April 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Melecehkan Perempuan Bercadar, Tindakan Melawan Hukum, Bisa Di Jebloskan Ke Penjara

3 min read

Serangkaian aksi serangan bom yang akhir-akhir ini melanda Tanah Air meninggalkan dampak sosial dan psikologis bagi sejumlah warga.  Belakangan, muncul kabar mengenai maraknya persekusi terhadap Muslimah yang mengenakan niqab atau yang biasa disebut cadar.

Baru-baru ini, di Jambi, seorang Muslimah berniqab mengaku mendapat kekerasan fisik dari penjual koran yang langsung menyekapnya dari belakang sambil meneriakkan kata “teroris!”.

Sejumlah aduan organik melalui media sosial juga terlontarkan dari para perempuan yang berupaya menjalankan ajaran agama Islam secara menyeluruh tersebut. Dari pengakuannya, mereka saat ini merasa seperti dimata-matai dan dicurigai oleh masyarakat dan bahkan penegak hukum.

Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menegaskan, tindakan persekusi tanpa pandang bulu tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat menjebloskan pelakunya ke dalam penjara.

“Tentu itu tidak boleh dan perbuatan melawan hukum. (Pelakunya) diancam dengan pasal pidana sesuai dengan ancaman perbuatan,” tegas Isnur kepada rilis.id, Jumat (18/5/2018).

Saat Perempuan Berjilbab Syar’i Dipandang Miring, Brigjen Krisna Murti : Jangan Label Orang karena Penampilan

Menurutnya, masyarakat tidak bisa menghakimi seseorang hanya dari pakaiannya.

“Masyarakat harus diberikan pengertian oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, orang tua, serta guru agar tidak melakukan persekusi kepada siapapun atas dasar pakaian,” ujar Isnur.

Terakhir, dia mendesak pemerintah tidak tinggal diam melihat sejumlah warga negara merasa tidak aman karena menerapkan ajaran agama.

“Pemerintah harus melindungi semua warga negara. Hukum harus ditegakkan (bagi pelaku persekusi) agar semua terlindungi,” jelasnya.

Eti, seorang santriwati Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro Magetan Jawa Timur mengaku, ada insiden aksi teroris maupun tidak ada insiden aksi teroris, pelecehan terhadap muslimah bercadar tellah dia ketahui sejak dulu.

“Saat pulang ke Nganjuk, pernah saya dan teman-teman saya dilecehkan dengan sebutan ninja hatori, bahkan, tak jarang pula mengalamatkan predikat teroris ke kami” ujar anak perempuan PMI Hong Kong yang saat ini telah hafal 20 Juz Al-Qur’an.

Cadar, Celana ‘Cingkrang’, dan Terorisme

Kepada ApakabarOnline.com, Eti mengaku risih.

“Tapi kita tetap Istiqamah mas, apapun pelecehan mereka, kami tetap bercadar, sebab ini syariat. Di Temboro, ada 12 ribu santriwati, yang seluruhnya bercadar, belum penduduk di desa tersebut dan desa sekitarnya, perempuannya bercadar semua, masa iya mereka teroris ?” terang Eti

“Kalau yang menggunakan cadar di samakan dengan teroris, kira-kira bagaimana perasaan mereka yang menggunakan rok mini atau mengumbar foto bikini kalau disamakan dengan pelacur ? Sakit hati apa tidak ? Tersinggung apa tidak ? “ tegas Eti.

Fenomena perempuan bercadar di Indonesia telah ada sejak era tahun 1970-an. Di era awal orde baru, muslimah yang di orde sebelumnya mendapat tekanan dari isme tertentu yang pada akhirnya dilarang di Indonesia oleh rezim Suharto, menemukan kemerdekaannya untuk bersyariat sesuai dengan keyakinan masing-masing sebagaimana diatur dalam pasal 29 UUD 45 ayat 1 dan 2.

Jeritan Hati Anak PMI Yang Ditinggal Ibunya Menghilang Selama 16 Tahun : “Kalau Menikah, Wali Eti Nanti Siapa Bu ?”

Berbicara tentang sudut pandang budaya, Dr, Wahyono, seorang akademisi dan peneliti bidang sosiologi di Jawa Timur menyebut, cadar dalam sudut pandang budaya, merupakan produk budaya masyarakat Timur Tengah, sebagaimana halnya kemeja, celana, atau rok baik panjang maupun pendek, merupakan produk budaya barat.

“Kalau menggunakan sudut pandang budaya, saya jadi tersenyum senyum melihat mereka yang saling olok, cadar sebagai budaya impor. Sedangkan orang/kubu yang mengolok saat itu mengenakan celana dan kemeja yang kalau dia menyadari, celana dan kemeja itu juga budaya impor”  tutur Wahyono.

Wahyono menyebut, fenomena demikian ironis, sebab, pengolok maupun yang diolok sama-sama mengenakan budaya impor.

“Pengguna budaya impor mengolok muslimah bercadar dengan olokan menggunakan budaya impor. Lucu kan ? “ lanjutnya.

“Indonesia tidak akan maju, kalau situasinya masih seperti ini. Sebab, mengolok perempuan bercadar, memperlihatkan kebodohan dasar dari si pengolok. Kalau terus menerus hidup dalam kebodohan, kapan majunya ?” pungkas Wahono. [Syahrain/Asa]

Advertisement
Advertisement