April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Menyoal Jam Kerja Pekerja Migran Yang Tanpa Batasan

2 min read

Persoalan jam kerja bagi pekerja migran sering menjadi persoalan. KKhususnya yang bekerja dalam sektor informal, pekerja rumah tangga dinilai paling rentan terhadap pemberlakuan jam kerja yang bablas tanpa batas.

Hal ini ditengarai sering menjadi pangkal beberapa permasalahan, mulai dari kesehatan, privacy, hingga permasalahan hubungan industrial. Secara psikologis, manusia yang bekerja secara terus menerus lebih dari 8 jam sehari, rawan mengalami ganggguan emosional, kognitif dan afektif.

Dikutip dari Media Group, Boby Alwi dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan, hal ini terjadi karena tidak adanya pemahaman dari si pekerja migran akan aturan serta tidak adanya pengetahuan dan keberanian untuk melawan.

“Di peraturan negara kita ini boleh kerja 15 jam. Padahal di peraturan internasional itu, hanya 8 jam,” terang Boby Alwi di LBH Jakarta, Minggu, 25 Februari 2018.

Bahkan rentang Januari hingga Februari 2018, SBMI mencatat ada 434 laporan terkait ketidakadilan bagi pekerja migran Indoonesia. Kasus ini paling banyak menimpa PMI perempuan dan 78 persen merupakan pembantu.

“13 persen Anak Buah Kapal. Industri, kontruksi dan sopir, masing-masing dua persen,” ucap dia.

PMI yang paling banyak mendapatkan ketidakadilan berada di Taiwan. Kemudian, diikuti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Fiji, Hong Kong, Malaysia, Qatar, Tiongkok, dan Singapura.

“Jenis kasusnya bermacam-macam. Ada overcharging jam kerja, pelecehan seksual, gaji tidak dibayar, gaji di bawah standar, larangan komunikasi dengan keluarga hingga perdagangan manusia,” terang dia.

Menurut Boby, munculnya permasalahan PMI juga disebabkan tidak adanya pendidikan awal sebelum berangkat ke luar negeri, serta minimmya waktu untuk mempelajari kontrak.

“Yang penting itu pendidikan awal, pembelajaran soal kontrak kerja dan juga pengawalan soal jam kerja,” kata dia. [Asa]

Advertisement
Advertisement