April 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Media Malaysia, Selalu Menjelek-Jelekan BMI (Resensi Buku Melihat Indonesia Dari Luar)

2 min read

MALANG – Indonesia dan Malaysia secara geografis berdekatan. Keduanya memiliki kesamaan sosial budaya serta berasal dari satu rumpun Melayu. Kedekatan dan kesamaan tersebut beberapa tahun belakangan tidak lagi mesra karena dua juta lebih warga Indonesia tinggal di Malaysia. Sebagian besar Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang senantiasa diberitakan negatif. Ada juga perebutan negeri tersebut terhadap beberapa budaya Indonesia.

Masalah tersebut diamati beberapa penulis dalam buku ini. Mereka adalah akademisi Indonesia yang sedang melanjutkan pendidikan di Malaysia. Berita negatif tentang TKI didasarkan pada penelitian Nasrullah Ali Fauzi terhadap koran nasional Malaysia. Kendatipun penelitian ini sudah lama, tahun 2007, masih dianggap relevan oleh Tyas Maulita, penulis artikel ini, untuk diangkat kembali karena masih banyak berita yang mendiskreditkan TKI (hlm 191).

Empat koran yang diteliti adalah Utusan Malaysia, Berita Harian, New Strait Times, dan The Star. Media massa sangat berpengaruh untuk membentuk opini tentang suatu kejadian. Media massa menggiring pandangan masyarakat Malaysia dan opini dunia tentang TKI secara negatif.

Padahal, berita yang diangkat tidak selalu berangkat dari fakta. Ia bisa berupa secuil kejadian yang digeneralisir. Ada juga pandangan kelompok tertentu lalu dipukul rata seolah kenyataan keseluruhan TKI. Motif dasarnya jelas terkait dengan kepentingan politik tertentu. Ada juga kepentingan bisnis media guna menaikkan rating dan kebijakan redaksional yang sejak awal memang miring terhadap TKI (hlm 194).

Menurut Fauzan Rezki, secara individual, potensi orang Indonesia mengalahkan orang Malaysia. Namun secara organisatoris, orang Malaysia jauh lebih unggul. Di kalangan akademisi Indonesia yang tinggal di Malaysia ada pemeo, “Satu orang Indonesia jauh lebih unggul dari satu orang Malaysia. Namun 10 orang Malaysia akan mengungguli 10 orang Indonesia (hlm 165).”

Fauzan mengambil sampel sederhana untuk mendukung. Misalnya TKI sebagian besar asisten rumah tangga. Seharian mereka bisa mengerjakan seluruh urusan rumah tangga – di tambah pekerjaan sampingan – yang tidak mampu dilakukan sebagian besar orang Malaysia. Di dunia akademisi, asisten penelitian asal Indonesia senantiasa didulukan lebih mudah diterima karena banyak profesor Negeri Jiran ini berkeyakinan bahwa orang Indonesia ulet dan senantiasa berpikir out of the box.

Potensi demikian sayangnya di Indonesia tidak ditumbuhkan dalam tradisi organisasi yang kondusif sehingga tidak berkembang maksimal. Ini bisa dilihat dari kurangnya apresiasi, kedisiplinan, dan ketaatan peraturan. Akibatnya potensi orang Indoenesia yang luar biasa justru tumbuh dengan subur di negeri orang.

Di Malaysia, pengaruh orang Indonesia sejak lama sudah ada dan masih kuat hingga sekarang. Di Selangor, sebagian besar keturunan Jawa. Empu Daeng yang pertama membangun daerah ini. Keturunannya hingga sekarang masih banyak menggunakan bahasa Jawa. Sangat masuk akal wayang kulit, hadrah, kuda lumping dan tradisi Jawa lain mudah ditemukan di Malaysia.

Desas-desus bahwa Malaysia banyak mencuri tradisi Indonesia sepenuhnya tidak benar karena yang memainkannya orang Jawa sendiri. Mereka ingin melestarikan tradisi nenek moyang dalam momen pemanggilan roh dari khayangan, sakralitas pernikahan, dan sebagainya. “Budaya-budaya itu mungkin bisa hidup subur di tanah orang, namun tidak pernah melupakan asalnya,” kata Desi Lastati (hlm 153).

Kelompok penulis ini pernah menerbitkan buku Orang Indonesia Kok Dilawan. Buku kedua ini menganalisis tentang pandangan orang Malaysia terhadap Indonesia yang jarang diangkat media. [Penulis :  Finsa Adhi Pratama ]

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri Malang

Advertisement
Advertisement