April 25, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

[INDEPTH] Islam Itu Tidak Berlumuran Darah

5 min read

Beberapa  hari terakhir, masyarakat tersentak dan terenyuh melihat  ganasnya kaum fundamentalis yang membantai lima orang anggota polisi di Mako Brimob, Depok. Tidak habis pikir, mereka yang sholatnya tidak pernah absen, tiap waktu katanya menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih, justru menjadi pembunuh paling ganas nan buas.

Pemilik akal sehat bertanya-tanya, bisa disebut manusiakah, mereka yang menghabisi nyawa sesamanya atas nama agama? Rasa-rasanya, tidak ada alasan logis yang bisa membenarkan perilaku keji demikian, kecuali beberapa gelintir yang sesat nalar.

Sebagai penganut ajaran Nabi Muhammad, saya tidak hanya marah, tapi tersinggung berat lantaran perilaku keji itu dikaitkan dengan jihad Islam. Nabi macam apa yang ajarkan umatnya membenci dan membunuh? Tidak ada! Sayangnya, meski perilakunya salah, mereka tetap yakin tindakannya benar dan direstui Allah SWT. Tidak! Tuhan tidak pernah mengizinkan manusia saling bunuh.

Tuhan telah mengingatkan bahwa manusia adalah makluk lemah, baik dalam hal pengetahuan maupun pikiran. Kelemahan itulah yang membatasi, bahwa manusia tidak bisa menyamai Tuhan, sehingga harus terus-menerus rendah hati dan meminta petunjuk padaNya, agar tidak tergelincir ke dalam ego sesat.

Saking berbahayanya ego, Tuhan mengajarkan Nabi Muhammad untuk mendidik umat supaya tidak terjerumus ke dalam kesombongan yang membutakan hati nurani.

Di dalam ajaran sholat misalnya, surat Al Fatihah selalu dianjurkan untuk dibaca. Karena di dalamnya terdapat kalimat permohonan, ’’ihdinash shirotol mustaqim’’. ’’Tuhan, tunjukkanlah jalan yang lurus bagiku’’. Allah sudah mengatakan kepada manusia, keterbatasan perspektif membuat manusia butuh diberi petunjuk, supaya hidupnya tetap lurus, sadar kenyataan, dan tidak naif.

Membuka kitab manapun, tidak ada sikap Nabi yang menyiratkan dirinya pribadi yang congkak. Utusan Tuhan, adalah pribadi rendah hati dan mau mendengar orang lain. Lalu, mengapa utusan Tuhan selalu mau mendengar opini dari orang lain? Karena dia sadar, dirinya bukan Tuhan, oleh sebab itu pengetahuan dan cara pandangnya relatif, bisa benar atau salah. Karena serba terbatas, mendengar orang lain berpendapat adalah salah satu cara menyempurnakan wawasan yang dimiliki.

Seperti prinsip seorang pemikir rendah hati, Imam Syafii. Ia  berkata, ’’Pendapatku benar, tapi mungkin ada salahnya. Pendapatmu salah, tapi mungkin ada benarnya’’. Sungguh, ungkapannya menyiratkan diri yang sadar kenyataan, bahwa dirinya bukan Tuhan yang pasti benar.

Kerendahan hati itu menjadi etika keilmuan dan mufasir Al Quran di dunia manapun. Karena ilmu yang ada dalam benak manusia bersifat relatif, maka siapapun yang punya pendapat, atau tafsir atas kitab suci, tidak bisa serta merta menganggap dirinya benar mutlak dan orang lain salah 100 persen. Sikap seperti itu mengkhianati dunia keilmuan itu sendiri.

Bila ada sekelompok manusia yang mengklaim mempelajari agama, lalu mengaku tahu kebenaran, silahkan saja. Itu hak mereka. Akan tetapi jika pemahamannya digunakan untuk menjustifikasi orang lain, lalu kalau dibantah dia beringas, mencap orang lain sesat atau kafir, itu yang tidak boleh.

Kelompok seperti ini biasanya congkak, takabur, sombong, merasa paling benar, mudah marah, dan tidak segan-segan memberangus perbedaan pemahaman. Kelompok ini masuk kategori intoleran dan berbahaya bagi kehidupan.

Organisasi seperti ISIS, Boko Haram, Al Qaeda, Al Shabab, Jabhat Al-Nusra, jelas ancaman nyata bagi kehidupan manusia. Negara yang di dalamnya terdapat kelompok semacam itu, pasti  mengalami kekacauan, karena sistem kehidupan diganggu oleh gerombolan orang-orang yang bertindak salah.

Lebih menjijikkan lagi, mereka bertindak mengatas namakan Tuhan. Dalam kehidupan ini, tidak ada Tuhan yang mengajari hambanya untuk berbuat jahat, apalagi membantai manusia.

Suriah sudah hancur lebur. Libya kacau balau. Irak tersungkur dalam keadaan negara gagal. Nigeria, Afghanistan, Pakistan, terkoyak oleh konflik yang diletuskan kelompok bodoh yang mengklaim direstui Tuhan untuk membunuh. Pada awal milenium abad XXI pun, Indonesia beberapa kali merasakan pahitnya teror yang dilancarkan kelompok sempit pikiran ini.

Menggelikannya lagi, tindakan biadab tersebut diberi label “jihad”. Klaim seperti ini sungguh sangat salah dan merusak keberlangsungan akal sehat. Jika radikalisasi melenceng seperti itu tidak diberantas ke akar-akarnya, kedamaian yang selama ini kita nikmati akan lenyap, digantikan huru-hara perang sipil.

Dulu kita pernah dikoyak oleh aksi pemberontakan ekstrem kiri, PKI. Kini, kaum ekstremis berganti pendulum, dipelopori kaum pembajak agama yang seenaknya mengaku punya misi suci dari Tuhan. Yang salah pikiran mereka, tapi yang tertimpa ledakan bom, kita. Mereka sungguh kurang ajar, hanya menyusahkan iklim pembangunan.

Nabi Muhammad sudah mengajarkan, tiap muslim harus siap berjihad menyelamatkan umat manusia. Dalam konteks hari ini, muslim bukan dibenturkan dengan Yahudi atau Kristen, tapi dihadapkan pada tantangan yang datang dari kelompoknya sendiri.

Musuh muslim Indonesia bukan Hindu atau Budha, tapi mereka yang arogan, jahat, sombong, seolah-olah utusan Tuhan padahal bukan. Mereka senantiasa resah melihat dunia yang baik-baik saja, lalu mencoba mengacaukannya dengan mengobarkan kebencian, supaya muncul konflik. Ini mirip sifat yang digambarkan pada sosok setan.

Tidak ada satupun ajaran dalam Islam yang memusuhi penganut agama lain. Ayat-ayat perang itu berlaku pada masa lalu, saat situasi, kondisi, dan keadaan jaman menuntut untuk bermusuhan. Kini, di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, semua manusia adalah saudara dalam kemanusiaan.

Siapapun dia, apapun agama dan sukunya, jika ia baik, jujur, mencintai bangsa, dia adalah saudara kita semua. Pun sebaliknya, mereka yang gemar menebar teror, harus menjadi musuh bersama dan kita berantas, supaya peradaban Indonesia bisa selamat.

Bom Bali, Bom Kuningan, Thamrin, pembantaian di Mako Brimob. Dan tentu saja, yang menyayat hati, bom menyasar lebih dari tiga gereja pada Minggu pagi, 13 Mei 2018 di Surabaya. Saat orang tidak berdosa hendak memuji nama Tuhan di rumahNya, satu keluarga yang sudah terdoktrinasi ajaran destruktif, meledakkan diri.

Lebih dari 50 korban jatuh, baik yang meninggal dan luka-luka. Pelaku wanita, bahkan mengajak dua anaknya yang masih di bawah umur, untuk ikut meledakkan diri sehingga tewas secara mengenaskan.

Malam harinya pukul 22:42 WIB, juga kembali terjadi ledakan di Rusunawa Wonocolo, tempat pelaku lain menyimpan bom. Rentetan aksi dilancarkan supaya bangsa ini ketakutan. Berkali-kali teroris mencoba adu domba kerukunan di negeri tercinta, tapi berkali-kali itu pula kita tetap waras, tidak terhasut, dan tetap saling mengasihi. Mereka gagal merusak keindahan toleransi kita. Persatuan sebagai pusaka yang diwariskan nenek moyang pendiri negara, mereka coba cerai-beraikan.

Mereka jelas bukan Indonesia, karena bukti menunjukkan, kesetiaan jiwa mereka ditambatkan pada ISIS, sebuah organisasi teroris kejam nan bengis bermarkas di Irak dan Suriah. Meski sama-sama kulit coklat, rambut hitam, maka nasi, mereka bukan bagian dari kita Indonesia.

Mereka alien terasing, jiwanya sudah dikuasai ego jahat yang mendambakan kematian, sedangkan kita bermimpi hidup dalam damai bersama anak bangsa lain di tanah nusantara ini. Mereka sama sekali tidak mencontoh Nabi, yang hidup mencari persaudaraan dengan sesama mahluk ciptaan Tuhan.

Sekali lagi, kita tidak takut pada teroris. Ancaman dan teror tidak pernah berhasil membuat bangsa kita terbelah. Kita hanya muak dengan ulah pelaku yang mengamalkan ajaran menyimpang yang diimpor dari negeri terkoyak.

Kalau orang-orang tolol yang berpikiran sempit berani mati demi kacaunya dunia, kenapa kita mesti takut melindungi kedamaian umat manusia? Kalaupun kita berperang melawan teroris dan sama-sama mati, siapa yang lebih mulia? Siapa yang lebih terhormat, mereka yang ingin melenyapkan ketentraman, atau kita pelindung kelestarian akal sehat? Kita muslim, kita menggenggam Islam, tapi bukan Islam yang “berlumuran darah”. Kita pegang Islamnya Nabi Muhammad. Islam yang penuh senyum, kasih, dan persaudaraan abadi sesama anak cucu Adam. [Mualimin]

Advertisement
Advertisement