekolah di kelas dua MTs selama beberapa bulan, menghabiskan waktunya untuk memancing ikan. Awalnya aku membiarkan saja apa yang dia lakukan messkipun aku juga menahan kesedihan dengan yang terjadi padanya. Namun, rupanya aktifitas dia memancing ikan tersebut tidak bisa menjadi katarsis atas tekanan psikologis yang mendera jiwanya. 3 bulan anakku bolos sekolah, anakku mengalami depresi.

Aku meminta ijin kepada majikanku untuk cuti ke kampung halaman dengan menceritakan seluruh kondisi yang terjadi pada rumah tanggakku, dan pada anakku. Alhamdulilah, majikanku mengijinkan. Dalam perjalanan pulang, pikiranku menjadi gamang. Niatku bertahan bekerja di Hhong Kong adalah untuk memberi anakku masa depan, namun kenyataannya, anakku justru hidup dengan jiwa tertekan.

Dua bulan aku mendampingi anakku. Aku bawa dia ke seorang ustadz untuk dirukiyah. Dan alhamdulilah, hasilnya menggembirakan. Anakku kembali bisa membawa dirinya pada realitas hidup sehari-hari. Dan pada tahun ajaran berikutnya, anakku kembali ke sekolah lagi, mengulang di kelas 2.

Namun, entah bagaimana awalnya, anakku yang saat ini telah duduk di bangku kelas 1 sebuah MA, tiba-tiba di jalan bertemu dengan bapaknya. Tanpa banyak bertanya, anakku langsung memberhentikan bapaknya yang saat itu sedang berboncengan dengan istri mudanya sekaligus anaknya yang masih balita. Tak berhenti sampai disitu, tiba-tiba anakku menganiaya secara fisik bapaknya. Istri mudanya yang bermaksud membelapun ikut menjadi sasaran amukan anakku. Lantaran peristiwa itu, anakku harus meringkuk di sel tahanan selama 3 bulan lamanya. Beruntung, pihak sekolah tempat anakku belajar bisa memaklumi kenapa peristiwa itu terjadi. Dan aku sangat bersyukur, anakku masih tetap diterima di sekolah tersebut setelah 3 bulan bolos lantaran menjalani kurungan.  [seperti dituturkan Yati kepada Asa dari Apakabaronline.com]

Advertisement
Advertisement