April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Anak Muda Semakin “Doyan” Hijrah Tinggalkan Desa. Bagaimana Ini ?

2 min read

Aku anak desa, lulusan S.M.A. Punya cita cita membangun negara. Kusingsingkan lengan, ku pergi ke kota. Cari pengalaman, menambah diploma. Semangat menyala dalam dada. Melamun aku dalam kereta. Ingin aku menyumbang tenaga. Pasti aku kan membangun desa.”

Seakan menjadi doa, lirik lagu yang populer di awal tahun 1980-an tersebut kini nyata adanya.

Minat generasi muda di perdesaan untuk bekerja di sektor pertanian terus menurun seiring dengan banyaknya persoalan yang melingkupi sektor tersebut. Bermigrasi menjadi pilihan utama.

Direktur  Eksekutif Akatiga, Pusat Analisis Sosial, Fauzan Djamal menjelaskan temuan tersebut muncul dari hasil penelitian berupa survei dan wawancara mendalam terhadap 220 anak muda baik laki-laki dan perempuan di 6 kabupaten di Indonesia.

“Anak muda desa baik laki-laki maupun perempuan tidak tertarik bertani di masa depan. Mereka lebih memilih untuk migrasi, bahkan unsafe migration ke daerah lain dan bahkan ke luar negeri menjadi TKI yang dianggap menawarkan lebih banyak kesempatan kerja,” ujarnya, Rabu (2/5/2018).

Akibatnya, ujar dia,  dalam 30 tahun terakhir usia petani di Indonesia semakin tua. Kelompok usia petani di bawah 35 tahun menurun dari 25% menjadi 13%, dan petani yang berusia di atas 55 tahun meningkat dari 18% menjadi 33%.

Padahal, berdasarkan  data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)2017, jumlah anak muda di Indonesia adalah 63,36 juta jiwa, atau sekitar 25% dari total penduduk Indonesia, yang potensial untuk pengembangan ekonomi.

Sektor pertanian dan perkebunan pun menempati urutan kedua dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 20,79% setelah sektor perdagangan, restoran dan akomodasi yang mencapai 25,57%. Namun, menurunnya antusiasme anak muda untuk bertani berpotensi mengurangi serapan kerja di sektor pertanian dan perkebunan tersebut.

“Saat ini meskipun 34% dari total tenaga kerja di Indonesia terserap di pertanian, tetapi masih didominasi oleh kelompok berusia di atas 45 tahun,” ujarnya.

Dia menjelaskan, akses terhadap lahan merupakan masalah utama bagi anak muda untuk bertani.Tingginya harga tanah, terutama di Pulau Jawa, akibat praktek para spekulan menyebabkan anak muda tidak mampu untuk membeli tanah dengan rata-rata upah yang mereka dapatkan.

Selain itu, dia menilai komoditas pertanian dan akses pasar yang berkelanjutan turut mempengaruhi keterlibatan anak muda di sektor pertanian. Di lain sisi, kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap pertanian skala kecil dan infrastruktur pedesaan di banyak wilayah turut memperparah kondisi ini.

Meski demikian, pihaknya menemukan tren anak muda yang merantau ke kota untuk kembali ke desa pada usia 40 tahun. Dengan modal yang cukup setelah melakukan migrasi dan multi pekerjaan, mereka yang memiliki akses terhadap lahan akan kembali ke pertanian di desa.

Untuk meningkatkan gairah bertani di anak muda, pihaknya mendorong institusi anak muda seperti karang taruna untuk melakukan kegiatan ekonomi produktif seperti bertani. Selain itu, perlu adanya prioritas penggunaan tanah kas desa untuk kegiatan pertanian bagi anak muda.

“Opsi lainnya adalah menghubungkan pasar yang pasti dna berkelanjutan atas komoditas unggulan dengan swasta seperti yang telah dilakukan BP mining dengan komoditas udang di Bintuni. Selain itu, juga kerja sama antara pemda dengan putra daerah yang bekerja di perusahaan mengenai kebutuhan tenaga kerja,” ujarnya. [Deandra]

Advertisement
Advertisement